Muncul sebuah topik menarik yang diusung oleh @littlevixen_ di Twitter. Ia membagikan utas berisi dua potongan video berdurasi 1 menit, 39 detik dan 32 detik, yang dibubuhi keterangan dan opini. Dua video tersebut merupakan potongan video eksperimen sosial Zavilda TV yang menampilkan sosok perempuan tak berkerudung (non-hijabis), kemudian didatangi oleh perempuan bercadar, dan memintanya untuk ikut mengenakan kerudung bercadar dengan alasan menutup aurat.
Utas tersebut jadi topik yang ramai diperbincangkan sebab si perempuan bercadar menggunakan argumen keagamaan yang persuasif untuk mendesak perempuan non-hijabis agar mau mengenakan kerudung, meski tergambar air muka keengganan di sana.
Akun @littlevixen_ menulis, “Bnyk pelanggaran berat dari video ini: +Datang tak diundang, merasa berhak menutupi aurat orang lain. +Nanya agama belakangan, pokoknya insist tutupi dulu. +Sudah ditolak, tetap dikejar agar mau ‘mendengarkan dakwahnya sbg renungan’. Entah apa lg namanya jika bukan MAKSA…”, yang telah di-retweet lebih dari sebelas ribu kali dan disukai lebih dari dua puluh ribu kali.
Dua potong video tersebut adalah nukilan dari sebuah video berjudul Cewek S3xy Mirip Artis Via Vallen Pakai Hijab & Cadar, Kok Nangis?, berdurasi 16 menit 24 detik, milik Zavilda TV, sebuah saluran Youtube yang berfokus pada eksperimen sosial ala Islam yang memuat dakwah-dakwah persuasif dengan thumbnail dan judul clickbait yang cenderung menggiring opini penonton. Saluran Youtube tersebut, sejauh ini telah memproduksi 167 video.
Akar persoalan topik ini ada pada menit awal video. Masalahnya, hal yang luput disorot oleh publik adalah bagaimana perempuan non-hijabis itu kemudian mempersilahkan si perempuan bercadar untuk duduk bersebelahan dan melakukan komunikasi, hingga akhirnya sampai pada penerimaan perempuan non-hijabis untuk dipakaikan kerudung beserta cadarnya.
Ketika menggunakan penalaran objektif menurut perspektif Islam, sebetulnya tidak ada pertentangan ideologis atas apa yang disampaikan si perempuan bercadar dalam video. Ia hanya coba mendakwahkan ajaran Islam yang ia pahami menurut perspektifnya. Hanya saja, perlakuannya dianggap mengganggu keharmonisan publik dan tidak tepat dilakukan, sebab terkesan memaksakan opini dan interpretasi pribadinya kepada orang lain.
Setiap orang dibekali dengan hak atas kebebasan berpikir, nurani, agama, dan keyakinan, termasuk juga kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaan dengan cara mengajarkan atau melakukannya sendiri atau bersama-sama dengan orang lain, yang sudah terbungkus rapi di dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Secara kasat mata, apa yang dilakukan oleh perempuan bercadar itu sah saja, sebab itu merupakan bagian dari kebebasan berekspresi dan berpendapat pada ruang publik, melalui konten eksperimen sosial miliknya.
Tapi, yang harus jadi pertimbangan adalah bahwa hak beragama, berkeyakinan, dan berekspresi, memiiki dua dimensi. Yaitu dimensi individual dan dimensi kolektif. Dimensi individual di sini berartikan wilayah spiritual seseorang yang sangat privat dan individual (wilayah internum), mencakup hak untuk melaksanakan agama dan keyakinannya di dalam lingkup privat. Sementara dimensi kolektif adalah wilayah tempat manifestasi agama atau keyakinan seseorang ke ruang publik (wilayah eksternum).
Ada hal yang harus diperhatikan si perempuan bercadar pada konten video eksperimen sosialnya, bahwa aksi meminta perempuan non-hijabis berkerudung adalah hal yang bisa dilakukan, tapi menyelipkan opini dan perspektif keagamaan yang ia pahami untuk menjustifikasi perempuan non-hijabis agar mau mengenakan krudung, adalah persoalan lain.
Opini si perempuan bercadar tentang jilbab dan bagaimana cara beragama yang benar merupakan hal yang ada dalam tataran dimensi internum, yang tidak bisa begitu saja disebarkan dan diterapkan kepada orang lain tanpa konteks yang mendasari. Eksperimen sosial yang dilakukan oleh si perempuan bercadar, berada pada dimensi eksternum. Jadi wajar bila video dalam konten Zavilda TV mendapat protes dari banyak pihak lantaran memaksakan opini yang berasal dari zona internum, diaplikasikan ke dalam ranah eksternum.
Memang, saluran Youtube Zavilda TV mendeklarasikan diri sebagai Islamic social experiment, tapi seyogianya tidak mengabaikan aturan dasar yang terdapat pada hak kebebasan berekspresi, beragama, dan berkeyakinan, sebab kita tidak hidup dalam satu perspektif saja. Karenanya, kita membutuhkan batasan pada tahap manifestasi agama atau keyakinan di ruang publik, meski resikonya adalah pengurangan hak individu.
Sebetulnya, eksperimen sosial yang mengajak perempuan non-hijabis untuk turut mengenakan kerudung bukanlah sesuatu hal yang baru. Selain Zavilda TV, banyak juga Youtuber berhijab yang melakukan eksperimen tersebut, seperti, Bara Bolat dan Zahraa Berro. Namun, terdapat perbedaan signifikan dalam eksperimen sosial mereka. Yakni, tidak adanya intensi untuk memberikan argumen berlandaskan dalil dan nasehat keagamaan kepada objek eksperimen sosial, yang berpotensi merusak keharmonisan pada ruang publik yang sudah tertata.
Baca Juga, Zavilda TV dan Pemaksaan Jilbab di Ruang Publik: Apakah Influencer Sama Dengan Pendakwah?
Mereka mampu mengajak perempuan non-hijabis untuk turut berkolaborasi dan bekerjasama, tanpa harus mengutarakan argumen dari pendapat internum mereka. Tanpa perlu menggunakan justifikasi dalil dan nasehat keagamaan. Modal mereka hanyalah komunikasi santun dan kesadaran akan batasan yang terdapat pada dimensi eksternum. Bahwa, tiap individu memiliki keyakinan dan pendapat masing-masing, serta diberi hak yang sama untuk dapat mengekspresikan diri.
Akhirnya, tidak ada larangan untuk berkreasi, bereksperimen, dan mengutarakan pendapat. Tapi, tetap harus didasari dengan kebijaksanaan untuk tidak melampaui batas-batas sosial yang ada. Sebab, biar bagaimana pun kebebasan kita dibatasi oleh hak orang lain.