Pengalaman Jadi Guru Sejarah: Kalau Cuma Menghafal, Dihapus Juga Tidak Apa-apa

Pengalaman Jadi Guru Sejarah: Kalau Cuma Menghafal, Dihapus Juga Tidak Apa-apa

Realita guru pelajaran sejarah menyuruh murid menghafal angka tahun dan nama tokoh. Kalau cuma seperti itu, dihapus juga tidak apa-apa!

Pengalaman Jadi Guru Sejarah: Kalau Cuma Menghafal, Dihapus Juga Tidak Apa-apa
Ilustrasi:

Sejak enam tahun lalu, saya menjadi guru pelajaran Sejarah. Tepatnya Sejarah Indonesia dan Sejarah Kebudayaan Islam di MA Darussalam, sebuah madrasah setingkat SMA di Sleman. Di malam harinya, kami mempelajari khulashoh Nurul Yaqin, kitab ringkasan sirah Nabi.

Saya ‘tidak berani’ mengajar selain mata pelajaran itu karena hanya di bidang itulah saya menemukan kedirian saya. Pernah saya mengampu pelajaran lain, tapi tidak pede saja karena merasa bukan bidangnya. Betapa saya merasa menjadi manusia yang beruntungnya: di samping mendapatkan materi sejarah di kampus (S1 dan S2) pada jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam, saya sekaligus bisa membagikan pengalaman belajar itu di ruang kelas bersama anak didik. Pihak sekolah juga bisa diajak berkompromi dalam mengatur jam kegiatan belajar mengajar karena mayoritas siswa tinggal di pesantren.

Nah, pertanyaannya: Apakah siswa di kelas juga merasa beruntung mendapatkan guru sejarah seperti saya? Waallahu a’lam.

Jika hanya berpacu pada buku ajar dan malas membaca, pelajaran sejarah bakal menjenuhkan karena sangat tekstual. Realita yang ada hanya menghafalkan angka tahun, nama-nama tokoh, dan peristiwa-peristiwa saja. Apalagi disuruh menjejalkan ke dalam kepala layaknya orang menghafal kitab suci. Padahal bukan itu tujuannya, kan? Kalau cuma seperti itu proses dan hasilnya, usulan Kemendikbud supaya pelajaran Sejarah dihapus saja juga tidak apa-apa. Hahaha.

Sejarah itu kan idealnya meluaskan pandangan. Ya gurunya. Ya muridnya. Siapapun yang mempelajarinya. Dengan mempelajari tingkah laku manusia pada masa lampau, kita mengambil pelajaran untuk hari ini. Baik untuk kepentingan praktis maupun yang filosofis. Dengan seperti itu, sejarah menjadi guru bagi kehidupan (historia magistra vitae).

Namun ya itu tadi, semua itu hanya bisa dilakukan kalau kita tidak malas membaca. Keluasan pandangan itu ya mustahil kalau hanya bertumpu pada buku teks semata dan pengalaman pribadi dalam keseharian. Menjadi guru sejarah, hemat saya, juga menjadi duta baca di tempat mengajar. Adalah memalukan jika guru sejarah menjadi pembaca yang malas!

Menafsirkan Buku Ajar dengan Buku Lain

Karena memposisikan diri sebagai duta baca, saat berada di kelas di antara yang saya lakukan adalah berbagi pengalaman membaca. Ketika materi pelajaran sampai di bab Kolonialisme Indonesia, misalnya, saya memanas-manasi anak didik itu untuk membaca tetralogi pulau Buru-nya Pramoedya Ananta Toer. Beberapa kali berhasil menggaet sejumlah siswa untuk membaca karya sastra itu meskipun, kata mereka, bahasanya terlalu berat, haha. Mereka lebih suka membaca karya Tere Liye.

Buku lain yang menjadi pendamping saya yaitu karya Yudi Latif: Negara Paripurna dan Mata Air Keteladanan, termasuk karya Buya Syafii Maarif Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan.

Untuk sejarah Islam periode Nabi Muhammad, tentu saja, karena saya kuliah di jurusan ini, referensinya lebih melimpah. Mulai dari Sirah Ibnu Hisyam, Rahiq al-Makhtum-nya Syaikh Shafiurrahman al-Mubarakpuri, sampai karya orientalis semisal Montgomery Watt, Marshal Hodgson, Annemarie Schimmel, dan lainnya. Tentu saja masih ada sejumlah buku babon lain yang tidak mungkin saya sebutkan satu persatu.

Setahun sekali, bersama siswa kelas X, kami berkunjung ke Sangiran, Museum purbakala itu. Di antara tugas wajib kelompok yaitu belajar membuat sejarah lisan. Sejarah lisan, kata Kuntowijoyo, adalah sejarah yang demokratis. Mengimbangi sejarah berbasis dokumen kita yang memang “kurang kaya”. Sejarah orang-orang kecil (selama ini kan kebanyakan sejarah berkisah seputar orang besar), hanya mungkin terwujud dengan menggunakan metode sejarah lisan ini.

Misal, selama ini kan di buku ajar Sejarah Indonesia porsi tentang Resolusi Jihad KH. Hasyim Asyari itu sedikit sekali, ya toh? Padahal itu penting banget dalam sejarah Indonesia yang mayoritas masyarakatnya Muslim. Karena dokumennya juga sedikit, hal yang paling memungkinkan untuk menarasikan resolusi jihad itu ya dengan sejarah lisan ini! Wawancara dengan tokoh-tokoh yang masih hidup dan dekat dengan peristiwa itu.

Sejarah adalah tentang Perubahan

Sejarah adalah studi tentang perubahan. A science of change, kata Marc Bloch. Maka tidak pas kalau dikatakan sejarah itu cuma berisi kisah masa lalu yang membuat kita gagal move on. Sebaliknya, pada masa lalu yang buruk, kita tidak boleh mengulanginya lagi pada masa kini dan mendatang. Hal ini senada dengan ungkapan bahwa dengan mempelajari sejarah, kita tidak menjadi seperti keledai yang terperosok dua kali ke dalam lubang yang sama.

Sungguh, sudut pandang kita tentang kehidupan dipengaruhi oleh bagaimana kita memandang masa lalu. Orang-orang yang berteriak tentang khilafah, misalnya, adalah pantulan dari bagaimana sekelompok orang itu memahami masa lalu. Persatuan Indonesia hari ini merupakan sesuatu yang dibentuk oleh sejarah, tidak jatuh begitu saja dari langit. Bagaimana kita akan merawatnya tergantung sejauh mana kita memperlakukan masa lalu kita.

Bangsa yang tidak mempelajari masa lalunya, kata Woodrow Wilson, tidak akan mengetahui hari ini, atau apa yang seharusnya dilakukan saat ini. Dengan ini, rutinitas menjadi guru sejarah di madrasah menjadi sangat berharga. [rf]