Ansor Nahdlatoel Oelama (ANO) atau sekarang bernama Gerakan Pemuda Ansor (selanjutnya Ansor saja) lahir pada 1934. Sebagaimana induknya, Nahdlatul Ulama, Ansor juga membentuk cabang di daerah-daerah. Termasuk di Jawa Barat.
Namun, informasi tentang tumbuh kembangnya Ansor di Jawa Barat, sampai saat ini masih langka –untuk mengatakan tidak ada sama sekali, baik secara lisan, apalagi tulisan. Ansor masa ini tidak diketahui, tokoh, aktivitas, apalagi proses pendiriannya. Ansor pada masa itu hanya diyakini ada, tanpa ada bukti tertulis yang lahir di masanya.
Kini informasi tersebut berusaha digambarkan melalui sebuah buku yang terbit pada Agustus 2023 berjudul Pemuda Nahdoh: Sejarah Awal GP Ansor Jawa Barat 1934-141, sebuah buku yang ditulis wartawan NU Online yang berasal dari Jawa Barat.
Sebagai seorang wartawan, penulis buku ini bersandarkan dari data-data jurnalistik yang berserakan dari masanya yaitu Swara Nahdlatoel Oelama, Berita Nahdlatoel Oelama, Al-Mawaidz, serta Pemandangan dan Sipatahoenan. Dua media yang disebut terakhir, sebagaimana diakui penulisnya, diakses secara daring dari OPAC Perpusnas (Perpustakaan Nasional).
Sementara data penunjang lainnya diserap dari buku Gerak Langkah Pemuda Ansor: Sebuah Percikan Sejarah Kelahiran karya Choirul Anam dan Yang Muda Yang Berkiprah: Gerakan Pemuda Ansor dan Politik Indonesia Masa Demokrasi Liberal hingga Masa Reformasi (1950 – 2010) karya Erwien Kusumah.
Data-data yang berserakan itu kemudian diklasifikasi, ditambalsulamkan satu dengan yang lainnya, dinarasikan ulang, sehingga membentuk suatu cerita yang menggambarkan proses perintisan, aktivitas, pertumbuhan, perkembangan, persinggungan dengan organisasi lain, dan diakhiri dengan profil tokoh.
Dengan cara seperti itu, maka cabang-cabang GP Ansor di Jawa Barat bisa mengetahui aktivitas di masa lalunya. Aktivitas-aktivitas tersebut digambarkan pada bab 4 yaitu tentang sosialisasi organisasi halaman, openbaar nasehat, propaganda, tabligh, rapat umum, membentuk ranting dan merekrut anggota, mengadakan rapat anggota, membentuk BANU (Banser), mengadakan kursus secara rutin, mengadakan pergantian pengurus, menghadiri dan menyampaikan hasil kongres, melaksanakan instruksi atau keputusan kongres, membantu dan terlibat pada kegiatan NU, menggelar kegiatan sosial, serta mengadakan wandelmarech atau baris-berbaris.Aktivitas-aktivitas itu terdokumentasi di dalam koran.
S ebagai misal, kursus rutin yang dilaksanakan Ansor Subang, diambil dari koran Pemandangan No 174 Kemis 3 Agustus 1939, tahoen ke-7, lembar 2, hal. 6, kol. 5 Buku tersebut mengutipnya.
Cursus tiap2 malam Kemis diadakan Cursus bagian Pengetahoean oemoem, dan tiap-tiap malam Minggoe Cursus bagian igama (agama). Hari Minggoenja diadakan cursus jang bertali dengan kesehatan badan, praktek dan theori. (halaman 121)
Buku tersebut memberikan penjelasan kegiatan tersebut yang dikaitkan dengan aktivitas tokoh NU di Subang O. Djajawisastra yang pernah berpidato panjang lebar tentang pemuda dan masyarakat pada acara pertama Ansor Subang yang berlangsung di Sekolah NU pada Minggu 6 Agustus 1939.
Komentar O. Djajawisastra adalah sebagai berikut:Sebagaimana terseboet tadi, kita kaoem pemoeda moelai siap mengadakan cursus2 menjediakan taman pembatjaan dan sebagainja jg diboetoehkan oleh alam pemoeda, hal ini soedah barang tentoe, menoeroet dasar, seperti dasar ANO, keislaman, maka oleh karenanja pertama haroes faham seloek-beloeknja keigamaan. (halaman 122)
Komentar O. Djajawisastra itu sebetulnya tak mengherankan karena selaras dengan aktivitasnya di masyarakat, ia merupakan ketua komite pemberantasan buta huruf di Subang sebagaimana dilaporkan koran Pemandangan pada edisi lain yang berjudul Comite Badan Pemberantasan Boeta Hoeroef.
Hal yang menarik adalah aktivitas Ansor Bandung yang terlibat dalam Comite Kesopanan yang dibentuk perkumpulan-perkumpulan pemuda di kota itu. Comite tersebut diberitakan Pemandangan, edisi Selasa 6 Februari 1940. Koran tersebut memberitakan Pemuda Muhammadiyah, Pemuda Persis, Ansor Nahdlatul Ulama, Pemuda A.I.I., dan Lasykar P.A.I. bertemu di gedung Himpunan Sudara Minggu 4 Februari 1940. Mereka merespons masalah dansa, yaitu tarian ala Barat yang dilakukan sepasang pria-wanita dengan berpegangan tangan atau berpelukan yang diiringi musik.
Karena comite itu dibentuk para pemuda dari berbagai elemen perkumpulan Islam, mereka membahas dansa dari sudut pandang Islam juga. Pada kesempatan itu, setiap perwakilan perkumpulan menyampaikan pedapatnya tentang dansa. Ali Husin, seorang tokoh Ansor Bandung mendapatkan kesempatan sebagai pembicara pertama. (halaman 139-140)
Penulis melengkapi bukunya dengan menyertakan repro berita dari koran-koran dan majalah yang dikutipnya sehingga pembaca bisa membacanya juga. Beberapa tokoh yang ditemukan fotonya juga dimuat pada profilnya.
Sampai saat ini, buku Pemuda Nahdoh ini merupakan satu-satunya yang memotret sejarah Ansor Jawa Barat pada era akhir kolonial Belanda. Bagi aktivis, pengurus, dan anggota Ansor di Jawa Barat, tentu saja buku ini perlu disambut dengan dikaji. Bila perlu ditambahkan data-data yang tidak tercantum atau bahkan disanggah dengan data lain jika ada kekeliruan.
Sebagi pembaca buku ini, saya terganggu dengan typo yang tentu saja perlu diperbaiki pada cetakan selanjutnya. Selain itu, saya berharap penulis melanjutkan kajiannya tentang Ansor di Jawa Barat selepas Indonesia merdeka, masa Orde Lama dan Orde Baru hingga terkini.
Peresensi : Faisal Hasbullah, kader GP Ansor dari Kabupaten Sukabumi, Pemred Ansor Jabar Online
Identitas buku
Judul buku : Pemuda Nahdoh: Sejarah Awal GP Ansor Jawa Barat 1934-1941
Penulis : Abdullah Alawi
QURCBN : 62-795-5098-340
Penerbit : GP Ansor Jawa Barat bekerja sama dengan Graficha Media, Bandung
Tahun terbit : Agustus, 2023