PENGEMIS
Aku mengemis dari rumah ke rumah di jalanan desa ketika kereta emasmu tampak dari kejauhan seperti mimpi indah dan aku bertanya-tanya siapakah Raja diraja ini?
Harapanku melesat tinggi dan kukira kemalanganku akan berakhir, dan aku berdiri menunggu pemberian dan kekayaan yang bertebaran di setiap jejak kereta.
Kereta kuda itu berhenti di hadapanku. Tatapanmu tertuju padaku dan engkau turun sambil tersenyum. Aku merasa keberuntunganku akhirnya datang. Lalu, tiba-tiba engkau menjulurkan tangan dan berkata, “Apa yang akan kau berikan kepadaku?”
Ah betapa lucu lelucon ini, menengadahkan tanganmu kepada seorang pengemis untuk mengemis! Aku bingung dan ragu, kemudian perlahan-lahan kukeluarkan sejumput biji jagung dari kantongku dan kuberikan kepadamu.
Betapa terkejutnya aku, ketika sore tiba aku mengosongkan kantongku dan menemukan biji emas di antara tumpukan hasil mengemis! Aku menangis pedih dan berharap andai saja aku rela memberikan semua milikku kepadamu.
Sejumput puisi di atas, yang tampak laksana prosa, saya kutip dari kitab puisi karya Rabindranath Tagore, “Gitanjali “.
Puisi di atas bernyanyi tentang seorang pengemis yang berjalan ke sana ke mari hanya untuk merengek dan mengiba, memohon belas kasih orang lain.
Namun, di saat seorang Raja diraja dengan kereta berkilau emas menghampiri, meminta sesuatu darinya, pengemis itu hanya memberi sedikit yang ia punya. Pengemis itu enggan memberi kepada raja yang mengemis kepadanya.
Betapa malangnya pengemis itu, ketika tahu, di kantongnya ada Seongok emas sebagai ganti dari Sang Raja atas derma yang pengemis berikan.
Pengemis itu adalah tamsil untuk kita, untuk saya dan anda, yang siang-malan tanpa lelah mengemis ke sana ke mari, tanpa lelah, untuk menumpuk kekayaan.
Namun, ketika seorang datang mengemis pada kita, meminta sesuatu, dengan berat hati, tangan terasa lemah untuk memberi.
Kita adalah para pengemis yang lebih suka diberi daripada memberi, lebih senang disuapi daripada menyuapi. Kebanyakan dari kita, terutama saya, bermental pengemis, bukan bermental dermawan.
Di republik ini, kita melihat begitu banyak orang berkeliaran untuk mengemis dengan beragam rupa. Ada yang berdasi, ada yang seperti guru, ada yang seperti wartawan, ada yang seperti mahasiswa, ada yang seperti ustadz, ada pula yang seperti motivator.
Semuanya sibuk mengemis untuk memupuk kekayaan, untuk membeli kemewahan. Tapi, ketika Raja meminta sesuatu, mereka kikir, memberi hanya sedikit dari yang mereka punya.
Sungguh malang sebuah bangsa yang jumlah pengemisnya jauh lebih banyak dari jumlah orang yang suka berderma. Bukankah tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah?