Pemindahan anggota badan baik berupa pencangkokan, tranfusi, donor, dan lain sebagainya merupakan konsekuensi logis dari kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan. Proses pemindahan itu secara medis biasa dilakukan terhadap orang yang masih hidup dan orang yang sudah mati.
Dalam berbagai macam referensi, masalah ini masih enjadi ikhtilaf (materi perdebatan) para fuqaha.
Pertama, jika pemindahan itu dari manusia yang masih hidup. Dalam hal ini apabila anggota badan yang dipindahkan itu akan menjadi sebab kematian nya sendiri seperti peindahan hati, maka hal ini haram secara mutlak. Artinya baik ada izin maupun tidakĀ (secara paksa mengabilnya atau membunuhnya) tetap haram, karena mengizinknnya berarti bunuh diri. Begitu pula apabila peindahan itu menyebabkan ia meninggalkan kewajiban-kewajibannya atau pemindahan itu menolong pada maksiat, meskipun hal itu masih memungkinkan untuk kehidupannya, maka hukumnya tetap haram seperti pemindahan dua tangan atau dua kaki sekligus yang menyebabkan ia tidak dapat bekerja.
Apabila tidak demikian (tidak menjadi sebab meninggalkan kewajiban dan tidak menolong pada perbuatan maksiat) seperti peindahan salah satu mata, satu ginjal atau darah, apabila pemindahannya tanpa izin maka haram dan wajib menggantinya sesuai dengan aturan sya’rayang secara terperinci dijelaskan dalam kitab-kitab fiqh bab diyat ‘ala an-nafsi wa al a’dha.
Apabila dengan izinnya maka sebagian ulama tetap mengharamkannya dengan alasan bahwa kemuliaan manusia tidak membolehkan salah satu bagian tubuhnya untuk orang lain, jika terpotong harus dikuburkan, (Majmu’ III; 149).
Ada juga ulama yang membolehkan itu dengan catatan tidak menjadikan tadlis atau fitnah seperti seperti yang disampaikan Ibn Hajar dalam kitabnya Fath al-Bari.
Dari pendapat ini nampaknya pemindahan anggota badan dari manusia hidup harus memperhatikan eksistensi kemanusiannya sebagai makhluk yang mempunyai tanggungjawab kepada Khaliq maupun makhluk lainnya serta bagaimana dia menjaga jasadnya sendiri (tetap hidup) karena itu merupakan karunia Allah Swt, yang tidak boleh dinafikan.
Kedua, jika pemindahan itu dari manusia yang sudah mati (mayit), sebagian berpendapat bahwa apabila pemindahan anggota badan itu dari mayit yang sebelumnya sudah berwasiat atau berpesan untuk memberikan salah satu bagian dari anggota badannya atau berpesan untuk memberikan salah satu bagian dari anggota badannya atau dengan kata lain sebelumnya sudah ada izin dari mayit, maka pemindahan itu diperbolehkan.
Pendapat ini mendasarkan pada tidak adanya dalil yang mengharamkan hal tersebut. Bahwa kemuliaan anak adam yang menjadi illat (sebab) diharamkannya pemindahan anggota badan, pendapat tersebut tidak melalrang untuk memanfaatkannya demi kehidupan.
Hal ini sesuai dnegan kaidah fikih adh-dharurah tubihu al-mahdhurah. Sama halnya jika sebelumnya tidak ada izin dari mayit tetapi walinya (keluarganya) memperbolehkan, mka hal itu juga diperbolehkan. Sebaliknya, apabila mereka tidak mengizinkan maka ada dua pendapat, tidak memperbolehkan dan membolehkan (Fatwa Syaikh Athiyah Saqr, Ketua Lajnah Fatwa al-Azhar Mesir).
Pendapat di atas secara eksplisit bisa dicerna bahwa pemindahan anggota badan dari mayit boleh dilakukan dengan catatan ada izin dari mayit sebelum meninggal atau keluarganya. Karena memandang tidak adanya dalil yang secara jelas tidak memperbolehkan pemindahan salah satu anggota badan.
Sumber: Dialog Problematika Umat, hal 288-289, Khalista, Surabaya.