Nada Fedulla, seorang perempuan muda asal Indonesia kini tinggal di salah satu camp di Suriah. Ia bersama neneknya tinggal di Roj Camp, tempat penampungan eks ISIS. Nada ditemani neneknya menjawab beberapa pertanyaan dari wartawan BBC, Quentin Sommerville. Kaca matanya basah, matanya merah, tanda bahwa ia belum berhenti menangis. pemulangan isis.
Nada bercita-cita menjadi seorang dokter. Ia mengaku suka sekali belajar. Namun cita-citanya itu jauh dari kata tercapai saat ayahnya memboyongnya bersama seluruh keluarganya untuk bergabung dengan ISIS di Suriah.
Ayah Nada, Aref Fedulla, yang kini mengahabiskan waktunya di penjara Suriah, mengaku sangat menyesal telah mengajak Nada dan seluruh keluarga.
“Hal paling gila yang pernah saya lakukan seumur hidup saya adalah membawa seluruh keluarga saya untuk datang ke Suriah,” sesal Aref, walaupun ia kelihatannya tidak menyesal dengan kekerasan yang pernah ia lakukan saat bergabung dengan ISIS.
Dengan berbagai penyesalan dan kekesalan terhadap ayahnya, Nada mengaku tetap memaafkan ayahnya. Satu permintaan yang ia sampaikan, “Saya ingin pulang ke Indonesia, saya sudah cukup lelah.”
Permintaan Nada tersebut, dan mungkin eks ISIS dari Indonesia lain yang masih terkatung-katung di Suriah, kini mendapatkan kabar baik dari pemerintah. Beberapa hari ini isu pemulangan eks ISIS dari Suriah sedang ramai dibicarakan walaupun masih banyak mendapatkan respon pro dan kontra.
Isu ini pertama kali disebut oleh Menteri Agama Fachrul Razi. Dia menyatakan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) merencanakan memulangkan 600 WNI yang pernah bergabung dengan ISIS ke Indonesia. Walaupun pada akhirnya, ia meluruskan pernyataannya tersebut dan menyebut bahwa isu itu bias.
Namun Jokowi menanggapi bahwa ia sendiri menolak pemulangan eks ISIS tersebut, walaupun begitu, ia tetap akan melakukan musyawarah dengan beberapa pihak terkait.
“Bila bertanya kepada saya, saya akan bilang tidak, tapi masih akan dibahas dalam rapat terbatas dengan para menteri kabinet,” kata Jokowi di Istana Negara, Jakarta, Rabu (5/2).
Menanggapi pro dan kontra rencana pemulangan eks ISIS, Adhe Bakti, Direktur Pusat Kajian Terorisme dan Deradikalisasi (PAKAR) menyebut bahwa awalnya ia menolak rencana penjemputan tersebut, namun Adhe mengaku, berdasarkan kajiannya, pemerintah lebih baik memulangkan mereka. Adhe berpendapat, selain karena alasan kemanusiaan, pemerintah juga perlu mempertimbangkan alasan “keamanan”.
“Dalam sudut pandang kemanusiaan (HAM) kita tidak bisa membiarkan mereka stateless,” tutur Adhe.
Senada dengan Adhe, Solahudin, peneliti Pusat Kajian Terorisme dan Konflik Sosial Universitas Indonesia, menilai bahwa jika pemerintah menolak pemulangan maka pemerintah tidak melakukan kewajibannya untuk melayani warga negara. Di sisi lain, menandakan bahwa pemerintah tidak memiliki kesiapan untuk menangani hal semacam ini.
“Dua hal ini bisa jadi citra buruk bagi pemerintah sekarang,” ujar Solah.
Adhe juga menyayangkan sikap pemerintah jika tidak memulangkan mereka. Mereka, menurut Adhe, bisa jadi kabur dari camp dan masuk ke Indonesia tanpa diketahui.
“Jika terjadi dinamika di sana (seperti serangan Turki ke salah satu camp akhir tahun lalu), mereka kabur dan ditangkap oleh otoritas sebuah negara, lalu mereka usir ke negara ketiga seperti Thailand, lalu diusir lagi ke Malaysia. Nah di Malaysia “mereka” ngeblend dengan kasus TKI ilegal dan dipulangkan ke Indonesia,” lanjut Adhe. Walaupun Solah sendiri meyakini bahwa hal itu bisa diatasi oleh Densus 88.
Namun jika memulangkan semua eks ISIS, Solah juga menyangsikan kesiapan pemerintah. Pasalnya, ia menilai bahwa masih banyak infrastruktur yang perlu disiapkan untuk menyambut kepulangan mereka.
Jalan tengah
Jika selama ini pendapat yang berkembang adalah soal setuju dan tidak setuju, Solahudin lebih memilih jalan tengah antara keduanya. Jalan tengah yang disebut Solah adalah memilah dan memilih siapa saja yang layak dipulangkan dan tidak layak dipulangkan.
Solah menyontohkan, nenek-nenek dan anak-anak, serta perempuan yang tidak mengerti apa-apa, seperti Nada bisa jadi pilihan orang-orang yang akan dipulangkan. Namun, mereka juga perlu didalami berbagai indikator terkait ideologi yang ada di “kepala” mereka.
Adhe juga menganjurkan kepada pemerintah untuk belajar banyak dari kasus bom gereja di Jolo, Filipina. “Sekedar mengingatkan, pasangan suami istri pelaku ledakan gereja di Jolo – Filipina, adalah deportan,” tutur Adhe.
Pemerintah, menurut Adhe, perlu melibatkan pemerintah daerah setelah mereka dipulangkan ke daerah. Sayangnya, menurut Adhe, hal ini belum ada regulasinya. Padahal pemerintah daerah harusnya bertanggung jawab penuh, karena mereka berada di bawah tanggung jawab daerah masing-masing. Misalnya, Pemerintah Pusat (BNPT/Menkopolhukam) menyiapkan semacam hotline agar pemerintah daerah dapat melaporkan jika mereka menemukan sesuatu yang unusual.
Oleh karena itu, Solahudin menuturkan bahwa perlu program reintegrasi sosial dengan melibatkan beberapa lembaga, tidak hanya satu lembaga saja. Solah sependapat dengan Adhe, bahwa pemerintah daerah, seperti kepala desa, RT dan RW juga perlu dilibatkan.
Di antara semua hal itu, bagi Adhe, yang paling penting adalah membangun kesadaran masyarakat, tidak hanya untuk membuat mengerti, tapi juga agar bisa menerima mereka. Pasalnya bagi para eks-returnee, mereka sering teralineasi dari masyarakat tempat tinggal mereka.
“Saya sendiri percaya, lingkungan/masyarakat yang hangat dan penerimaannya tinggi, menjadi salah satu proses deradikalisasi yang baik. Jika merasa tidak jadi “alien” di keseharian “mereka”, saya meyakini sedikit banyak akan merubah mindset terhadap bangsa dan Negara,” pungkas Adhe. (AN)