Pernahkah kita memperhatikan apa yang sebenarnya dijajakan oleh pendakwah populis macam Habib Rizieq Shihab, Sugi Nur, Maheer, Felix Siauw hingga Haikal Hassan? Jika kita jeli memperhatikan, sebenarnya wacana yang mereka kembangkan hanya berputar pada dua hal, yakni polarisasi dan ketakutan.
Asumsi saya ini mungkin sekali untuk diperdebatkan. Tapi, jika diperhatikan apa yang mereka hadirkan selalu meminta kita untuk maju atau membela Islam yang tertindas. Buktinya, banyak konten yang mereka buat menggiring opini publik untuk sadar atas ketidakadilan yang dialami oleh umat Islam.
Bicara soal opini publik, Haikal Hassan kemarin (15/12) menunggah atau merepost sebuah video di akun Instagram miliknya. Dalam video tersebut, dia mengatakan bahwa lahan perang umat Islam sekarang adalah media sosial. “Badar kita sekarang adalah Facebook, Uhud kita adalah Instagram, dan Khandaq kita adalah Twitter” ujar Babe Haikal (sapaan akrab Haikal Hassan).
Selain itu, dia menegaskan bahwa umat Islam sekarang sedang dalam keadaan perang, yakni perang opini. Menurut Babe Haikal, umat Islam tidak boleh lari atau meninggalkan wadah peperangan. Dengan menggunakan klaim bahwa Nabi Muhammad akan marah andai melihat umatnya tidak ingin terlibat dalam perang opini ini.
Kejadian ini memang bukan pertama kali Haikal Hassan membawa-bawa Nabi Muhammad sebagai stempel opini yang dia bangun. Baru-baru ini dia mengaku telah bermimpi bertemu Nabi. Pengakuan tersebut dia gunakan untuk memperkuat asumsi publik akan “kesyahidan” laskar FPI yang tertembak di tol Cikampek kemarin.
Kembali ke perang opini, Babe Haikal sebenarnya hanya mencoba menggiring opini publik untuk percaya bahwa “Islam sedang tidak baik-baik saja”. Sebagian besar muslim jika melihat atau mendengar kondisi tersebut tentu akan tergerak untuk membela. Kondisi ini yang sangat diharapkan oleh kalangan pendakwah populis kaya Babe Haikal.
Saran punya Fiersa Besari dalam bait lagunya, “kadangkala tak mengapa untuk tidak baik-baik saja”, jelas saja diabaikan. Ini soal agama, siapapun pemeluk kemungkinan besar akan merasa gundah hingga marah jika melihat kondisi tersebut. KH. Zainuddin MZ pernah menegaskan kondisi ini. Menurut beliau, “seorang pemabuk pun bisa saja marah jika agamanya diganggu”.
Namun dalam glorifikasi kemarahan ini sebenarnya tersembunyi narasi polarisasi sekaligus ketakutan yang dibunyikan. Hal ini dilakukan untuk menggiring sekaligus memanipulasi emosi sebagian kelompok muslim Indonesia, untuk kemudian bisa dimanfaatkan oleh mereka yang berkepentingan.
Relasi antara sebagian masyarakat muslim dengan Negara, dalam hal ini pemerintahan Jokowi, terlihat renggang. Kondisi ini adalah residu dari gelombang pasang politik identitas dalam satu dekade terakhir ini. Segregasi antara kelompok muslim pendukung kedua capres masih terus terjadi hingga sekarang, akibatnya polarisasi ini dimanfaatkan untuk meraup suara dengan menebar wacana “ketakutan” terpilih calon dari kelompok liyan.
Jadi, wacana “perang opini” yang gelorakan oleh Babe Haikal hanyalah kedok untuk menggiring publik muslim percaya bahwa kondisi “Islam sedang terancam”. Menariknya, videonya tersebut dalam waktu satu hari saja sudah ditonton lebih dari 410 ribu kali. Bisa dibayangkan betapa luasnya persebaran dan banyaknya masyarakat yang mengonsumsi opini Babe Haikal itu.
Perang opini adalah wacana yang telah lama beredar. Saya pertama kali bersentuhan dengan kosakata tersebut saat salah seorang teman yang menyodorkan buku The Clash of Civilazation karya Samuel Huntington. Dia dengan bersemangat mendedahkan opininya terhadap buku tersebut. Dengan mengandalkan buku itu, dia juga menyarankan pada saya untuk terlibat dalam pertarungan ide atau opini.
Teman saya tersebut sekarang menjadi salah satu eksponen Hizbut Tahrir Indonesia “garis keras” (sapaan saya padanya). Dulu dia berkoar-koar dengan keras bahwa perang pemikiran (dalam bahasa kelompok HTI adalah gahzwul fikr) adalah salah satu peperangan yang harus dimenangkan oleh masyarakat muslim di dunia.
Waktu teman saya menjelaskan konsep ghazwul fikr, saya tertarik dengan poin “kemenangan” dalam wacana tersebut. Sebab, saya melihat titik tekan dalam konsep tersebut adalah perebutan “wilayah” atau persoalan politik kekuasaan, bukan soal kemajuan teknologi untuk kemanusiaan. Di sinilah poin polarisasi kemudian dijadikan poros utama dalam wacana tersebut.
Kita hidup di tengah kemajuan teknologi yang masih memiliki persoalan pelik, yakni filter bubble (gelembung filter). Algoritma yang menjadikan kita sebagai netizen “hanya” mengonsumsi informasi atau postingan yang seiras dengan selera kita. Akibatnya jurang kesenjangan antar kelompok semakin melebar atau polarisasi makin menjadi-jadi.
Dalam kondisi seperti ini, tentu konsep ghazwul fikr atau perang opini hanya akan menambah perpecahan di tengah umat. Bukan membela Islam, kita hanya menambah persoalan perpecahan di masyarakat muslim.
Selain itu, Islam yang kita peluk dan cintai ini malah tercerabut dari persoalan nyata di masyarakat, seperti kemiskinan, kesenjangan ekonomi yang makin lebar, kerusakan alam hingga perubahan iklim yang ekstrem. Pemeluknya hanya sibuk dalam perebutan kekuasaan, padahal orang lain sudah bicara robot, matahari buatan hingga roket ke Mars.
Jadi, kritik terhadap gagasan maupun tindakan Haikal Hassan, Felix Siauw dan lain-lain itu wajib. Tapi mempolisikan mereka, tentu saja jangan. Itu sangat tidak menarik.
Fatahallahu alaina futuh al-arifin