Setelah melakukan rihlah ke berbagai belahan Indonesia seperti Sulawesi Selatan, Tasitolu, Timor Leste, Yogyakarta, hingga Ghana, Rika Aminah Sijaya akhirnya menetap di RT 46 RW 14, Padukuhan Gajihan, Pandes, Wedi, Klaten, per Januari 2021. Budhe Rika, sapaan akrabnya, adalah penganut agama Baha’i yang baru menetap di dusun setempat.
Menurut keterangan warga, Budhe Rika telah banyak memberi kontribusi untuk warga di sekitarnya. Misalnya, ia kini mendirikan rumah baca yang ia namakan sebagai “Taman Baca & Bermain Ridvania”.
“Saya bikin rumah baca ini karena prihatin mas. Soalnya anak-anak di sini menghabiskan waktunya di depan hape melulu,” ujarnya ketika saya tanya tentang motif di balik hadirnya Ridvania.
“Kan sekolah daring mas. Nah daripada enggak teratur belajarnya dan agar kesehatan mata mereka tetap terjaga, saya buatkan saja forum belajar non-formal. Ridvania buka dari jam 9 pagi sampe jam 5 sore mas,” tambahnya.
Budhe Rika datang ke Padukuhan Gajihan sebagai seorang penganut agama minoritas di Indonesia. Seperti diketahui, Baha’i bukan saja sebagai agama minoritas, melainkan agama yang lekat dengan stigma-stigma negatif terutama dari sejumlah kelompok dominan di Indonesia.
Untuk diketahui, penetrasi Baha`i ke Indonesia bermula pada akhir abad ke-19. Sejak kedatangannya, penganut Baha`i selalu menghadapi kesulitan dan tantangan, terutama mengenai hak-hak mereka sebagai warga negara.
Selain itu, gerakan Baha`i ini masih dipandang oleh sebagian umat Islam sebagai sekte sempalan Islam yang menyimpang dari nilai-nilai Islam. Para petinggi NU di Bandung, pada tahun 1990’an misalnya, menyatakan penolakan tegas terhadap ajaran Baha`i karena dianggap sebagai aliran yang menyimpang dari ajaran Islam.
Meski begitu, Budhe Rika tetap saja berusaha untuk menjadi insan yang bermanfaat bagi masyarakat sekitarnya. Taman Baca dan Bermain Ridvania tersebut merupakan fasilitas sosial yang ia dirikan untuk masyarakat di sekitarnya tanpa memandang ras dan agama.
“Saya pertama kali datang ke dusun ini belum ada yang tau agama saya apa. Lalu saya bikin Ridvania. Kemudian saya ajak anak-anak kampung sini untuk datang. Tapi saya enggak mikirin sih mas, soalnya kita bisa berbuat kebaikan apapun tanpa embel-embel agama,” terangnya.
Secara formal, Budhe Rika terdaftar sebagai anggota dari Majelis Rohani Nasional Baha’i Indonesia cabang Jawa Tengah dan Yogyakarta. Artinya, ia secara tidak langsung bertanggungjawab dalam segala aspek kehidupan umat Baha’i di Indonesia, termasuk misalnya ketika mengurusi hari raya Baha’i, Naw Ruz.
Ketika berkunjung ke kediaman Budhe Rika, saya melihat banyak buku-buku tentang agama Baha’i yang tersimpan rapi di rak, termasuk kitab suci agama Baha’i, al-Aqdas. Saya sempat bertanya mengenai fungsi buku-buku agama yang cukup melimpah tersebut.
“Rumah saya ini sering digunakan untuk diskusi lintas-agama, mas. Terkadang, kami juga mengadakan doa bersama biar sama-sama saling tahu gitu maksutnya,” tukas Budhe Rika.
Diskusi keagamaan tersebut tidak dimaksudkan untuk mencari rival, musuh, atau sekedar debat kusir antar agama yang cenderung mengklaim kebenaran sendiri dan menyalah-nyalahkan orang lain. Diskusi tersebut justru bisa terselenggara sebagai ajang untuk saling mengetahui dan memahami satu sama lain. Bahasa islaminya adalah tabayyun.
Menariknya, komunitas masyarakat Islam yang tinggal di RT 46 RW 14 Padukuhan Gajihan sangat mengapresiasi apa yang telah dilakukan budhe Rika. Ketika launching Taman Baca & Bermain Ridvania, misalnya, ia mengundang tetangga-tetangganya di RT 46 dan ketua RW untuk hadir dan menyaksikan acara seremonial peluncurannya.
“Pemuka agama dan tokoh-tokoh masyarakat senang mas karena ada Taman Baca & Bermain Ridvania. Karena enggak ada yang kayak gini mungkin ya mas sebelumnya, jadi mereka antusias.”
“Saya langsung undang warga RT saya dan ibu RW waktu launching. Sejak saat itu kami sudah membangun interaksi yang baik dengan warga sini dan mereka akhirnya tahu kalau saya Baha’i, tapi itu semua enggak jadi masalah,” tegas Budhe Rika.
Interaksi antara komunitas Muslim dan keluarga Budhe Rika sebagai pemeluk Baha’i sangat merepresentasikan kehidupan umat beragama yang ideal, yaitu kerukunan antar umat beragama. Baik Budhe Rika maupun komunitas Muslim setempat ternyata cukup antusias dalam mengikuti diskusi lintas-agama dalam rangka agar tidak terjebak dalam perangkap ekstremisme dalam beragama.
Seseorang bisa disebut berlebihan dalam beragama ketika ia sengaja merendahkan agama orang lain, atau gemar menghina figur atau simbol suci agama tertentu. Dalam kasus seperti ini ia sudah terjebak dalam ekstremitas yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip moderasi beragama.
“Sejak kami sekeluarga datang ke sini, warga menyambut baik, mas. Tidak ada perlakuan yang berubah setelah mereka tahu bahwa kami penganut Baha’i. Semuanya saling menghormati. Saya juga berusaha mengabdi sebagai warga baru sini dengan Ridvania ini,” ujarnya.
Ya, sejak kedatangannya di awal tahun 2021, tidak ada satu pun cerita diskriminasi yang terjadi kepada keluarga Budhe Rika. Kehidupan yang harmonis antar-agama di sana menjadi embrio kehidupan antar umat beragama yang ideal yang harusnya terjadi di seluruh wilayah di Indonesia.
Moderasi beragama yang diterapkan oleh Budhe Rika dan warga sekitarnya juga tercermin dalam bagaimana dia tetap teguh pada kepercayaannya di tengah-tengah beragam komunitas keagamaan yang ada di setiap wilayah yang ia tinggali, dari asalnya Sulawesi Selatan, Ghana, Tasitolu, Timor Leste, Yogyakarta, hingga Klaten.
“Saya percaya bahwa Tuhan Baha’i hadir untuk semua umat agama di dunia. Saya juga percaya bahwa meskipun kami dulu terdiskriminasi, kami tidak menaruh dendam pada siapapun. Kami tetap akan memberikan yang terbaik yang bisa kami lakukan untuk berkontribusi,” terangnya.
Budhe Rika sangat mantap dengan keimanannya sehingga tidak perlu menggadaikan keyakinan untuk bergaul dan mendapat simpati dari warga sekitar perihal eksistensinya.
Terpisah, konsep moderasi beragama rupanya juga teraktualisasi dalam kehidupan warga Baha’i di bilangan Yogyakarta. Saya sempat bersilaturrahmi dengan Rina Nuryasari, seorang penganut Baha’i yang tinggal di Gedong Tengen, Kota Yogyakarta.
“Penganut Baha’i di kota Jogja itu cuman empat orang mas,” kata Rina.
“Tapi aku enggak sungkan-sungkan mengundang temen-temen Islamku untuk dateng ke kosku dan ngobrol macem-macem. Biasanya, aku ajak mereka berdoa pakai cara Baha’I dan begitupun sebaliknya,” tambahnya.
Wa ba’du, prinsip moderasi beragama adalah upaya untuk mengajak manusia agar tidak berlebihan dalam terjebak pada titik ekstrem dalam mengamalkan ajaran agama, tapi juga tidak lantas menyepelekan agama lain.
Kementrian Agama dalam buku Tanya Jawab Moderasi Beragama mendedah bahwa moderasi beragama adalah proses memahami sekaligus mengamalkan ajaran agama secara adil dan seimbang, agar terhindar dari perilaku ekstrem atau berlebih-lebihan saat mengimplementasikannya. Termasuk bagaimana seorang umat beragama tanpa pamrih membantu sesamanya tanpa mengkotak-kotakkan.
Hal inilah yang tercermin dalam interaksi kebaragamaan antara umat Baha’i dan komunitas Islam. Saling memanusiakan manusia. Hubungan antara Baha’i dan komunitas muslim, dan begitupun sebaliknya, sekali lagi menegaskan bahwa mengenal satu sama lain merupakan hal yang mutlak untuk memunculkan kesadaran moderasi beragama dalam masyarakat. Bukankah rasa kasih sayang muncul jika sesama kita sudah saling mengenali dan memahami?
*) Artikel ini adalah hasil kerja sama islami.co dan Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama RI.