Rabu, 6 Maret 2024, saya bersama peserta program “Penguatan Moderasi Beragama” melangkah ke dalam Proyek Corpus Coranicum yang terletak di Potsdam, Jerman. Sambutan hangat dari Michael Marx, pemimpin proyek, dan Dirk Hartwig, seorang ahli di dalamnya, mengawali petualangan intelektual kami.
Michael Marx dan Dirk Hartwig, keduanya merupakan murid-murid terkemuka Prof. Angelika Neuwirth di bidang Qur’anic Studies. Proyek akademik yang telah berjalan selama sekitar 20 tahun dan didukung oleh Pemerintah Jerman ini telah menjadi kekuatan utama dalam mengembangkan Ulumul Qur’an di era digital. Corpus Coranicum memfokuskan upayanya pada empat hal utama.
Pertama, mereka melakukan digitalisasi database manuskrip-manuskrip kuno Al-Qur’an. Lebih dari 30.000 gambar dan teks dari 95 koleksi memberikan gambaran awal serta bukti konkret tentang keberadaan Al-Qur’an. Kedua, Corpus Coranicum menciptakan database perbedaan qira’at yang diambil dari karya-karya awal tradisi ilmiah Islam, yang secara khusus membahas qira’at sebagai bagian dari rumpun ilmu tafsir. Database ini mencakup semua jenis qira’at, termasuk mutawatirah, masyhurah, dan syadzdzah.
Ketiga, mereka membuat database yang memuat Texte aus der Umwelt des Korans (teks-teks yang ada pada saat Al-Qur’an diwahyukan). Teks-teks dari agama lain yang ada pada masa Late Antiquity (sekitar abad 5-7 Masehi) yang relevan dengan Al-Qur’an dipaparkan secara komprehensif. Inilah yang menjadi kunci dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an. Keempat, Corpus Coranicum juga menyusun tafsir Al-Qur’an berdasarkan pendekatan sastrawi dan kronologis turunnya ayat-ayat Al-Qur’an (literary-chronological approach) (lihat www.corpuscoranicum.de).
Dari perspektif Moderasi Beragama, Proyek Corpus Coranicum dapat dianggap sebagai wujud nyata dari proses ta‘aruf (upaya saling mengenal) antara para ilmuwan dengan beragam afiliasi agama, seperti Yahudi dan Kristen, terhadap keilmuan dan tradisi keislaman. Ini bukan hanya sekadar ta‘aruf, melainkan merupakan bentuk pendalaman pada tradisi keagamaan lain.
Mengutip Q.S. al-Hujurat: 13, Al-Imam Fakhr al-Din al-Razi mengajarkan bahwa dalam ta‘aruf, dua sikap utama yang harus diambil adalah mengakui eksistensi bangsa, suku, tradisi, dan agama lain (‘adam al-tanakur) serta saling menolong (tanashur) (Lihat al-Razi, Mafatih al-Ghayb, 28:138). Corpus Coranicum mengambil langkah-langkah ini dengan mengakui eksistensi Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam dan sekaligus memberikan bantuan kepada semua, termasuk umat Islam, dalam memanfaatkan hasil digitalisasi database dan penafsiran yang merujuk pada pencarian historical meaning (makna historis) ayat-ayat Al-Qur’an.