Allah Swt, membagikan karunia dan menentukan nasib manusia itu sesuai dengan kadar dan hikmah yang sudah ditentukan. Ada sebagian manusia yang dikaruniai hanya pas-pasan dalam materi, bahkan ada yang sampai tidak memiliki harta sama sekali, tetapi memiliki pengetahuan dan skil dalam dunia usaha. Sementara sebagian yang lain memiliki harta yang melimpah tetapi sedikit pengetahuan dan skil bahkan tidak punya skil.
Atau karena faktor waktu , sebagian orang yang memiliki kelebihan harta terkadang tidka memiliki cukup waktu dan kemampuan untuk mengembangkannya. Sementara sebagian yang lain memiliki kelapangan waktu dan skil tetapi tidak memiliki cukup harta untuk modal.
Mengapa manusia tidak berfikir untuk menanamkan atau menginvestasikan haratnya pada pengusaha-pengusaha yang mengoprasikan harta secara profesional dan perhitungan menejemen yang bagus? Bagaimana orang yang berharat tidak memberikan hartanya kepada orang yang memiliki skil dan pengetahuan untuk dapat menjalankan hartanya sebagai modal yang kemudian berkembang dan membuahkan hasil (laba)? Apakah tidak lebih baik bekerja sama untuk saling melengkapi kekurangan dan saling membantu?.
Karena dengan demikian orang yang memiliki kemampuan skil dan pengetahuan dapat mengambil manfaat dari harta si kaya tanpa mengurangi jumlah nominalnya, dan begitu pula sebaliknya sikaya mendapatkan manfaat dari orang yang memiliki skil dan pengetahuan. Terlebih lagi pada unit-unit usaha yang membutuhkan penanaman modal besar dari harta mereka untuk pengembangannya seperti PT, CV, dan usaha kerakyatan yang dikenal dengan koperasi.
Koperasi-koperasi yang telah kita ketahui adalah sebuah badan usaha yang mengelola unit-unit usaha tertentu. Ia menyediakan perangkat-perangkat usaha, seperti tenaga pengelola pada bidangnya dan sistem menejemen usaha. Sebagai badan usaha koperasi tidak cukup hanya didukung tenaga pengelola atau sistem menejemen saja, tapi membutuhkan materi sebagai modal usaha dan pengembangan usahanya.
Di sinilah kemudian timbul simbiosis mutualism di antara pemilik modal yang membuuhkan tenaga pengelola koperasi yang bertindak sebagai pengelola modalnya.
Bentuk muamalah semacam itu oleh fuqaha dinamakan aqdu al-mudharabah yaitu transaksi di antara dua orang di mana yang satu memberikan hartanya pada yang lain untuk dikelola dengan perjanjian pembagian laba yang jelas dan disepakati bersama. (al-Fiqh ala Madzahib al-Arba’ah: III, 34).
Ada beberapa unsur yang harus tercakup dalam akad mudharabah yang disebut dengan arkanu al-mudharabah. Pertama, sighat, yaitu ucapan yang menunjukan keduanya sedang melakukan transaksi. Sighat ini mencakup dua unsur, yakni ijab (penetapan) dari pihak pengelola modal, dan qabul (penerima) dari pihak penanam modal.
Dalam dunia usaha sekarang ini praktik ijab qabul tidak semua dengan lisan tetapi terkadang dalam bentuk tulisan termasuk koperasi yang dalam praktiknya cukup menawarkan prosentase bagi hasil dari penanaman modal sebagai ijabnya yang kemudian disetujui oleh pemilik modal dengan mempercayakan modalnya untuk dikelola koperasi tersebut sebagai tanda qabulnya.
Kedua, al-aqidaan (dua orang yang terlibat transaksi) yaitu shahibu al-mal (pemilik harat/modal) dan amil (pengelola modal) baik individual maupun kelembagaan (badan usaha).
Dan yang ketiga, ra’su al-mal atau modal itu snediri yaitu harta dalam wujud naqdain atau emas maupun perak atau uang yang kadarnya diketahui. (Madzahib al-Arba’ah: III, 36 dan al-Fiqhu al-Manhajy: III, 232-233).
Kerjasama semacam itu tentu saja harus dibangun berdasarkan prinsip-prinsip keadilan dan cara-cara yang dibenarkan syariat. Oleh karena itu, syariat Islam memberikan syarat-syarat tertentu pada akad mudharabah.
Syarat itu adalah pertama, al-ithlaq atau adamu taqyid artinya modal yang sudah ditanamkan diserahkan sepenuhnya pada pengelola untuk dioperasikan. Tidak dibenarkan pemilik modal menentukan usaha yang akan dijalankan pengelola.
Kedua, keuntungan adalah milik bersama, harus ada kesepakatan di antar peilik pengelola dalam hal untung atau laba. Jadi harus ada komitmen bersama dalam hal ini. Apakah ada laba, maka laba itu dibagi dengan persetujuan yang telah disepakati atau disesuaikan dnegan prosentase dari besarnya modal yang telah ditanamkan.
Ini sesuai dengan kontribusinya masing-masing pada usaha bersama itu. Yang satu mendapatkan untung dari harta modal yang ditanamkan, dan yang lain mendapatkan untung dari jerih payahnya mengelola modal.
Dan yang ketiga, istiqlalu al-amil bi at-tasharruf wa al-amal artinya dalam hal tasharruf atau pengelolaan modal sepenuhnya oleh amil atau pengelola, tidak bekerjasama dnegan pemilik modal. (al-Fiqhu al-Manhajy: III, 233-235).
Walhasil, kedudukan bunga (uang bagi hasil) dari penanaman modal untuk usaha adalah tidak haram, sepenjang praktiknya sesuai dengan syarat dan rukun sebagaimana diuraikan di atas. Karena transaksi itu termasuk aqdu al-mudharabah yang secara hukum sah dan syariat membolehkannya sesuai dnegan ijma’u ash-shahabah. (Qulyubi, III, 51).
Namun ada pengecualian dalam hukum usaha simpan pinjam. Penyimpanan harta pada badan usaha semacam itu masih ada khilaf (materi perdebatan) sesuai dengan niatan awalnya. Apabila penyimpanan uang itu karena keamanan dan tidak yakin uangnya digunakan untuk larangan agama, maka hukumnya makruh.
Adapun hukum pinjam memimjam apabila dijanjikan mendapatkan bunga, maka hukumnya haram. Tetapi kalau tidak dengan perjanjian atau bunga itu telah menjadi kebiasaan walaupun tidak dijanjikan, maka hukumnya ada dua, haram dan boleh. (Ahkamu al-Fuqaha, 146-147).