Islam tidak pernah mengajarkan kita untuk membenci mahkluk lain, baik itu manusia, hewan, tumbuhan, hingga benda mati seperti tanah, batu, air dan udara. Kala Islam yang penuh rahmat tiba-tiba menjadi brutal, rasial dan diskriminatif, maka perlu kita mengevaluasi diri, sejauh mana hakikat keberislaman kita. Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW, sebagai suri tauladan yang baik, tidak pernah mengajarkan untuk menyakiti sesama mahkluk Allah. Baik dalam bentuk ucapan, tindakan, apalagi sampai harus menumpahkan darah.
Peristiwa yang tengah geger pada beberapa hari ini, terkait menguatnya sentimen rasialisme dan diskriminasi, patut membuat kita terbangun, lalu memikirkan perihal persoalan tersebut. Mengapa itu terjadi lagi? Dan kenapa? Apakah saudara kita yang berasal dari Papua atau wilayah timur sana tidak berhak mendapatkan kasih sayang kita. Sehingga di manapun keberadaan mereka selalu saja ada yang membencinya, disalah-salahkan dan dituduh sebagai biang kerok atas kerusuhan.
Sebagaimana yang terjadi di Surabaya, Malang dan Semarang, apakah dari awal mereka membuat gaduh terlebih dahulu? Apakah mereka menganggu tetangganya terlebih dahulu? Ataukah disulut oleh orang-orang tak bertanggung jawab? Ini refleksi kita bersama untuk tidak sporadis dalam menanggapi suatu info, tanpa tahu kronologis yang jelas. Pasalnya banyak media yang telah mengkonstruksi informasi sedemikian rupa, demi keuntungan mereka saja. Sehingga jauh dan jauh dari sisi jurnalisme kemanusiaan.
Jikalau kita mengakui mereka adalah Indonesia, dengan jiwa-jiwa serta semangat nasionalisme yang sering digembar-gemborkan maka tindakan diskriminatif, rasialis dan aksi kekerasan tidak mungkin terjadi. Dan terlebih kita tidak terjebak dalam narasi media yang menyudutkan saudara kita dari Papua, atau ujaran kebencian dari media sosial yang masif dibagikan untuk membangun narasi anti Papua. Terlebih, jika kita benar-benar meyakini ajaran Islam yang hakiki, bersandar pada ketakwaan pada sang pencipta. Maka kita tidak akan sampai tega membuat mereka harus dirundung dan didiskriminasi. Tentu, kita akan membela mereka atas nama kemanusiaan, dan Islam yang rahmatan lil alamin.
Peristiwa yang kini semakin meluas, tidak hanya perundungan pada orang Papua di Jawa, tetapi juga mulai menyebar ke tanah Papua dengan isu dan muatan yang sama, yakni rasialisme, dikriminasi dan aksi kekerasan semakin membesar. Bahkan merembet ke konflik berbasis suku, ras dan agama. Kekerasan akan dilegitimasi oleh sekelompok orang yang chauvinis dan diskriminatif, sebagai tindakan yang benar karena ada unsur “membalas tindakan.” Hal ini akan semakin menguatkan sentimen dan perpecahan itu sendiri. Dari lama tokoh seperti Gandhi, pernah menekankan bahwa tindakan kekerasan akan menyulut kekerasan. Dalam konteks ini, tindakan rasialis akan menyulut aksi serupa. Sehingga konflik horizontal pun tak terelakan, korban-korban berjatuhan, kehidupan yang semula damai menjadi keresahan dan kekacauan.
Kita hidup sudah penuh dengan problem, mulai dari berbagai kebijakan yang tidak pro rakyat, hingga konflik-konflik sumber daya alam yang semakin meluas. Jikalau ditambah dengan konflik suku, ras dan agama, maka tujuan serta cita-cita menjadikan Indonesia negara yang adil dan sentosa akan semakin jauh dari harapan. Karena kita masih memikirkan perbedaan-perbedaan yang dasar, tetapi kita sadar bahwa sekarang sedang menghadapi masalah yang besar, yaitu narasi keadilan sosial yang masih kabur implementasinya.
Dahulu, Gus Dur pernah melakukan rekonsiliasi dengan Papua. Ia pun tanpa takut sedikitpun menjadi pembela bangsa Papua, prinsipnya tetap yakni atas nama kemanusiaan dan Islam yang rahmatan lil alamin. Beliau bahkan berani mengganti nama Irian menjadi Papua yang kala itu identik separatisme. Lalu, beliau bahkan mempersilahkan mengibarkan bendera bintang kejora asal tidak lebih tinggi dari sang saka merah putih. Pendekatan Gus Dur sangat menekankan pada nilai-nila kemanusiaan dan budaya. Melakukan pendekatan non-kekerasan, sangat anti rasialisme dan diskriminasi.
Nilai dan suri tauladan yang sudah dicontohkan oleh Gus Dur tampaknya tidak benar-benar diterapkan. Nilai-nilai Islam yang humanis-sosial, tak juga menjadi acuan oleh mereka yang beragama Islam. Malahan mereka bersandar pada nasionalisme yang sempit, rasis dan diskriminatif. Yang sangat kontradiktif dengan konsep nasionalisme Indonesia yang telah diajarkan oleh Sukarno dan Hatta, bahkan oleh Gus Dur sendiri. Di satu sisi jika merujuk pada konsep Islam, tidak ada yang namanya ujaran rasialis, diskriminatif dan main hakim sendiri, sekalipun mereka berbeda keyakinan, ras dan suku.
Sebagaimana yang difirmankan oleh Allah SWT dalam surat Al-Hujurat ayat 13:
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu.”
Perlu dicatat bahwa di tengah isu terkait demokrasi yang sedang terancam, berbagai kebijakan yang tak berpihak pada rakyat, seperti revisi UUK tentang perburuhan, RUU Pertanahan, RUU Minerba, RZWP-3-K yang pro pemodal dan eksploitasi. Maka konflik yang berbasis suku, ras dan agama akan semakin mengaburkan cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Mengancam kemanusiaan yang adil dan beradab, bahkan mencederai konsep ketuhanan yang maha esa. Cita-cita menjadi bangsa yang damai dan aman, akan semakin jauh dari harapan jika konflik masih berdiri, ketimpangan semakin tajam, ketidakberpihakan pemerintah pada rakyat dan tentu eksploitasi alam yang masif.