Masalah lingkungan masih menjadi salah satu isu yang paling diperbincangkan di kalangan masyarakat terutama pasca pernyataan Sekjen Persatuan Bangsa Bangsa Antonio Guterres pada 23 Juli 2023 silam. Hal ini dikarenakan rusaknya alam yang sudah terlalu parah untuk dieksploitasi serta hadirnya berbagai wilayah pertanian yang menggunakan berbagai macam pupuk kimiawi sehingga ekosistem alam pun semakin memburuk.
Meskipun beberapa aktivis lingkungan sudah memperingatkan terkait dengan konsekuensi dari penggunaan pupuk kimia namun para petani yang sudah kadung terbiasa menggunakan bahan tersebut merasa sulit untuk merubah rutinitas itu. Alhasil ketika perubahan musim tak kunjung berganti hingga akhir tahun 2023, beberapa kalangan membuat perubahan metode pertanian agar minimal dapat memberikan sumbangsih untuk meneduhkan gersangnya musim panas berkelanjutan di pulau Jawa khususnya wilayah D.I. Yogyakarta. Apalagi wilayah tersebut sedang mengalami prahara ketika tempat pembuangan akhir (TPA) Piyungan sebagai penampungan sampah provinsi ditutup hingga saat ini yang menjadikan masyarakat Yogyakarta harus mencari cara dalam mengurangi sampah rumah tangga hingga mengelola sampah mereka sendiri.
Pengelolaan Sampah dan Ego Sosial
Pasca penutupan TPA Piyungan, masyarakat “dipaksa” mencari solusi sendiri terkait pengelolaan sampah di D.I Yogyakarta. TPA itu sudah terlalu penuh semenjak 2022. Masyarakat yang terbiasa membuang sampah di tong sampah umum pun akhirnya harus menyimpan dan belajar memilah sampahnya sendiri sehingga dapat mengurangi timbunan sampah di lingkungan tempat tinggalnya.
Meskipun upaya tersebut sudah dilakukan, namun karena keterbatasan pengetahuan menjadikan sebagian wilayah Yogyakarta mengalami penumpukan sampah di beberapa titik. Ketua komunitas aktivis lingkungan lokal ‘Tanah Tumbuh’, Indria, kerap kali diminta oleh beberapa kalangan masyarakat untuk memberikan sosialisasi terkait dengan sampah yang ada di sekitar mereka.
Pemilahan sampah menjadi salah satu isu utama dalam permasalahan ini. Indria menyatakan bahwa kebanyakan masyarakat tidak mengetahui cara pemilahan sampah dan hanya menyatukannya ke dalam satu tempat padahal dengan memilah sampah, dapat mengurangi limbah serta sebagian dapat didaur ulang. Akhirnya, dia pun kerap kali mengisi sosialisasi dan pelatihan pemilahan sampah di komunitas mahasiswa dan komunitas berbasis masyarakat untuk berjejaring dengan pengelola sampah yang dapat menerima sebagian sampah terpilah agar nantinya dapat didaur ulang.
Salah satu warga, Shafwan, berpendapat bahwa pada awalnya ia tidak mengetahui perbedaan jenis sampah dan fungsinya seperti perbedaan daun kering dan basah yang ternyata bisa digunakan untuk campuran kompos atau bedeng. Gerakan sosialisasi yang dilakukan beberapa komunitas seperti Tanah Tumbuh pun semakin gencar dilakukan apalagi karena kebutuhan masyarakat terkait pengelolaan sampah yang kian melonjak. Namun, masalah pembuangan sampah sembarangan di Yogyakarta masih menjadi masalah yang belum terselesaikan yang ditandai oleh banyaknya tumpukan sampah di Kota Pelajar tersebut.
Potensi Mahasiswa Yogyakarta dan Tantangan Kesadaran Komunal
Wilayah Yogyakarta memiliki lebih dari 100 perguruan tinggi sehingga memiliki banyak potensi pemuda baik dari level lokal maupun mahasiswa perantau. Mahasiswa yang dominan berstatus Generasi Milenial dan Z tersebut dapat berperan aktif pada pengelolaan lingkungan kampus dan sekitarnya melalui program Kuliah Kerja Nyata. Dapat dibayangkan jika sebagian besar kampus di Yogyakarta bekerja sama untuk mengelola sampah di sekitar wilayah masing-masing atau melakukan program kolaborasi dari mulai tingkat mahasiswa hingga lembaga kampus maka tentunya dapat terjadi perbaikan kondisi.
Dari kondisi tersebut, saat ini perlu dilakukan konsolidasi yang tentunya dapat dilakukan dari individu kepada individu lain. Namun, konsolidasi tidak dapat terbangun jika kesadaran individu absen. Senada dengan hal tersebut, Sri Sultan Hamengkubuwono X selaku Gubernur D.I. Yogyakarta pun meminta kepada setiap institusi agar mulai membiasakan diri dalam memilah sebelum membuang sampah ke tempat pembuangan sehingga sampah dapat terkontrol dengan baik dan tidak merugikan pihak lain.
Sejalan dengan kebiasaan baru yang mulai diterapkan di Yogyakarta tersebut, mahasiswa dapat mulai berperan dalam melakukan pemilahan sampah serta membiasakan diri untuk menjadi contoh intelektual agar keinginan pemerintah Provinsi dalam pengelolaan sampah di Yogyakarta dapat berjalan dengan baik. Jika kebiasaan individu tersebut dilakukan secara masif dan simultan maka tentunya hal tersebut dapat mempengaruhi individu lain sehingga kesadaran individu dapat berubah menjadi kesadaran komunal.
Pemuda Islam dan Gerakan Pertanian Organik
Permasalahan lingkungan tidak hanya berkaitan dengan sampah namun juga masyarakat mulai menyadari kebutuhan terkait makanan organik apalagi kondisi pasca pandemi membuat banyak kalangan berpikir untuk memproduksi makanannya sendiri. Hal ini pun telah dilakukan beberapa komunitas pemuda Islam di Yogyakarta seperti Tanah Tumbuh dan Tani Ruang Kota hingga Mahasiswa Pecinta Alam Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga (Mapalaska) yang bersatu untuk membuat gerakan kolaboratif dalam memperbaiki kualitas tanah di wilayah UIN sehingga dapat ditanami dengan tanaman pangan.
Gerakan ini dipromotori oleh Indria sebagai Ketua Tanah Tumbuh yang berpendapat bahwa UIN sebagai salah satu basis lembaga pendidikan yang dapat melakukan perubahan terutama untuk mengoptimalkan lahan yang berada di sekitaran kampus. Oleh karena itu, Indria melakukan konsolidasi pada kampus dan juga Mahasiswa Pecinta Alam yang diketuai oleh Alvino serta Tani Ruang Kota yang digawangi oleh Rizal Asad agar dapat mengadakan kegiatan bersih-bersih serta penanaman tanaman pangan pada tanggal 26-27 Desember.
Kegiatan tersebut berkaitan erat dengan optimalisasi lahan UIN agar dapat dimanfaatkan sebagai area pangan yang dapat dimanfaatkan seluruh civitas akademika serta menjadi media promotor agar masyarakat dapat meniru kegiatan serupa. Asad mengatakan bahwa dengan menanam dan memakan tanaman organik yang bebas pupuk kimia, konsumen tidak hanya dapat merasakan kenikmatan rasa makanan namun juga lebih sehat secara jasmani. Hal ini pun diamini oleh Alvino yang menginginkan bahwa anggota Pecinta Alam UIN dapat menyebarkan nilai-nilai konsumsi makanan sehat tanpa bahan kimia.
Selain dari kegiatan kolaboratif, ketiga komunitas telah melakukan berbagai kegiatan sosialisasi pertanian organik hingga melakukan kegiatan bersama dengan komunitas lainnya agar dapat meningkatkan kesadaran dan pengelolaan pertanian organik. Ketiga organisasi tersebut tentunya merupakan bagian kecil dari banyaknya komunitas yang berbasis kepedulian lingkungan di wilayah Yogyakarta tetapi apakah kegiatan kolaborasi komunitas dan sosialisasi terkait dengan pengelolaan lingkungan sudah benar-benar teratasi.