PBNU Terima Izin Pertambangan, Apa Guna Kita Masih Terus Bersuara?

PBNU Terima Izin Pertambangan, Apa Guna Kita Masih Terus Bersuara?

Perdebatan tentang penerimaan izin tambang oleh NU adalah sebuah refleksi dari dinamika organisasi yang terus berkembang. Meski demikian, perdebatan masih berkutat di lingkungan studi keagamaan, humaniora dan sosial politik.

PBNU Terima Izin Pertambangan, Apa Guna Kita Masih Terus Bersuara?
Gedung PBNU di Jakarta. (Dok NU Online)

Nahdlatul Ulama (NU), sebagai salah satu organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, memiliki pengaruh sangat besar dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, termasuk dalam ranah politik dan ekonomi. Menurut data sejumlah lembaga survei, warga muslim Indonesia mendaku NU tidak kurang 54%. Hasanudin Ali dari Alvara dalam situs resmi NU Online, Kamis (6/7/2023) menyebutkan, berdasarkan afiliasi ormas, penduduk muslim yang mengaku dekat dengan NU sebesar 59,2 persen, sementara yang mengaku menjadi anggota NU sebesar 39,6 persen. Jumlah yang tidak main-main.

Nah, baru-baru ini, Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas PP Nomor 96 Tahun 2021 terkait pelaksanaan usaha pertambangan mineral dan batubara menjadi isu hangat. Karena itu, NU menghadapi kontroversi terkait penerimaan izin tambang yang telah memicu perdebatan di kalangan pengurus baik di pusat dan daerah, berikut anggota dan masyarakat luas.

Di satu sisi, ada pihak yang mendukung keputusan dengan alasan pertumbuhan ekonomi dan lapangan pekerjaan. Di pihak lain, banyak yang menentang karena khawatir praktik bisnis tersebut akan berdampak pada kerusakan lingkungan sekaligus nilai-nilai yang dipegang teguh oleh organisasi.

Pendukung penerimaan izin tambang oleh NU umumnya berpendapat, langkah ini dapat membawa manfaat ekonomi yang signifikan.

Tambang yang dikelola dengan baik dapat membuka banyak lapangan pekerjaan baru, mengurangi tingkat pengangguran, meningkatkan pendapatan masyarakat setempat serta keuntungan bisnis tersebut dianggap mampu membantu kerja organisasi.

Selain itu, mereka berkeyakinan, dari pendapatan bisnis tambang bisa digunakan membiayai berbagai program sosial, keagamaan dan pendidikan yang sejalan dengan misi NU untuk meningkatkan kesejahteraan umat.

Para pendukung juga berargumen, keterlibatan NU dalam industri tambang dapat memastikan operasi tambang akan dilakukan dengan cara yang bertanggung jawab, akuntabel dan sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Dengan demikian, NU berusaha menjadi model bagi perusahaan lain dalam menjalankan usaha yang berkelanjutan dan beretika.

NU sebagai ormas akan bekerja dengan pemain lama dalam ekosistem bisnis pertambangan batubara, sebut saja 5 korporasi raksasa seperti: PT Kaltim Prima Coal (KPC) anak usaha PT Bumi Resources Tbk (BUMI) perusahaan batu bara milik Grup Bakrie; PT Adaro Indonesia anak usaha PT Adaro Energy Tbk; PT Bayan Resources Tbk (BYAN); dan PT Arutmin Indonesia.

Di pihak lain, penolakan terhadap izin tambang oleh NU datang dari berbagai pihak yang khawatir akan dampak negatif terhadap lingkungan dan masyarakat. Mereka berpendapat, kegiatan tambang dapat menyebabkan kerusakan alam yang tidak dapat diperbaiki, seperti pencemaran air, tanah, dan udara.

Kerusakan ini tidak hanya berdampak pada ekosistem, tetapi juga pada kesehatan dan mata pencaharian masyarakat sekitar yang bergantung pada alam.

Selain itu, ada kekhawatiran bahwa keputusan ini mencederai nilai-nilai yang selama ini dipegang oleh NU, yaitu menjaga keadilan sosial dan lingkungan. Mereka yang menentang menilai, keterlibatan dalam industri tambang dapat merusak citra NU sebagai organisasi yang peduli terhadap lingkungan dan keadilan sosial.

Dalam dunia bisnis, citra memainkan peran sebagai nilai yang dibentuk untuk meningkatkan branding. Kerja branding bukan pekerjaan semalam melainkan bertahun-tahun bahkan turun temurun.

Sejumlah warga NU alumni UGM menaruh perhatian besar pada persoalan ini. Baginya, batubara adalah sumber energi kotor yang berkontribusi besar terhadap pemanasan global dan perubahan iklim dan sejumlah bencana di Indonesia. Industri ini sangat sensitif terhadap perubahan iklim dan geofisika/tektonik.

Perubahan iklim meningkatkan cuaca ekstrem seperti banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor. Ekstraksi batubara memperburuk kualitas sosial dan ekologi melalui perampasan tanah, deforestasi, polusi, dan lubang pasca tambang yang merenggut banyak korban.

Aktivitas bisnis ni berkelindan dengan korupsi, di mana tata kelola pertambangan batu bara menjadi salah satu yang terburuk. Kerap terjadi pejabat publik terlibat kasus korupsi terkait tambang. Studi As’ad dan Aspinall (2015) menemukan, para bos tambang mendanai kandidat pemilu di sejumlah daerah untuk memperoleh pengaruh dalam pemerintah.

Para alumni UGM mencatat kebijakan pemerintah yang melibatkan organisasi keagamaan dalam ekstraksi batubara, menggeser ormas ke dalam ekosistem bisnis pertambangan sangat beresiko tinggi. Sementara dalam keputusan sebelumnya NU menyerukan moratorium izin tambang pada Muktamar ke-33 di Jombang 2015, dan mendorong energi terbarukan pada Bahtsul Masail 2017. Muktamar ke-34 di Lampung 2021, NU merekomendasikan penghentian pembangunan PLTU batubara baru mulai 2022 dan early retirement pada 2040. PBNU perlu berpihak pada petani, peladang, dan nelayan yang kebanyakan adalah warga nahdliyin. Sektor bisnis tersebutlah yang butuh mendapat prioritas program kerja organisasi.

Meski demikian, Jaringan GUSDURian melalui Inayah Wahid tegas menolak, namun sejumlah tokoh seperti Kiai Ahmad Mustofa Bisri yang juga saudara dekat Ketua Umum Yahya Cholil Staquf belum bersuara. Kita ketahui, Gus Mus adalah sahabat dekat Gus Dur, di mana saat Muktamar lalu di Lampung, “Menghidupkan Gus Dur” adalah narasi yang digunakan untuk meningkatkan pengaruh dan dukungan, yang artinya nilai-nilai perjuangan Gus Dur menjadi nafas dalam kerja-kerja keorganisasian NU. Sementara itu, Mbak Alissa Q. Wahid dan Yenny Wahid juga belum menunjukkan sikap tegas terhadap isu ini.

Saya berandai-andai, barangkali ketenangan Gus Mus serta diamnya Mbak Alissa dan Yenny Wahid, bisa diartikan sebagai bentuk kebijaksanaan dalam menghadapi situasi yang kompleks. Mereka barangkali sedang mempertimbangkan banyak aspek sebelum mengambil sikap terbuka, atau bisa jadi mereka memilih menunggu waktu yang tepat untuk bicara.

Namun, sikap diam para tokoh apakah juga bisa diinterpretasikan sebagai bentuk pembiaran atau ketidakpedulian terhadap kekhawatiran yang diungkapkan anggota, simpatisan NU dan masyarakat lainnya.

Hal ini memicu pertanyaan di kalangan masyarakat tentang peran sejumlah tokoh lainnya dalam mempertahankan nilai-nilai yang diperjuangkan NU dalam hal kemanusiaan dan lingkungan hidup.

Untuk Apa Bersuara?

Dalam menghadapi situasi yang kompleks seperti ini, penting bagi kita tetap bersuara. Meskipun merasa kecil dan bukan siapa-siapa dan tidak memiliki pengaruh sebesar para tokoh tersebut, suara kita tetap penting.

Kritik dan dukungan dari anggota dan masyarakat dapat menjadi cermin bagi para pengambil keputusan khususnya pengurus PBNU untuk mengkaji kembali sikap dan keputusan yang diambil.

Selain itu, dengan bersuara, kita berkontribusi dalam proses demokratisasi dan memastikan bahwa keputusan yang diambil benar-benar mencerminkan aspirasi dan kepentingan umat.

Perdebatan tentang penerimaan izin tambang oleh NU adalah sebuah refleksi dari dinamika organisasi yang terus berkembang. Meski demikian, perdebatan masih berkutat di lingkungan studi keagamaan, humaniora dan sosial politik.

Diskusi belum menyentuh ke perdebatan tentang tata kelola pertambangan dan para ahli lainnya seperti pakar hukum bisnis, ekonom, ahli geologi, pebisnis pertambangan dan lingkungan hidup.

Dengan adanya perdebatan, dukungan dan penolakan yang ada menunjukkan keputusan tidak dapat diambil dengan mudah, dan perlu pertimbangan matang menyangkut semua aspek. Musyawarah sebagai prinsip tertinggi dalam pengambilan keputusan.

Suara warga yang mendaku warga NU atau bukan, sekecil apapun, tetap memiliki peran penting membentuk arah dan kebijakan organisasi di masa mendatang. Wa’tashimu bihablillahi jamian wala tafarraqu. []