Peradaban manusia telah mengenal bahwa di antara sekian banyak penyakit yang ada di sekitar mereka, di antaranya dapat berpindah dari satu orang ke orang lainnya. Demikian pula pada era pra-Islam atau Islam awal saat Nabi Muhammad hidup, ada sekian penyakit yang penderitanya mendapat stigma dari masyarakat, dan dijauhi dengan rasa takut atau jijik.
Salah satu yang populer adalah penyakit kusta atau lepra. Penyakit kusta berasal dari bahasa India kustha, dan telah dikenal luas sejak era sebelum Masehi. Dalam kitab-kitab hadis, seperti Shahih al Bukhari misalnya, ada bab tersendiri tentang kusta. Penyakit ini disebut al-Judzam.
Penyebutan kusta dengan al-judzam ini telah ada sejak Arab pra-Islam, berdasarkan gejala yang tampak pada penderitanya. (الجذام) judzam berasal dari kata jadzama – yajdzamu yang semakna dengan qatha’a -yaqtha’u (قطع – يقطع ), artinya ‘memotong’ atau ‘terpotong’. Penting diketahui pada penderita kusta yang sudah lanjut, akan ada fenomena mutilasi, yaitu ada bagian tubuh yang buntung tanpa rasa sakit, terutama di tangan dan kaki. Dari penampakan gejala tersebut kata al-judzam berasal.
Dahulu, kusta disangka adalah suatu azab atau kutukan Tuhan. Selain era Rasulullah, laporan penyakit lepra ini banyak terjadi pada kurun abad ke-11 hingga ke-14 di area Mediterania dan Eropa, mengiringi fenomena wabah pes atau Black Death. Demikian dicatat William Bynum dalam The History of Medicine: A Very Short Introduction.
Imam al Bukhari mencatat hadis Nabi berikut seputar anjuran menjauhi penderita penyakit kusta:
فِرَّ مِنَ الْمَجْذُوْمِ كَمَا تَفِرُّ مِنَ اْلأَسَدِ
“Hindarilah orang-orang yang terkena judzam (kusta), sebagaimana engkau lari dari singa yang buas” (HR. Bukhari)
“Seperti lari dari singa buas” adalah ungkapan bahwa kusta adalah penyakit yang cukup ditakuti di masa hidup Rasulullah. Perintah Nabi untuk menjauhi penderita kusta ini agaknya berimbas dalam fatwa-fatwa ulama fikih klasik. Di antaranya adalah ketentuan faskhun nikah (pembatal pernikahan) jika diketahui salah satu pasangan mengidap kusta. Selain itu, beberapa ulama menyebutkan larangan penderita kusta untuk ikut shalat Jumat atau shalat berjamaah di masjid.
Nabi Muhammad sendiri – sepengetahuan penulis – tidak menyampaikan perihal pengobatan kusta. Namun, Nabi mengajarkan doa khusus perihal lepra ini:
عن أنس – رضي الله عنه – : أنَّ النبيَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يقول : “ اللَّهُمَّ إنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ البَرَصِ ، والجُنُونِ ، والجُذَامِ ، وَسَيِّيءِ الأسْقَامِ” . رواه أَبُو داود بإسناد صحيحٍ .
Artinya: Diriwayatkan dari Anas -radliyallahu anhu- bahwa Nabi Muhammad berdoa: “Ya Allah, aku berlindung padamu dari barash (belang), gila, kusta dan penyakit-penyakit buruk”. Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan sanad sahih.
Demikianlah beberapa hadis yang menunjukkan bahwa kusta di masa Nabi diidentikkan menakutkan dan sangat menular. Hal yang ditakuti juga adalah efeknya kepada anggota tubuh.
Perlu Anda ketahui bahwa di sisi lain, Nabi diriwayatkan pernah membaiat dan bersalaman dengan penderita kusta, bahkan makan bersama. Imam at-Tirmidzi meriwayatkan dalam Sunan at-Tirmidzi:
أَنَّ رَسُوْلَ الله أَخَذَ بِيَدِ مَجْذُوْمٍ فَأَدْخَلَهُ مَعَهُ فِيْ اْلقَصْعَةِ ثُمَّ قَالَ كُلْ بِاسْمِ اللهِ ثِقَةً بِاللهِ وَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ
“Sesungguhnya Rasulullah saw. memegang tangan seorang penderita kusta, kemudian memasukannya bersama tangan Beliau ke dalam piring. Kemudian Beliau mengatakan: “makanlah dengan nama Allah, dengan percaya serta tawakal kepada-Nya”. (HR. Turmudzi)
Ada riwayat juga yang menyebutkan bahwa istri Nabi, Aisyah radliyallahu ‘anha memiliki budak yang mengidap penyakit kusta, dan beliau makan bersama, berbagi tempat tidur, dan beraktivitas bersama budak ini. Demikian dicatat Imam Ibnu Hajar al Asqalani dalam Fathul Bari Syarh Shahih al Bukhari.
Ragam informasi tentang kusta dalam beberapa hadis di atas barangkali ada yang perlu dicermati kembali. Penelitian seputar kusta telah banyak berkembang, dan angka kejadiannya telah menurun dibanding sekian tahun lalu.
Kusta atau lepra (disebut juga Morbus Hansen) adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri tahan asam Mycobacterium lepra. Mekanisme penularannya belum diketahui pasti, namun yang paling umum diduga ia menular dengan kontak kulit yang lama dan erat. Kusta bukan penyakit yang mudah menular, sehingga interaksi yang tidak intens dengan penderita belum tentu memicu penularan bakteri.
Merujuk buku Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin FKUI, gejala yang dapat Anda ketahui adalah adanya gambaran bercak yang kemerahan/lebih gelap dibanding sekitarnya, dan di bercak tersebut terasa kering, lalu ada baal, kesemutan, atau hilang rasa. Gejala penyakit ini bisa muncul sekian bulan bahkan tahun kemudian.
Sering dikeluhkan pada penderita kusta adanya kesemutan, nyeri atau hilang sensasi rasa di tangan atau kaki, diikuti kesulitan menggerakkan anggota gerak tangan dan kaki akibat gangguan saraf tepi yang merupakan gejala kusta. Mutilasi atau putusnya bagian tubuh, sebagaimana gambaran kusta dalam literatur Islam klasik diakibatkan bagian tubuh yang sudah mati rasa, serta tidak berfungsi kembali sehingga tidak berfungsi normal dan buntung perlahan.
Kusta dapat diobati dengan meminum obat secara rutin dalam waktu sekurang-kurangnya 6 bulan sesuai gejala dan hasil laboratoriumnya, serta mengikuti arahan aktvitas harian dari dokter. Pengobatan kusta bertujuan memutus rantai penularan serta mengobati dan menyembuhkan penderita sebelum terjadi kecacatan.
Stigma terhadap penderita kusta atau penyandang disabilitas akibat kusta masih banyak ditemui. Terkait penyakit kusta, publik mesti mengakses pengetahuan terkini yang relevan, serta berobat ke layanan kesehatan jika merasakan gejala penyakit tersebut. Dengan informasi yang lebih baik seputar kusta, diharapkan stigma bisa dihapus dan penderitanya mendapat akses pengobatan yang tepat. (AN)