Pengalaman Ikut Shalat Idul Fitri dengan Khutbah Tidak Biasa

Pengalaman Ikut Shalat Idul Fitri dengan Khutbah Tidak Biasa

Biasanya, khutbah di acara shalat Idul Fitri selalu diisi oleh seseoang bergelar kiai haji (KH). Namun saya menemui pengalaman yang tidak biasa.

Pengalaman Ikut Shalat Idul Fitri dengan Khutbah Tidak Biasa

Kemarin, 22 April 2023, saya mengikuti Salat Ied berjamaah bersama ribuan warga di lapangan Graha Sabha Pramana, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Awalnya, saya tertarik shalat Ied di sini karena ajakan teman. Katanya, foto ala-ala lebaran di depan GSP sangatlah ikonik. Namun ternyata bukan itu yang paling istimewa. Ada hal menarik yang saya dapatkan di momen tersebut.

Sesaat sebelum memulai acara, seorang panitia menyampaikan pengumuman mengenai nama dan profil imam dan khatib. Imamnya masih muda. Seorang mahasiswa yang bergiat di Masjid Kampus. Sementara khatibnya adalah seorang dosen Teknik Mesin, UGM bernama M. Agung Bramantya. Unik nih, batin saya. Biasanya, khatib di acara seperti ini selalu diisi oleh seseoang bergelar kiai haji (KH). Namun acara di GSP justru menghadirkan seorang insinyur.

Temanya pun tak kalah menarik, yaitu “keluarga sebagai inkubasi kepemimpinan yang bertakwa”. Seorang insinyur, di mimbar idulfitri, berbicara soal keluarga, dan membahas kepemimpinan. Nano-nano sekali, bukan?

Baginya, terbentuknya pemimpin yang bertakwa bersumber dari keluarga. Ia menyinggung visi Indonesia Emas 2045 di mana Indonesia akan mengalami bonus demografi, situasi yang membuat Indonesia surplus tenaga produktif. Di masa dua puluh tahunan mendatang, Indonesia sangat bergantung pada orang-orang yang disebut generasi milenial dan di bawahnya. Karenanya, sejak saat ini perlu disiapkan para pemimpin yang bertakwa.

Masa persiapan disebutnya sangat penting dan memakan waktu yang lama. Ia menyatir rentang usia Nabi Muhammad Saw di mana 25 tahun adalah usia jomblo, 15 tahun membangun keluarga, lalu di usia 40 tahun menerima risalah kerasulan. Masa menjadi Rasul hanya 23 tahun, menjadi contoh bahwa masa persiapan jauh lebih panjang.

Namun ada sebuah tantangan. Generasi muda mengalami berbagai gejolak sosial, salah satunya banyaknya fenomena nikah muda. Ia membandingkan data dari BKKBN di mana pada 2000-an usia kontak seksual pertama rata-rata di angka 20-21 tahun, sementara survei terbaru 15-17 tahun. Ini berimbas pada usia kesiapan pasangan dalam membentuk keluarga dan pengasuhan anak ke depannya.

Efeknya? Banyak. Salah satu yang menjadi sorotan adalah stunting.

Stunting

Saya pertama kali mendengar kata stunting dari baliho di pinggir jalan. Saat itu, saya hanya tahu stunting sebatas malnutrisi alias kurang gizi. Situasi ini membuat tumbuh kembang anak menjadi tidak maksimal. Akan tetapi setelah memiliki anak, saya mafhum betul kenapa stunting menjadi momok di dunia kesehatan. Yap, setiap keluarga memiliki tugas untuk berperang melawan stunting!

Stunting tidak sesederhana kekurangan gizi. Yang sangat penting digarisbawahi adalah mengapa seorang anak bisa kekurangan gizi? Jawabannya sangat beragam, salah satunya karena ketidaksiapan orang tua dalam mengasuh anak.

Bramantya juga menyinggung dalam khotbahnya. Angka pernikahan dini yang tinggi menyebabkan munculnya banyak orang tua baru yang tidak siap mengasuh anak. Mereka belum siap secara fisik dan emosional untuk menghadapi situasi pengasuhan yang memang melelahkan. Mereka juga belum aware terhadap kebutuhan gizi bayi dan segala hal terkait dengannya. Belum lagi ada banyak situasi kehamilan yang tidak diinginkan (unwanted pregnancy) yang membuat banyak bayi tidak diasuh sebagaimana mestinya.

Padahal, setiap bayi memiliki golden age di seribu hari pertama kehidupannya yang dimulai dari terbentuknya janin hingga usia dua tahun. Ini adalah masa-masa membangun pondasi kehidupan bagi seorang bayi. Masa-masa stunting pun bisa dipantau di rentang usia ini. Setelah dua tahun, jika situasinya tidak berubah, maka seorang anak menjadi stunted alias tidak bisa lagi atau sangat sulit dibenahi.

Pada 2022 angka prevalensi stunting di Indonesia mencapai 21,6%. Artinya, dari 100 kelahiran, ada 21 lebih bayi yang mengalami stunting. Stunting membawa banyak dampak negatif jika tidak ditangani, seperti daya intelektual rendah dan rentan terhadap penyakit. Hal ini tentu berimbas pada human capital index dan human development index.

Di Indonesia, isu stunting sudah menjadi perhatian pemerintah pusat. Presiden Joko Widodo menargetkan angka prevalensi stunting di Indonesia bisa ditekan hingga 14% pada 2024 mendatang. Meski dalam pelaksanaannya, program penurunan angka stunting masih memiliki banyak catatan.

Khotbah Idulfitri kemarin perlu menjadi standar bagi para pengkhotbah di mana saja agar Islam menjadi lebih kontekstual dalam menjawab persoalan kehidupan. Konten khotbah selama ini identik dengan ajakan bertakwa dengan memperbanyak ibadah ritual. Padahal ada banyak ibadah sosial dan intelektual yang juga perlu didampaikan dalam mimbar-mimbar keagamaan agar diketahui oleh umat. Wallahua’lam