Perdamaian dan Toleransi dalam Budaya Islam

Perdamaian dan Toleransi dalam Budaya Islam

Perdamaian dan Toleransi dalam Budaya Islam

Adalah Abdullah bin Bayyah, salah seorang cendekiawan muslim moderat kesohor di abad ini. Salah seorang muridnya yang mewarisi pandangan moderatnya adalah Habib Ali al-Jifri. Bin Bayah lahir pada tahun 1936 M di Meuratania. Karya-karyanya menjadi rujukan penting dalam literatur Islam moderat dewasa ini. Salah satunya karyanya berjudul Khitab al-Amn fil Islam wa Tsaqafah at-Tasamuh wa al-Wiam ( Diskursus Soal Keamanan dalam Islam dan Budaya Toleransi dan Harmoni). Dan tulisan ini hendak mereview buku tersebut.

Dalam buku berbahasa Arab setebal 100 halaman ini, Abdullah bin Bayah memaparkan argumentasi-argumentasi logis dalam menegaskan bahwa ajaran Islam membawa kedamaian. Buku ini terdiri dari lima bab. Sebagaimana dijelaskan sendiri oleh penulisnya, buku yang tersusun dalam lima bab ini dimaksudkan untuk menyebarkan pesan kedamaian dan kemanusiaan. Ia mendasarkan argumentasinya pada ayat-ayat hukum, hadis-hadis nabi, dan pendapat-pendapat ulama salaf. (hlm. 10)

Bab pertama buku ini membahas persoalan definisi keamanan dan kedamaian. Abdullah bin Bayah menjelaskan definisi tersebut sebagaimana berikut:

Aman adalah kebalikan takut. Yakni tidak terjerembab pada sesuatu yang dibenci pada masa yang akan datang. Sementara Imam al-Raghib al-Isfihani dalam karyanya, al-Mufradat, mengatakan bahwa ketentraman jiwa, hilangnya rasa takut, damai, amanah, dan keamanan adalah satu asal usul kata. (hlm. 18)

Menurutnya, kedamaian dan keamanan merupakan bagian dari universalitas syariat (maqashid syariat) yang harus dijaga dan dipertahankan keberadaannya oleh setiap manusia. Ia mengutip Imam Syathibi:

bahwa tujuan diberlakukannya syariat adalah untuk menjaga kemaslahatan manusia. Kemaslahatan tersebut dibagi menjadi tiga; Elementer (Dharuriyyat), komplementer (Hajiyyat), dan suplementer (Tahsiniyyat).

Yang dimaksud dengan dharuriyyat adalah kewajiban menjalankan kemaslahatan baik bersifat agama maupun dunia yang sekiranya bila tidak dijalankan maka akan menyebabkan hilangnya kemaslahatan bahkan menyebabkan kerusakan, kehancuran, dan kematian. Kemudian Imam Syatibi membagi dharuriyyat menjadi lima prinsip; Menjaga agama, jiwa, keturunan, harta, dan akal pikiran. Dan prinsip demikian juga terdapat dalam setiap agama.

Pada bab selanjutnya Abdullah bin Bayah menjelaskan lebih jauh persoalan aman dan damai ini dengan masuk pada lingkup kebudayaan. Dengan tegas Abdullah bin Bayah memaparkan bahwa budaya damai bagi sebuah masyarakat dapat terwujud dengan adanya nilai dan harapan yang menetapkan batasan etika-etika yang menyempurnakan ketentraman dalam jiwa manusia dan menentang kekerasan dalam kekejaman. (hlm. 34)

Sedangkan pada bab selanjutnya, bab tiga, Abdullah bin Bayah menjelaskan persoalan tindak pidana kejahatan. Dan pada bab empat, ia memaparkan tentang keamanan Haramain (Makkah-Madinah) yang tergaransi oleh teks-teks agama. Dan pada bab terakhir, ia mengungkap problem-problem mewujudkan keamanan dan kedamaian di muka bumi. Ia menegaskan:

Upaya mewujudkan perdamaian dunia pada masa kontemporer seperti saat ini mengalami sejumlah rintangan. Di antara faktor utamanya adalah karakter zaman atau masanya. Yakni sebuah masa dimana banyak ditemui kekacauan ideologi, tumpang tindihnya pendapat, kecepatan laju pergerakan dan aksi, internasionalisasi gagasan dan kejahatan global. (hlm. 90)

Problematika yang sangat kompleks di atas dapat dijawab dengan menebar perdamaian secara kolektif. Artinya adalah dengan menawarkan gagasan untuk membentuk aliansi negara-negara yang menghendaki dan mengedepankan perdamaian melalui cara yang disebut dengan perdamaian dunia (al-amn al-jamma’i). (hlm.93)

Buku relatif tipis ini sangat penting dibaca oleh siapa pun. Di samping bahasanya yang cukup mudah dipahami juga isinya cukup penting untuk isu-isu toleransi dan moderasi.

*)Muhammad Idris Masudi, Santri Ciputat