Dalam kondisi masa yang penuh kejutan, kemampuan untuk meramalkan apa yang mungkin terjadi menjadi tak bisa ditawar bila ingin tidak terkejut oleh apapun yang mungkin terjadi, entah itu kemungkinan yang membahagiakan ataupun yang absurd sekalipun. Sayangnya, kemampuan dan minat untuk meramalkan sesuatu semakin lemah di kalangan orang Islam itu sendiri.
Jumat, 26 Maret 2021 kemarin, Kyai Husein Muhammad menulis: “jika kita memposting foto/gambar kyai, habib, atau tokoh idola, atau artis terkenal, lalu sesudah itu kita memposting tulisan tokoh besar yang isinya sungguh mencerdaskan, mencerahkan, filosofis dan sophisticated. Lihatlah kemudian yang mana dari keduanya yang paling banyak mendapat like publik?”
Kyai Husein melanjutkan, “pengalaman menunjukkan bahwa postingan model pertama jauh memperoleh like/minat berlipat-lipat. Begitu pula jika dihidangkan antara postingan doa-doa dan wacana mencerdaskan. Pilihan publik adalah postingan doa-doa. Jika begitu realitasnya, maka indikator apakah ini?”
Dari tulisannya Kyai Husein, dapat ditarik dua pertanyaan renungan: kenapa orang Islam lebih menyukai doa dibanding gagasan? Dan kenapa orang islam lebih suka mengagumi tokoh tanpa bergairah menelusuri gagasannya?
Ini menjadi indikasi bahwa ‘mentalitas pengikut’ cukup mengakar di kalangan umat Islam. Artinya, kehidupannya dipasrahkan pada figur besar yang dianggap dapat memberi keselamatan dan kebahagiaan (entah itu berupa tokoh, ataupun doa-doa tertentu yang punya kemujaraban lebih dibanding doa-doa lain), namun tidak diimbangi dengan cinta terhadap ilmu, penelusuran sebab-akibat, dan mengumpulkan hipotesis.
Konsekuensinya, setiap fenomena yang tidak membahagiakan semata disandarkan pada kuasa yang lebih besar. Ini tidak salah, karena Islam mengajarkan untuk selalu berserah kepada Allah. Namun kalau pada derajat tertentu justru malah membuat kita berpaling dari ilmu, berpaling dari penelurusan sebab-akibat dan berpaling dari pengumpulan hipotesis, hal ini justru harusnya menjadi evaluasi diri: jangan-jangan ada yang salah dengan cara kita menyikapi doa, usaha dan ilmu?
Sebab, tanpa adanya ilmu maka umat Islam tidak mungkin bisa memutus penyebab suatu fenomena. Akibatnya, fenomena itu terjadi terus berulang. Dan tanpa ilmu, umat Islam yang seharusnya bisa melakukan hal yang lebih besar, justru hanya bisa melakukan hal kecil.
Akhirnya, di zaman yang penuh kejutan, umat Islam menjadi kelompok yang paling sering terkejut, entah itu kaget moral, kaget politik, kaget ekonomi, ataupun kaget kemajuan peradaban. Keterkejutan adalah penanda terbatasnya bayangan seseorang atau kelompok tentang variasi skenario kenyataan yang mungkin muncul, dan sekaligus menandakan terseok-seoknya subjek yang bersangkutan oleh kenyataan. Artinya, ia tak punya kontrol terhadap kenyataan, entah itu kenyataan alam ataupun kenyataan sosial.
Kondisi ini kontras dengan masa lalu, di mana ilmu pengatahuan alam ataupun sosial-humaniora sama mapannya dengan laku ibadah dan doa. Di samping bersemaraknya karya-karya sufistik dan peribadatan, tersedia juga karya sastra yang merangkum kekayaan spektrum moral manusia, dari yang paling banal hingga yang paling mulia, dan menghimpun segerobak probabilitas situasi kehidupan, dari yang paling materil hingga yang paling absurd. Kisah 1001 Malam misalnya.
Dengan kata lain, dulu, umat islam sangat menghidupi tradisi idza kana (terj. Lamun ana, if, in case of): membayangkan kemungkin-kemungkinan skenario kehidupan seperti apa yang mungkin terjadi, baik itu corak sosial-humanioranya, bentuk kemajuan ipteknya, ataupun kombinasi keduanya.
Di kitab-kitab fikih, frase idza kaana―atau if, atau jika, atau in case of―adalah frase yang menghimpun gairah rasa ingin tau dan gairah untuk meramalkan suatu hal. Idza kaana biasanya muncul, baik itu dalam upaya ramalan behavioral (perilaku), ataupun dalam upaya ramalan ke-alam-an (natural phenomenon). Namun di manapun idza kaana muncul, frase ini adalah simbol bahwa seseorang telah punya komitmen untuk menjelajahi probabilitas relung terdalam manusia dan fenomena-fenomena alam.
Dalam proses perancangannya, idza kana melibatkan kerja imajinasi, pencarian santifik dan perenungan intersubjektif. Imajinasi memungkinkan orang atau kelompok untuk membayangkan konsep kenyataan atau fenomena yang tak terbatas. Pencarian saintifik melandasi dan sekaligus memastikan bahwa apa yang diimajinasikannya benar-benar ‘mungkin’ secara metodologis dan faktual. Sedangkan perenungan intersubjektif adalah upaya untuk membayangkan apa yang akan dirasakan orang atau pun kelompok lain terhadap rancangan imajiner dan pencarian saintifiknya.
Misalnya, bagaimana seorang ulama fikih merumuskan jenis-jenis darah perempuan: mana darah sehat, darah haid, darah penyakit, darah wiladah dan lainnya. Kategori-kategori darah yang ia simpulkan tidak mungkin tidak berasal dari kerja saintifik yang minimalnya ada cukup jumlah sampel perempuan yang dapat diobservasi. Sehingga, rupa-rupa fenomena pendarahan yang dialami perempuan dapat ditarik pola universalnya dan dibakukan menjadi kesimpulan yang representatif. Dari kategorisasi itu, hukum fikih terhadap perempuan dapat ditentukan variasinya.
Perumusan hukum fikih akan sangat sulit dilakukan kalau seorang ulama lemah dalam berimajinasi, melakukan kerja ilmiah dan lemah dalam merasakan perasaan orang lain.
Idza kana tentu dapat diterapkan pada konteks yang lebih besar seperti misalnya: membayangkan bentuk masa depan, penciptaan teknologi, ataupun membayangkan gaya dan pandangan hidup masyarakat tertentu yang berbeda. Di Jepang, tradisi idza kana menjadi energi utama penggerak anime. Konsep emanasi milik Ibnu Arabi misalnya, dapat direartikulasi dengan jernih di anime Fullmetal Alchemist. Hal serupa juga dapat ditemukan di Barat: film atau budaya Sci-Fi menjadi cermin dialektik yang cukup menentukan arah perkembangan fisika, biologi, astronomi dan teknologi.
Adanya tradisi idza kana akan membuat hidup seseorang atau kelompok menjadi lebih hidup, lentur dan toleran. Ia punya cukup pemahaman dan perasaan: tentang apa yang ingin dan akan dilakukan; tentang apa yang dirasakan orang lain; dan punya cukup kepercayaan diri untuk berhadapan dengan kenyataan. Dengan kata lain, punya semangat kemajuan dan empati yang lebih peka, karena yang selalu dibayangkannya adalah ‘bagaimana jika’. Dengan kata lain, mentalitas penakluk kenyataan. Bukan mentalitas pengikut.
Oleh karena itu, jika kita telah banyak berdoa dan mengagumi banyak tokoh suci, namun doa tak kunjung terkabul dan musibah tetap berulang, maka, boleh jadi hal itu terjadi karena ilmu dan usaha telah lama kita abaikan, dan gagasan-gagasan para ulama tak pernah kita telisik dan kembangkan, sehingga kita tak punya imajinasi dan usaha yang cukup terang untuk berhadapan dengan gelapnya skenario kenyataan yang beragam.
Di titik ini, kita perlu menelaah dan mengevaluasi ulang bagaimana sikap kita terhadap doa, ilmu dan usaha. Boleh jadi, ada yang tidak beres dari sikap kita selama ini sampai-sampai sedemikian redupnya tradisi idza kana kita dalam berkehidupan. Mungkinkah kita akan bersikap sebagaimana sikap Gereja terhadap Galileo dulu, bila esok Elon Musk berhasil mengkoloni planet Mars?
Ketika manusia tidak lagi menjadi makhluk yang geosentris, maka, dapatkah agama menyesuaikan diri? Misalnya seperti, bagaimana rumusan hukum fikih solat dan puasa di Mars?