Pentingkah Ada MUI?

Pentingkah Ada MUI?

Apakah NU dan Muhammadiyah belum cukup sehingga perlu ada MUI?

Pentingkah Ada MUI?

Yang kerap jadi masalah, atau sekurang-kurangnya dipermasalahkan, dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) ialah—meminjam istilah Gus Mus dalam artikelnya di Suara Merdeka (24/08/2005)—ketakjelasan jenis “kelamin”-nya dan, tambahan saya, persepsi masyarakat awam terhadapnya.

MUI bukan lembaga negara—meski mendapat sumbangan finansial dari negara. Di masa Orde Baru, MUI disebut-sebut merupakan kepanjangan tangan negara untuk menjinakkan umat Islam agar tak jadi oposan: jadi khadim al-hukumah (pelayan pemerintahan). Sejak Reformasi, MUI bisa lebih independen, bahkan berseberangan dengan negara: berperan sebagai, katanya,  khadim al-ummah (pelayan umat).

Mutakhir, MUI makin ke sini makin lebih dominan pengaruhnya ketimbang negara dalam urusan kepercayaan. Fatwa-fatwa MUI jadi legitimasi, bahkan mengatasi konstitusi yang menjamin kebebasan beragama. MUI lebih berperan sebagai pengukuh ortodoksi-konservatif (Sunni) ketimbang, misalnya, membuka perdebatan keilmuan dan memfasilitasi dialog demi kerukunan antar sekte internal Islam.

Meski tugasnya bukan sekedar mengeluarkan fatwa, dampak yang paling dirasakan oleh masyarakat akar rumput dari MUI—selain persoalan “bisnis” label halal yang diinvestigasi Majalah Tempo belum lama ini dan cukup panas memicu perdebatan itu—adalah fatwanya.

Dalam urusan fikih-partikular, MUI tak terlalu menjadi rujukan. Fatwa haramnya rokok, misalnya, tak begitu ditaati umat Islam. Para perokok cenderung merujuk ke NU dalam soal ini: hukumnya makruh. Namun dalam masalah kredo-akidah, fatwa MUI kerap jadi alat pembenar persekusi. Misalnya, fatwa MUI tentang Ahmadiyah yang bukan bagian dari Islam dan MUI Jawa Timur (bukan pusat) yang menyesatkan Syiah. (Menurut keterangan dari Syafiq Hasyim, Rais Syuriah PCINU Jerman yang meneliti tentang MUI, putusan MUI pusat tentang Syiah belum berstatus fatwa, baru sekedar rekomendasi untuk waspada pada Syiah-Ghulat [ekstrim])

Kiai Ma’ruf Amin pernah menulis di koran Republika (8/11/2012) tentang fatwa MUI. Katanya, “Fatwa MUI tentang masalah akidah dimaksudkan sebagai panduan dan bimbingan kepada umat tentang status paham keagamaan yang berkembang di masyarakat.” Fungsi fatwa, menurut Kiai Ma’ruf Amin, ialah sebagai al-bayan (penjelasan).

Fatwa sebagai sebuah penjelasan—sekali lagi sekedar penjelasan—tidaklah bermasalah. Anggap ia sebagai pendapat yang sama haknya untuk diungkapkan oleh orang dan ormas lainnya. Namun persoalannya: bagaimana jika fatwa itu menjadi pembenar persekusi? MUI mestinya punya fatwa tentang ini: fatwa MUI tentang fatwa MUI sendiri.

Sayangnya, selama ini bila terjadi tindak persekusi dengan legitimasi fatwanya, MUI cenderung lepas tangan dan bilang “itu oknum!”—ini sebuah apologi yang menurut saya jelas tak bisa diterima. Bila tindak persekusi kepada minoritas itu ialah dosa, maka MUI turut memiliki “saham” dosa. Para pendekar di MUI saya yakin tahu, mengusir orang dari kampungnya ialah kezaliman besar. Jihad dalam bentuk perang fisik mulai disyariatkan di Al-Quran sejak umat Islam diusir dari kampungnya, Mekkah, sebagai bentuk perlawanan terhadap pelanggaran hak tinggal di tanah airnya.

***

Sebenarnya fatwa ialah opini resmi (legal opinion) belaka. Dalam praksis sejarah umat Islam perdana, fatwa muncul setelah ada mustafti (peminta fatwa) yang bertanya. Jadi fatwa itu pada mulanya didahului oleh pertanyaan. Dalam kasus MUI, banyak fatwa muncul tanpa ada yang bertanya. Itu fatwa antisipatif, katanya.

Dalam sejarah umat Islam perdana, fatwa bisa banyak, saling berbeda, dan muncul dari individu. Kitab-kitab himpunan fatwa (fatawa) dinisbatkan kepada perorangan. Misalnya, Fatawa Ibn Taimiyah, Fatawa as-Suyuthi, Fatawa Ibn Hajar, Fatawa ar-Ramli, dll. Seorang mustafti bisa beroleh jawaban A dari ulama X, jawaban B dari ulama Y, dan seterusnya. Mustafti punya hak sepenuhnya untuk memilih mana dari ulama itu yang dirasa cocok dengan nuraninya.

Ini berbeda dengan fatwa MUI di negeri ini: fatwa dinisbatkan pada organisasi. Dan karena MUI dipersepsikan oleh awam sebagai berisi perwakilan seluruh ormas Islam negeri ini, maka MUI dipandang lebih representatif. Bagi awam, fatwa MUI dipandang seolah lebih tinggi statusnya ketimbang fatwa dari NU atau Muhammadiyah.

Padahal sebagian besar tokoh kunci MUI ya orang NU dan Muhammadiyah. Ahli-ahli fikih dan ushul fikih di NU dan Muhammadiyah yang tak bergabung dengan MUI, saya rasa, lebih jago ketimbang yang bergabung di MUI. MUI kini terkesan oleh awam sebagai lembaga yang “mengatasi” NU dan Muhammadiyah. Padahal tidak demikian. Sebagian dari kita barangkali kerap bertanya-tanya: apakah NU dan Muhammadiyah belum cukup sehingga harus ada MUI?

Karena itu, NU dan Muhamadiyah diharapkan bisa lebih proaktif merespon fatwa-fatwa MUI. Ini agar fatwa yang muncul lebih plural. Semakin banyak fatwa, semakin baik. Dengan itu, umat lebih punya banyak pilihan. Upaya NU mendirikan Badan Halal NU itu keren. Para pengusaha yang ingin produknya mendapat sertifikat halal tak harus ke MUI.

Banyaknya pilihan fatwa mengajarkan masyarakat awam bukan untuk bingung, tapi untuk menyadari akan pluralitas pandangan dalam Islam. Kemajemukan pandangan itu, dalam beberapa hal, memudahkan umat Islam sendiri. Juga, mendidik masyarakat tentang fakta keras tafsir agama: pluralitas pandangan itu niscaya. Jangankan dalam ayat atau hadis yang sama, dalam satu kata yang sama di dalam teks Quran atau Sunnah bisa memunculkan beragam interpretasi. Perbedaan semacam ini sudah lazim terjadi dan termaktub ratusan di dalam khazanah klasik Islam.

Khalifah yang terkenal adil dari Dinasti Umayyah, Umar ibn Abdul Aziz, pernah berkata, “Aku lebih senang bila para ulama berbeda pendapat, sebab dengan demikian umat punya banyak pilihan.” Salah satu imam 4 mazhab ortodoks Sunni, Malik ibn Anas dari Madinah, tak berkenan menyerahkan kodifikasi hadis-fikihnya kepada pemerintah (Abbasiyah) tersebab menyadari bahwa di belahan kawasan lain (Irak, Syam, dan Mesir), ada ulama lain.

Begitulah, keragamaan pandangan itu perlu ada. Dan biarkan umat untuk memilih dengan kesadaran nuraninya. Fatwa bukan seperti surat ensiklik dari Vatikan. Dalam soal ini, Islam tidak sama dengan Katolik. Islam tidak mengenal lembaga klerikal yang terpusat. Dan sabda Nabi itu keren sekali: “Mintalah fatwa pada hatiimu, sekalipun banyak orang memberimu fatwa (Istafti qalbak wain aftaka an-nas).”

***

Waba’du, Prof. Dr. Din Syamsudin baru saja menjadi Ketua Umum MUI, menggantikan Kiai Sahal Mahfudz yang wafat beberapa pekan lalu. Pak Din diharapkan bisa mengendalikan MUI secara de facto; tidak seperti di masa Kiai Sahal yang kalah dominan dari pengurus harian.

Dari beberapa tulisannya yang pernah saya baca, pandangan Pak Din ini cukup terbuka dengan keragaman tafsir dalam Islam. Antara lain, Pak Din menyatakan bahwa Syiah adalah mazhab yang sah dalam Islam. Pak Din juga pernah ikut menandatangani Risalah Amman 2004 di Yordania tentang persatuan Sunni-Syiah bersama puluhan ulama dunia.

Pak Din juga lulusan Amerika. Sebagai pengajar ilmu politik, tentu Pak Din paham prinsip-prinsip demokrasi: ia lahir sebagai perlawanan terhadap lembaga klerikal. Pak Din tentu juga tahu bahwa di alam demokrasi yang kian terbuka, lazimnya lembaga keulamaan akan mengalami defisit legitimasi dan wibawa. Di alam demokrasi, fatwa-fatwa yang bertebaran akan makin dianggap sebagai pendapat biasa, sebab manusia-manusianya akan makin rasional dan berani berpikir sendiri.