Idul Fitri atau yang akrab kita sebut lebaran memang menjadi momen penting bagi umat Muslim, libur panjang nasional bagi sebagian besar pelajar dan pekerja menjadi kesempatan bagi mereka untuk pulang ke kampung halaman dan berkumpul dengan sanak keluarga dan para tetangga.
Tempat pelaksanaan shalat id pun menjadi hal yang cukup krusial, apakah di masjid atau lapangan, baik shalat Idul Fitri maupun Idul Adha merupakan shalat sunnah muakkadah dua rakaat yang tak pernah ditinggalkan oleh Rasullullah Saw. Sebab dari silang pendapat tentang pelaksanaan shalat id berasal dari beda paham pada hadis Nabi dari Abu Said Al-Khudri yang mengatakan:
عن أبي سعيد الخدري قال كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يخرج يوم الفطر والأضحى إلى المصلى فأول شيء يبدأ به الصلاة ثم ينصرف فيقوم مقابل الناس والناس جلوس على صفوفهم فيعظهم ويوصيهم ويأمرهم فإن كان يريد أن يقطع بعثا قطعه أو يأمر بشيء أمر به ثم ينصرف.
“Dari Abi Sa’id Al-Khudri Ra, berkata: “Rasulullah Saw biasa keluar menuju mushalla pada hari Idul Fitri dan Adha. Hal pertama yang beliau lakukan adalah shalat. Kemudian beliau berpaling menghadap manusia, di mana mereka dalam keadaan duduk di shaf-shaf mereka. Beliau memberi pelajaran, wasiat, dan perintah. Jika beliau ingin mengutus satu utusan, maka (beliau) memutuskannya. Atau bila beliau ingin memerintahkan sesuatu, maka beliau memerintahkannya dan kemudian berpaling.” (HR. Bukhari)
Apa yang dimaksud dari mushalla pada redaksi di atas? Dalam Fathul Bari dijelaskan bahwa mushalla adalah sebuah tempat yang terletak di Madinah seluas 1000 dziro atau sekitar 480 meter menurut pendapat mayoritas ulama, sedangkan menurut Imam Nawawi adalah 447.2 meter dan menurut Imam Rofii seluas 448.2 meter. Dapat disimpulkan bahwa mushalla disini adalah tanah lapang dan luas dan bukanlah surau sebagaimana yang orang Indonesia kenal.
Menurut redaksi di atas, pelaksanakan shalat Id adalah di tanah lapang karena saat itu kondisi masjid tidak menampung jamaah besar tidak seperti saat ini yang sudah mengalami perluasan.
Adapun Rasulullah Saw pernah melaksanakan shalat id di masjid pada saat hujan hingga tidak memungkinkan bagi muslimin untuk melaksanakannya di tanah lapang, walaupun riwayat tersebut dhaif sanadnya. Dalam hadis, Abu Hurairah menyatakan:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُ أَصَابَهُمْ مَطَرٌ فِي يَوْمِ عِيدٍ فَصَلَّى بِهِمُ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم صَلاَةَ الْعِيدِ فِي الْمَسْجِدِ.
“Dari Abi Hurairah Ra, sesungguhnya mereka (para sahabat) pada suatu hari raya diguyur hujan, maka Nabi shalat bersama mereka di dalam masjid.” (HR. Abu Daud)
Dalam masalah ini, Imam Syafii berpendapat apabila masjid di sebuah daerah dapat menampung banyaknya jamaah maka tidak perlu melaksanakan shalat id di tanah lapang. Lain hal nya apabila masjid yang ada tidak cukup menampung banyaknya jamaah, maka shalat id di masjid tidak disarankan.
أَنَّهُ إِذَا كاَنَ مَسْجِدُ البَلَدِ وَاسِعاً صَلُّوْا فِيْهِ وَلاَ يَخْرُجُوْنَ…. فَإِذَا حَصَلَ ذَالِكَ فَالمَسْجِدُ أَفْضَلُ
“Jika Masjid di suatu daerah luas (dapat menampung jama’ah) maka sebaiknya shalat di Masjid dan tidak perlu keluar…. karena shalat di masjid lebih utama.”
Dari fatwa Imam Syafii tersebut, dalam Fathul Bari, al-Hafiz Ibnu Hajar Al-Asqolani menarik kesimpulan bahwa tempat pelaksanaan shalat id adalah bergantung pada luas dan sempitnya suatu tempat untuk melaksanakan shalat Id.
Maka, demi kemuliaan masjid, melaksanakan shalat id di masjid adalah lebih utama dibanding melaksanakannya di tanah lapang.
Sedangkan menurut kalangan Malikiyah, shalat id di tanah lapang adalah mandub atau sunnah sedangkan di masjid adalah makruh kecuali di Masjidil Haram. Berbeda pula dengan kalangan Hanbaliyah dan Hanafiyah yang berpendapat bahwa shalat id di tanah lapang adalah sunnah sedangkan di masjid adalah makruh termasuk Masjidil Haram.
Wallahu A’lam.