Pembaca Al-Qur’an Pengabdi Setan?

Pembaca Al-Qur’an Pengabdi Setan?

Pembaca Al-Qur’an Pengabdi Setan?

Judul tulisan ini saya pinjam dari gagasan Kiai Ali Mustafa Yaqub dalam bukunya Haji Pengabdi Setan. Dalam buku tersebut, Kiai Ali mengkritik fenomena orang yang berulang kali menunaikan ibadah haji tanpa mempertimbangkan kondisi sosial di sekitarnya.

Ia menyoroti bagaimana seseorang lebih memilih melakukan haji berkali-kali meskipun antrean semakin panjang dan banyak orang miskin di sekitarnya yang lebih membutuhkan bantuan finansial. Menurutnya, haji yang didorong oleh nafsu pribadi tanpa memperhatikan kemaslahatan sosial bukanlah pengabdian kepada Tuhan, melainkan kepada hawa nafsu (setan).

Analogi ini saya gunakan untuk membahas fenomena tadarus Alquran yang berlangsung hingga larut malam selama bulan Ramadan.

Seperti halnya ibadah haji yang bisa menjadi pengabdian kepada hawa nafsu jika tidak mempertimbangkan aspek sosial, membaca Alquran pun bisa berubah dari ibadah yang mulia menjadi sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam jika dilakukan tanpa memperhatikan dampaknya terhadap orang lain.

Di Indonesia, tradisi tadarus Alquran setelah salat Tarawih adalah bagian dari semangat Ramadan yang kental dengan nuansa ibadah. Biasanya, kegiatan ini dilakukan di masjid atau musala dengan suara lantang sebagai ekspresi kebersamaan dalam membaca wahyu Tuhan. Namun, tidak jarang tadarus berlangsung hingga melewati pukul 10 malam, mengganggu mereka yang ingin beristirahat, seperti anak-anak, lansia, atau pekerja yang harus bangun pagi untuk mencari nafkah.

Jika praktik ini terus berlangsung tanpa mempertimbangkan kondisi sosial di sekitar, maka nilai ibadah yang seharusnya membawa manfaat justru berpotensi menimbulkan mudarat bagi orang lain.

Beribadah dengan Kearifan Sosial

Ibadah seharusnya dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi sosial di sekitar.

Semangat beribadah perlu disertai dengan kearifan agar tidak menjadi ajang pemenuhan ego spiritual semata. Islam mengajarkan keseimbangan antara ibadah dan kehidupan sosial.

Dalam kaidah fikih, terdapat prinsip dar’ul mafasid muqaddam ‘ala jalbil mashalih yang berarti mencegah kerusakan harus lebih diutamakan daripada meraih kemaslahatan.

Dengan kata lain, jika suatu ibadah sunnah mendatangkan mudarat bagi orang lain, maka perlu ditinjau kembali atau bahkan dihentikan sementara. Hal ini menunjukkan bahwa dalam Islam, kebermanfaatan suatu ibadah tidak hanya diukur dari kuantitasnya, tetapi juga dari dampaknya terhadap lingkungan sosial.

Kesalehan individu seharusnya sejalan dengan kemaslahatan kolektif, bukan justru menjadi penyebab ketidaknyamanan bagi orang lain.

Oleh karena itu, praktik ibadah perlu dijalankan dengan sikap bijaksana agar tidak bertentangan dengan nilai-nilai etika sosial yang diajarkan Islam.

Kaidah fikih lainnya, la dharara wa la dhirar (tidak boleh ada bahaya atau membahayakan orang lain), juga menegaskan bahwa dalam Islam, ibadah yang berpotensi merugikan orang lain harus dihindari.

Islam menempatkan hak individu dan hak sosial dalam keseimbangan yang harmonis. Ibadah yang seharusnya membawa ketenangan dan keberkahan bagi diri sendiri serta lingkungan sekitar tidak boleh justru menimbulkan beban bagi orang lain.

Dalam praktik tadarus hingga larut malam, penting untuk memahami bahwa kebaikan yang dilakukan seseorang tidak boleh menjadi sumber kesulitan bagi orang lain. Oleh karena itu, mengutamakan kenyamanan bersama adalah bentuk nyata dari akhlak Islam yang luhur.

Antara Ritual Keagamaan dan Kesejahteraan Sosial

Dari perspektif sosiologi agama, tradisi tadarus dapat dilihat sebagai manifestasi solidaritas sosial dan identitas keagamaan. Émile Durkheim dalam The Elementary Forms of Religious Life (1912) berpendapat bahwa agama bukan hanya sekadar sistem kepercayaan individu, tetapi juga fenomena sosial yang menciptakan dan mempertahankan solidaritas di dalam kelompok. Ritual-ritual keagamaan memperkuat rasa keterikatan sosial di antara para pemeluknya dan menciptakan kesadaran kolektif (collective consciousness).

Tadarus, sebagai bagian dari praktik keagamaan, mencerminkan bagaimana agama menjadi perekat sosial yang menghubungkan individu dalam komunitas. Melalui kegiatan ini, masyarakat Muslim tidak hanya memperkuat pemahaman terhadap ajaran Islam, tetapi juga mempererat hubungan antarwarga. Namun, di dalam dinamika masyarakat yang semakin beragam, penting untuk menyesuaikan praktik keagamaan agar tidak mengabaikan aspek keharmonisan sosial.

Oleh karena itu, kesadaran akan dampak sosial dari ritual keagamaan harus menjadi bagian dari refleksi bersama dalam menjaga keseimbangan antara spiritualitas dan kehidupan bermasyarakat.

Praktik keagamaan tidak terjadi dalam ruang hampa. Clifford Geertz dalam The Interpretation of Cultures (1973) menekankan bahwa agama adalah sistem simbol yang memberi makna pada pengalaman manusia. Ia melihat bahwa praktik keagamaan tidak hanya sekadar ritual, tetapi juga sebuah konstruksi sosial yang dipengaruhi oleh lingkungan, budaya, dan norma masyarakat.

Dalam tradisi tadarus hingga larut malam, simbolisme kesalehan dan komitmen spiritual mungkin diutamakan, tetapi harus diimbangi dengan kesadaran akan dampaknya terhadap kesejahteraan orang lain.

Jika praktik ini menimbulkan ketidaknyamanan atau bahkan merugikan pihak lain, maka perlu adanya refleksi agar kesalehan yang dijalankan tidak bertentangan dengan prinsip harmoni sosial yang juga merupakan nilai utama dalam ajaran agama.

Solusi: Tadarus dengan Kesadaran Sosial

Tadarus Alquran adalah ibadah yang sangat dianjurkan, terutama di bulan Ramadan, tetapi harus dilakukan dengan kesadaran sosial yang tinggi. Membaca Alquran dengan penuh kekhusyukan tidak selalu harus dilakukan dengan suara keras hingga larut malam. Justru, memahami dan mengamalkan ajaran Alquran dalam kehidupan sehari-hari adalah bentuk penghormatan yang lebih hakiki terhadap kitab suci ini.

Kesadaran sosial dalam beribadah mencerminkan pemahaman yang lebih luas tentang ajaran Islam yang menekankan keseimbangan antara hubungan dengan Tuhan (habluminallah) dan hubungan dengan sesama manusia (habluminannas). Oleh karena itu, tadarus yang dilakukan dengan cara yang tidak mengganggu ketenangan orang lain menunjukkan sikap toleransi dan kepedulian terhadap lingkungan sekitar.

Jika tadarus hingga larut malam menyebabkan ketidaknyamanan bagi masyarakat sekitar, ada beberapa solusi yang dapat diterapkan.

Misalnya, volume pengeras suara dapat dikecilkan atau menggunakan speaker dalam agar tidak mengganggu lingkungan sekitar. Selain itu, pengurus masjid atau musala dapat membuat aturan bersama dengan warga sekitar untuk menetapkan batas waktu yang tidak mengganggu ketenangan malam.

Jika masih ingin melanjutkan tadarus, maka bisa pulang dan mengaji sendiri di rumah. Dengan demikian, semangat ibadah tetap terjaga tanpa mengorbankan hak orang lain untuk beristirahat. Pendekatan ini mencerminkan keseimbangan antara menjalankan ibadah dengan tetap menghormati hak-hak orang lain di lingkungan sekitar.

Sebagai penutup, saya ingin berbagi refleksi bahwa perpaduan antara semangat beribadah dan kesadaran sosial mencerminkan pemahaman yang lebih luas tentang ajaran agama.

Lebih dari sekadar ritual, agama juga mengajarkan harmoni dan kesejahteraan dalam kehidupan bermasyarakat. Ramadan seharusnya menjadi kesempatan untuk memperdalam ibadah sekaligus menumbuhkan kepedulian sosial, bukan sekadar ajang menunjukkan kesalehan yang bisa mengganggu kenyamanan orang lain. Dengan memahami keseimbangan ini, kita dapat menjalani Ramadan dengan lebih bermakna, membawa berkah bagi semua tanpa terkecuali.

Wallahu a’lam bis shawab