Ada tiga alternatif metode menetapkan awal suatu bulan qamariyah, yaitu hisab, ru’yah, dan istikmal.
Hisab adalah menghitung berdasarkan teori dan rumus-rumus tertentu yang sudah dibakukan sedemikian rupa sehingga diyakini bahwa awal bulan atas dasar penghitungan teoritik itu sama dengan kenyataan alam.
Ru’yah maksudnya melihat hilal (bulan tanggal pertama). Artinya penetapan awal bulan didasarkan pada ada atau tidaknya hilal yang biasa dilihat mata (baik langsung maupun dengan alat bantu). Sedangkan istikmal adalah menggenapkan jumlah hari suatu bulan sampai tiga puluh hari sebelum memulai bulan baru.
Perbedaan (khilaf) tentang awal Ramadhan dan Syawal berpangkal pada ketidaksamaan hasil yang diperoleh melalui metode-metode tersebut, khususnya ru’yah dan hisab.
Bagaimana kedudukan metode-metode tersebut dalam penetapan hari yang sangat penting ini?
Kebanyakan ulama salaf (jumhur as-salaf) berpendapat bahwa penetapan (itsbat) awal Ramadhan dan Syawal hanya boleh dengan cara ru’yah. Jika ru’yah tidak bisa dilaksanakan, karena terhalang mendung misalnya, maka digunakanlah istikmal (Bughyah Al-Mustarsyidin: 108). Jadi, dalam konteks ini istikmal bukanlah metode tersendiri tetapi metode lanjutan ketika ru’yah tidak efektif.
Metode dan prosedur ini mengikuti langsung hadist Shahih riwayat Bukhari dan Muslim sebagai berikut:
“Berpuasalah karena melihat hilal, dan berbukalah (tidak berpuasa lagi) karena melihatnya. Apabila kalian tidak melihatnya karena mendung, sempurnakanlah hitungan bulan Sya’ban sampai tiga puluh hari.” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Pendapat yeng hanya mengakui ru’yah (dan kemudian istikmal jika diperlukan) sebagai metode penetapan puasa dan idul Fitri diikuti oleh seluruh Imam Madzhab empat (Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hambali).
Hanya saja kalangan Syafi’i masih mengakomodasi metode hisab dan memperbolehkannya sebagai dasar bagi para ahli hisab (al-munajjimun) itu sendiri dan mereka yang mempercayai kebenarannya. Artinya dalam pendapat ini pun, hisab tidak dapat digunakan sebagai dasar penetapan yang mengikat umat secara umum maupun dalam lingkup yang lebih terbatas.
Jadi, bagaimana kedudukan hisab?
Hisab adalah metode pendamping, sekedar untuk memperkirakan (secara teoritik) apakah ru’yah dapat dilakukan atau tidak. Adapun hasil akhirnya tetap didasarkan pada hasil ru’yah langsung.
Ketentuan ini tidak perlu erepotkan orang awam, karena ru’yah tidak perlu dilakukan sendiri. rasulullah Saw. saja menerima dan mengikuti pengakuan ru’yah seorang Baduwi. Sekedar untuk diketahui, kata Baduwi dalam literatur Arab cenderung mengandung pengertian: orang awam.
Jadi, yang perlu dilakukan hanya mengikuti informasi proses ru’yah, yang di negeri ini banyak dilakukan, baik oleh pribadi atau organisasi.
Sebagai catatan, hasil ru’yah tidak berlaku dalam skal global, ia hanya berlaku untuk daerah, wilayah maupun negara yang berdekatan saja. (Al-fiqh Al-Manhajy: I, 336).
Maka, awal Ramadhan di Indonesia bisa saja berbeda dengan di Arab Saudi, misalnya. Karena secara geografis berbeda dan berjauhan, hasil ru’yah di dua tempat itu mungkin saja memang berbeda.
Sumber: K.H. M.A. Sahal Machfudz, Dialalog Problematika Umat, hal 103-104, Khalista, Surabaya.