Pengalaman Pertama Salat Jumat di Masjid Nabawi: Berlomba Datang Paling Cepat, Jika Tak Mau Panas-panasan di Atap

Pengalaman Pertama Salat Jumat di Masjid Nabawi: Berlomba Datang Paling Cepat, Jika Tak Mau Panas-panasan di Atap

Saya mengira salat Jumat di masjid Nabawi akan seperti berjamaah di Masjid al Mujahidin Pisangan Barat atau masjid di Indonesia pada umumnya.

Pengalaman Pertama Salat Jumat di Masjid Nabawi: Berlomba Datang Paling Cepat, Jika Tak Mau Panas-panasan di Atap
(Foto: Alvin/Islamidotco_MCH 2024)

Sebagai muslim yang belum pernah menginjakkan kaki di Madinah, salah satu mimpi saya, selain bisa beritikaf di Raudha, adalah salat Jumat di masjid Rasul.

Tugas sebagai Media Center Haji PPIH Arab Saudi 2024 tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Perlu pintar membagi waktu agar tidak mengganggu jadwal tugas.

Jumat, 10 Mei 2024, ketika Kepala Daerah Kerja Bandara (KADAKER) memberi arahan untuk melaksanakan munajat sebelum tugas di Masjid Nabawi, saya sangat antusias. Ini adalah hari bersejarah bagi saya untuk melaksanakan Jumatandi masjid tempat ditempanya para Ahlus Shuffah.

Saya mengira salat Jumat di masjid Nabawi akan seperti berjamaah di Masjid al Mujahidin Pisangan Barat atau masjid di Indonesia pada umumnya, datang 5-10 menit sebelum adzan tidaklah masalah. Di Indonesia, datang pada waktu-waktu tersebut bisa dibilang terlalu asap. Saf masih longgar, jadi bisa milih barisan depan, mojok di pinggir tembok sambil ngadem di bawah ac atau kipas angin.

Ternyata salat di Masjid Nabawi tak semudah yang saya bayangkan. Bersama teman sesama MCH, saya berangkat sejam sebelum manjing waktu salat. Supir taxi yang kami naiki bercerita kalau setiap salat Jumat, akses ke lantai bawah Nabawi akan ditutup sejam sebelum adzan. Mustafa, sang supir bahkan menambahkan, kalau sudah khutbah, kita tak akan bisa masuk saking ramainya.

“Jalanan ini akan macet kalau gerbang ditutup, beruntung masih ada waktu. Jakarta juga macet, kan?” ujarnya dalam bahasa Arab diselingi becanda.

Saya pun menimpalinya dengan candaan.

“Kalau di Jakarta, ada atau nggak ada salat Jumat tetep macet,” kami tertawa berdua.

Sesampainya di Nabawi, kami buru-baru masuk ke dalam. Dan benar, sesampainya di beranda depan, akses menuju lantai bawah ditutup. Pilihannya dua, salat di rooftop atau di pekarangan. Kami memilih rooftop, sembari menunggu keindahan apa yang akan kami dapatkan. Salah satunya, ya, panas. Beginilah konsekuensi datang telat di masjid Nabawi, ganjarannya langsung dapat “api neraka”.

Adzan pertama dimulai, selang beberapa menit dilanjut adzan kedua. Ini juga menjadi pembeda antara Nabawi dan masjid-masjid di Indonesia. Di Kota Nabi ini, adzan pertama dikumandangkan sebelum masuk waktu salat, sedangkan di Indonesia, adzan pertama usai masuk٫ waktu salat.

Panas semakin terik, tapi kami masih bertahan. Dalam hati, saya pun mulai meyakini, bahwa Nabawi bukan hanya tentang kita tapi tentang muslim sedunia. Setiap orang berlomba mencicip berkahnya, meskipun harus datang 2-3 jam sebelum adzan dikumandangkan. Kita yang datang telat memang harus diganjar dengan panasnya atap yang menyengat. Lain waktu, jika ingin salat Jumat di Masjid Nabawi, berangkatlah lebih asap. (AN)