Bumi sebentar lagi akan mengalami titik puncak menuju kehancuran. Begitulah kesan pintas mengenai krisis ekologi yang belakangan begitu marak diperbincangkan. Hal tersebut merupakan dampak dari kerusakan lingkungan yang semakin parah.
Krisis ekologi bukanlah sebuah peristiwa alami yang terjadi begitu saja di alam ini, namun ada campur tangan manusia terhadapnya. Sebab, ketika lingkungan tumbuh dan berkembang dengan baik, maka ia akan memberikan nilai kebaikan pula untuk kehidupan manusia. Sebaliknya, ketika lingkungan mengalami ketidakseimbangan, maka ia akan mengganggu sistem keseimbangan kehidupan manusia.
Di tengah ketersediaan sumber daya alam yang melimpah, manusia hanya memikirkan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa memikirkan timbal balik kepada alam. Bahkan, banyak manusia yang berperilaku curang dan tidak menghargai alam.
Padahal jauh sebelum munculnya modernisasi dan teknologi, Al-Qur’an sudah memberitahukan kepada umat manusia bahwa, perilaku curang mempunyai dampak besar terhadap kerusakan lingkungan atau krisis ekologi. Hal ini tentu saja berkaitan dengan tugas manusia sebagai seorang khalifatullah fil ardh.
Perilaku curang tercermin dari perbuatan manusia saat memenuhi kebutuhannya dalam memanfaatkan sumber daya alam yang tersedia. Di antaranya adalah pemanfaatan secara eksploratif, berlebihan, dan membabi buta tanpa memperhatikan kelestariannya.
Al-Qur’an yang menempati posisi sentral dalam setiap langkah manusia di bumi, telah memperingatkan bahwa sifat curang dan tidak menghargai alam berdampak besar terhadap krisis ekologi. Sebagaimana firman Allah swt dalam surah Hud ayat 85;
وَيَٰقَوۡمِ أَوۡفُواْ ٱلۡمِكۡيَالَ وَٱلۡمِيزَانَ بِٱلۡقِسۡطِۖ وَلَا تَبۡخَسُواْ ٱلنَّاسَ أَشۡيَآءَهُمۡ وَلَا تَعۡثَوۡاْ فِي ٱلۡأَرۡضِ مُفۡسِدِينَ
Artinya: Dan Syu´aib berkata: “Hai kaumku, cukupkanlah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan.
Ayat di atas sebenarnya menjelaskan kisah Nabi Syu’aib tentang larangan mengurangi takaran dan timbangan kepada kaumnya. Kemudian Nabi Syu’aib melarang kaumnya dari segala macam perbuatan yang sifatnya mengurangi hak-hak orang lain, hak milik perseorangan atau orang banyak, baik jenis yang ditakar ataupun yang ditimbang, dan berbagai jenis kecurangan lainnya.
Dalam konteks krisis ekologi, larangan mengurangi hak orang lain atau orang banyak berkaitan erat dengan pemanfaatan sumber daya alam. Eksploitasi sumber daya alam yang ugal-ugalan, merubah lahan konservasi menjadi lahan tambang, dan berbagai kebijakan alih lahan dan hutan lainnya adalah wujud perbuatan mengurangi hak orang lain atau berbuat curang yang telah merugikan banyak orang.
Perbuatan curang bukan hanya merusak diri sendiri, tetapi juga merusak orang lain. Apabila yang curang seorang pemimpin, maka yang rugi bukan hanya pribadi sang pemimpin tetapi juga masyarakat umum. Begitu pula apabila yang curang adalah pejabat negara, maka yang rugi bukan hanya sang pejabat tetapi juga tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal tersebut kemudian berdampak kepada ketidakseimbangan tatanan ekosistem alam semesta.
Fenomena tersebut selaras dengan yang diperingatkan Al-Qur’an melalui kisah kaum Madyan dan Nabi Syu’aib, yaitu dalam surah Hud ayat 85. Nabi Syu’aib saat itu melarang kaumnya berbuat apa saja yang sifatnya merusak atau mengganggu keamanan dan ketenteraman di muka bumi, baik yang berhubungan dengan urusan-urusan keduniaan maupun yang berhubungan dengan keagamaan.
Melalui ayat tersebut, Allah swt memberitahukan perihal hukum-hukum seperti; wajibnya menyempurnakan timbangan dan takaran sebagaimana mestinya; haramnya mengambil hak orang lain, dengan cara dan jalan apa pun, baik hak itu milik perseorangan atau milik orang banyak. Kemudian haramnya berbuat sesuatu yang bersifat merusak atau mengganggu keamanan dan ketenteraman di muka bumi, seperti mencopet, mencuri, merampok, korupsi, menteror, dan merusak lingkungan.
Ayat lainnya yang mempunyai kaitan dengan perbuatan curang yang membahayakan manusia dan alam adalah surah Asy-Syuro ayat 181-183:
أَوۡفُواْ ٱلۡكَيۡلَ وَلَا تَكُونُواْ مِنَ ٱلۡمُخۡسِرِينَ (١٨١) وَزِنُواْ بِٱلۡقِسۡطَاسِ ٱلۡمُسۡتَقِيمِ (١٨٢) وَلَا تَبۡخَسُواْ ٱلنَّاسَ أَشۡيَآءَهُمۡ وَلَا تَعۡثَوۡاْ فِي ٱلۡأَرۡضِ مُفۡسِدِينَ (١٨٣)
Artinya: Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan.(181) dan timbanglah dengan timbangan yang lurus.(182) Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan.(183)
Ayat di atas masih mempunyai kaitan dengan ayat sebelumnya, yaitu tentang diutusnya Nabi Syu’aib oleh Allah swt ke Madyan, sebuah daerah yang dipenuhi dengan pohon lebat dan rindang yang berlokasi di pantai Laut Merah, sebelah tenggara Gurun Sinai, tepatnya antara Tabuk di Saudi Arabia dan Teluk.
Sebagaimana dijelaskan oleh oleh Quraish Shihab dalam Tafsir al-Lubab, bahwa tujuan Allah swt mengutus Nabi Syu’aib ke daerah tersebut adalah untuk menesahati kaum Madyan agar menyempurnakan timbangan dan takaran, serta tidak membuat kerusakan di muka bumi. Namun karena mereka mendustakannya, maka Allah menimpakan panas yang sangat kepada mereka, lalu mereka memasuki lubang-lubang, tetapi suhu mereka keluar. Kemudian, Allah memayungkan awan kepada mereka, lalu mereka berkumpul di bawahnya, ketika itu, Allah menghujani mereka dengan api, sehingga mereka terbakar.
Dalam Tafsir al-Maraghi, Mustafa al-Maraghi juga menekankan tentang larangan merugikan hak banyak orang, sehingga memberikannya dalam keadaan kurang. Kemudian jika kalian membeli, maka ambilah seperti jika kalian menjual. Ambilah sebagaimana kalian memberi, dan berilah sebagimana kalian mengambil. Kemudian melarang mereka melakukan kejahatan yang bahayanya sangat besar yaitu mengadakan kerusakan di muka bumi dengan segala bentuknya. Janganlah kalian banyak mengadakan kerusakan di muka bumi, seperti membunuh, memerangi, merampas, dan sebagainya.
Oleh sebab itu, selain perintah memakmurkan bumi dengan memanfaatkan sumber daya alam yang tersedia. Islam juga memerintahkan umatnya untuk menjaga keseimbangan dan kelestarianya. Perintah memanfaatkan dan mengelola sumber daya alam sepaket dengan larangan berbuat curang dan perintah menghargai alam, berupa mengelola sumber daya alam dengan baik, benar, dan beretika.
Sebab, problema yang berkaitan dengan etika dan degradasi akhlak telah banyak merusak sebuah bangsa dari dalam. Kecurangan yang terjadi telah menjadi momok di sektor privat maupun sektor publik selama berpuluh-puluh tahun. Perbuatan curang dan khianat adalah fenomena negatif yang sangat akut dalam perilaku masyarakat. Bahkan, bagi sebagian orang yang lemah jiwanya dan murah harga dirinya, perbuatan curang telah menjadi kebiasaan yang seolah bukan lagi dianggap perbuatan dosa. Sehingga perbuatan-perbuatan merusak lingkungan dianggap sebagai sesuatu yang wajar dan biasa-biasa saja.
Dalam pandangan Sonny Keraf, kerusakan lingkungan hidup terjadi karena adanya anggapan yang keliru mengenai pemanfaatan sumber daya alam dalam upaya peningkatan ekonomi. Kekayaan alam selalu dilihat semata-mata sebagai sumber daya ekonomi yang siap dieksploitasi demi pertumbuhan ekonomi. Ketika kekayaan alam dipandang sebagai sumber daya ekonomi, kecenderungan yang tidak bisa dielakkan adalah pemanfaatan sumber daya alam menjadi bernilai ekonomi yang riil dan berguna bagi kemakmuran suatu bangsa.
Akibatnya, selain nilai ekonomi, segala nilai lain yang terkandung dari kekayaan alam tersebut terabaikan dan tidak diperhitungkan sama sekali. Pola pembangunan seperti ini semakin memacu materialisme dan menyuburkan pola produksi dan konsumsi secara besar-besaran. Sehingga untuk memenuhi pola produksi dan konsumsi tersebut, alam dijadikan objek eksploitasi. Dan alam yang memiliki sisi-sisi untuk dihormati, kini hanya dijadikan alat untuk meningkatkan nilai ekonomi.
Padahal alam semesta dengan sumber dayanya yang melimpah bukan hanya digunakan untuk memenuhi kepentingan ekonomi saja. Lebih dari itu, alam beserta isinya adalah manifestasi dari keindahan Tuhan dan wujud agungnya kekuasaan Tuhan.
Bagi orang-orang yang bisa mengambil pelajaran dan hikmah. Alam adalah guru. Sebab, dari alam kita belajar. Ketika kita bisa menghargai alam, maka semakin dalam rasa cinta dan rasa syukur kita kepada Sang Maha Pencipta. Banyaknya lingkungan yang rusak di berbagai belahan dunia tidak terlepas dari ketidakmampuan manusia untuk menghargai alam, dan minimnya tanggungjawab moral terhadap alam.
Maka dari itu, menghargai alam adalah bagian penting dari etika lingkungan (environmental ethics), karena kita harus sadar bahwa manusia adalah bagian integral dari komunitas alam yang secara bersama-sama dengan unsur lainnya membentuk sistem ekologi. Ketika manusia tidak mampu menghargai alam, sejatinya manusia sedang menggalikan kuburan untuk anak cucunya di masa mendatang.