Perdebatan dalam menentukan sebuah makna tampaknya selalu menjadikan benar dan salah sebagai tolak ukur. Adanya metode tertentu yang digunakan oleh orang maupun golongan tertentu akan menghasilkan pemahaman yang berbeda dengan orang yang menggunakan metode berbeda dalam menetapkan makna sebuah teks. Perbedaan pendapat dan pemahaman sejatinya bukanlah suatu hal yang dikhawatirkan. Sebab, merupakan fitrah manusia jika ia mengikuti cara dan pendapat yang disenangi.
Yang menjadi masalah adalah bahwa ternyata perbedaan pendapat dan pemahaman ini kemudian menjadi sebuah truth claim. Dimana ‘aku benar dan kamu salah’. Sering kali sikap truth claim membawa seseorang kepada sikap takfiri (mengkafirkan) orang yang berbeda paham dengannya. Inilah masalah serius yang saat ini dihadapi masyarakat, terlebih masyarakat yang pluralis seperti Indonesia. Eksistensi pluralitas masyarakat menjadi terancam dengan adanya klaim kebenaran tunggal.
Kemudian muncul pertanyaan serius mengenai sikap truth claim ini, “Dimanakah konsep Islam yang menghargai perbedaan?” Padahal, secara tegas al-Qur’an menyebutkan bahwa tidak ada paksaan dalam beragama (al-Baqarah: 256), apalagi untuk sekedar berbeda pendapat d alam masalah kecil. Nabi menjelaskan bahwa orang mukmin itu bagaikan satu tubuh dalam kasih sayang (HR. al-Bukhari: 2586), bukan mencela apalagi mengkafirkan orang lain. Dan sejarah mencatat bahwa Nabi hidup dalam toleransi tinggi ketika memutuskan menandatangi Piagam Madinah. Maka menjadi suatu hal yang aneh jika kemudian truth claim menjadi cara hidup.
Truth Claim; Sebuah Ironi terhadap Realitas
Truth claim atau kebenaran tunggal barang kali disebabkan beberapa faktor, salah satunya adalah ketidakmampuan dalam membedakan antara syari’at dan mu’amalah. Semua yang ada di dalam nash dianggap sebagai syari’at yang harus dijalankan sebagaimana bunyi nash tersebut (baca: tekstual). Bahkan, budaya-budaya Arab juga dianggap sebagai syari’at. Ketidakmampuan dalam membedakan mana syari’at, mana mu’amalah, dan mana budaya ini tentu menentukan dalam pengambilan kesimpulan dari nash. Tak heran jika kemudian yang diperdebatkan bukan hanya masalah akidah dan syari’at, tetapi juga mengitari permasalahan-permasalahan furu’iyyah (cabang) kecil dalam agama, yang mana sebenarnya wajar jika terjadi perbedaan pendapat. Contohnya mengenai hukum jenggot.
Beberapa bulan yang lalu media sosial digegerkan dengan perkataan Yazid Jawas mengenai hukum jenggot. Ia menyatakan bahwa hukum jenggot adalah sunah, tetapi sunah yang wajib, sehingga di satu sisi mengundang gelak tawa dan ketidaksepakatan banyak pihak. Sebab, tidak ada konsep sunah yang wajib. Di sisi lain pengikutnya meyakini dan mendukung ucapannya. Seandainya perbedaan pendapat ini berhenti di sini, dalam arti tidak terjadi truth claim, maka perbedaan pendapat tidak akan menjadi rahmat. Namun, di lain kesempatan ia menyatakan bahwa jika ada ulama tidak berjenggot, maka ia tidak boleh diikuti. Sebab, ulama tersebut tidak menjalankan salah satu kewajiban, yaitu berjenggot. Padahal, banyak ulama lain yang menyatakan bahwa jenggot hanyalah sunah, tidak wajib.
Yang menjadi permasalahan adalah adanya kelanjutan dari perbedaan pendapat ini. Dengan memanfaatkan media sosial, baik tokoh mau pun pengikut golongan tertentu sering kali memperdebatkannya di akun-akun media sosial yang mereka pegang, dengan tujuan pembuktian bahwa ‘Aku benar dan kamu salah’. Meski tidak semua unggahan ditujukan untuk menyanggah pendapat orang lain, namun dengan menghadap-hadapkan beberapa pendapat, sering kali pengguna media sosial melihat bahwa hanya satu pendapat yang benar di antara beberapa pendapat yang ada. Apalagi jika si pengguna media sosial adalah orang yang masih awam dalam agama.
Karenanya, masyarakat kini terkurung dalam ruang gema, di mana seseorang dapat menemukan penafsiran-penafsiran yang sesuai dengan keinginannya, sehingga keyakinan dan pendapatnya diperkuat. Sedangkan pendapat yang berbeda dengan kehendak hatinya ia abaikan (baca: fanatik mazhab/kelompok). Terlebih, di era digital ini, media internet dimanfaatkan sebagai sarana dakwah yang bersifat truth claim. Sehingga banyak orang yang terjatuh pada sikap seperti ini, khususnya orang-orang awam yang belum bisa membedakan berbagai masalah dalam agama.
Untuk itu, diperlukan adanya tindak penyadaran masyarakat untuk dapat membedakan antara syari’at, mu’amalah, serta budaya. Sehingga masyarakat tidak terjebak pada sikap pembenaran tunggal, meninggalkan sikap tabayun, dan bersikap intoleran terhadap perbedaan pendapat. Tentu orang yang melakukan ini bukanlah orang yang hanya paham mengenai satu bidang ilmu tertentu, apalagi para muballigh yang sering melakukan truth claim. Dalam hal ini, kajian Ma’anil Hadis bisa menjadi alternatif.
Bersambung