“Saya lebih menyukai Gereja yang memar, terluka, dan kotor karena
keluar di jalan-jalan daripada Gereja yang sakit karena menutup diri dan
nyaman melekat pada rasa amannya sendiri” (Paus Fransiskus, Evangelii Gaudium 49)
Mata publik terarah ke pada segala hal yang digunakan Paus Fransiskus ketika hendak bertolak dan selama berada di Indonesia pada 3-6 September 2024.
Banyak yang terkejut, karena sosok sekaliber Paus Fransiskus, pemimpin tertinggi Gereja Katolik Roma, mampu menampilkan laku atau amaliah sederhana. Kesederhaan itu tampak dari pesawat yang ditumpanginya, mobil yang digunakannya, hingga penginapan yang ditempatinya selama berada di Indonesia.
Kesederhaan Paus Fransiskus ini juga menjadi sorotan mantan Menteri Agama RI periode 2014-2019, Lukman Hakim Saifuddin, dalam salah satu postingan Instagramnya bertarikh 2 September 2024 .
Dalam gambar yang dipostingnya, Pak Lukman menulis: “saya menerima kabar bahwa Bapak Sri Paus akan datang ke Indonesia dengan pesawat ITA Airways, menginap di Kantor Kedutaan Besar Vatikan, dan gunakan mobil Toyota Kijang selama berada di Jakarta. Kesederhaan Beliau sungguh mengagumkan”.
Paus Fransiskus dikenal sebagai Paus yang kerap melakukan kunjungan ke negara-negara yang menghadapi masalah sosial, seperti negara yang dilanda perang, mengalami krisis pengungsi, hingga yang terdampak kriris iklim parah.
Kedatangannya ke Indonesia kali ini mengandung pesan yang tidak saja tentang kemanusiaan, keadilan dan perdamaian, tetapi juga membawa harapan bagi umat Kristiani Indonesia yang masih menghadapi masalah laten di negeri dengan branding toleran ini.
Masuk dalam Kesederhanaan
“Di dunia yang terglobalisasi ini, kita telah jatuh ke dalam ketidakpedulian yang mengglobal. Kita sudah terbiasa dengan penderitaan orang lain: itu tidak mempengaruhi saya; itu bukan urusan saya; itu bukan urusan saya!” –Paus Fransiskus
Kesederhanaan Paus Fransiskus berakar dalam prinsip yang dipegangnya sejak awal kepemimpinanya.
Bisikan Kardinal Claudio (Uskup Agung Emeritus Sao Paolo), saat konklaf (Pemilihan paus baru), sangat membekas dalam pikiran dan hati Kardinal Jorge Mario Bergoglio pada waktu itu.
“Ia teman baik, teman baik. Dan dia memeluk dan menciumku seraya berkata; jangan lupakan orang miskin. Kata-kata itu terlintas di benak saya: orang miskin, orang miskin.”
Kata-kata itu terus terus terngiang dalam benaknya, hingga Kardinal Jorge Mario Bergoglio memilih nama Fransiskus. Santo pelindung ekologi dan kaum miskin.
Setelah resmi menjadi paus, Jorge Mario Bergoglio membukukan sejarah: sebagai paus non-Eropa pertama di era modern, paus pertama dari Benua Amerika, paus pertama dari Amerika Latin, Paus pertama dari ordo Yesuit, dan paus pertama yang menggunakan nama Fransiskus.
Sesaat setelah dilantik menjadi Paus, tempat pertama yang dikunjugi oleh Paus Fransiskus adalah Pulau Lampedusa, Italia Selatan, tempat para pengungsi dari Afrika untuk masuk Eropa.
Kepedulian Paus Fransiskus terhadap hak-hak pengungsi dan para pencari suaka telah lama menjadi bagian penting dari pelayanannya.
“Paus Zaman Ini,” demikian Mario Escobar memberi julukan kepada Paus Fransiskus.
Berbeda dengan Paus Benediktus XVI, sosok intelektual yang memusatkan pada buku-buku, Paus Fransiskus keluar menemui orang dengan berbagai persoalannya.
Kebiasaan ini sudah dia jalani sejak bertugas sebagai Uskup Agung, di mana dia tidak tinggal diam di Istana Keuskupan.
Selain itu, dia terbiasa menggunakan kendaraan umum, termasuk naik kereta bawah tanah, juga senang mengunjungi tempat-tempat orang miskin tinggal.
Dalam hal kesederhaan, dan kerendahan hati, meniru Paus Yohanes Paulus I, Paus Fransiskus menghilangkan citra Paus sebagai “Raja Gereja’ yang telah berlaku sejak abad pertengahan. Mereka berdua meninggalkan warisan inspiratif kepausan modern.
Belas kasih –berbela rasa (compassion), adalah inti dari pelayanan dan perjuangan Paus Fransiskus, baik sebagai Uskup Agung maupun sebagai Paus.
Dalam hal ini, Paus Fransiskus dianggap sebagai seorang radikal—istilah yang digunakan oleh Austen Ivereigh menyebutnya Radical Pope, karena kepemimpinannya selalu berusaha untuk kembali ke akar permasalahan, mencerminkan kepemimpinan sosial transformatif, yang senantiasa dipandu oleh refleksi iman, Injil dan pertobatan.
Tema kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia ialah, “Iman, Persaudaraan dan Bela Rasa”.
Yidak hanya mencerminkan nilai-nilai yang menubuh dalam dirinya, tetapi juga merupakan pesan penting bagi Indonesia. Tema ini mengajak publik Indonesia memahami bagaimana iman dapat menuntun pada persaudaraan yang kokoh, yang diikat oleh bela rasa terhadap sesama ciptaan-Nya.
Spiritualitas Ugahari
Ugahari tidak hanya berarti kesederhanaan, tetapi juga kesahajaan, yang melibatkan penguasaan diri sepenuhnya dari syahwat dan kehendak untuk berkuasa.
Inilah komitmen yang dipegang teguh seorang rohaniawan Katolik sepanjang hidupnya. Paus Fransiskus mewujudka laku ugahari ini melalui kaul kemiskinan yang dijalaninya.
Kaul ini tidak hanya mengungkapkan solidaritasnya dengan kamu miskin, tetapi juga diwujudkan dalam kehidupannya sehari-hari sebagai bentuk belas kasih/bela rasa (compassion) yang konkrit.
Kaul kemiskinan yang tidak sekadar diucapkan, tetapi dilatih dan dipraktikkan secara konsisten setiap hari. Praktik ugahari Paus Fransiskus berakar dari spiritualitas yang mendalam, hasil endapan dari puluhan, atau mungkin ratusan retret yang telah beliau jalani selama puluhan tahun menjadi rohaniawan.
Sebagai penganut spiritualitas Ignasian, Paus Fransiskus juga mengikuti latihan-latihan rohani yang menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan seorang Imam Jesuit.
“Iman, Persaudaraan dan Bela Rasa” seolah menjadi garis bawah perjuangan Paus Fransiskus selama ini, di mana beliau tidak hanya tinggal dalam kediamannya, namun juga aktif keluar sebagai pejuang kemanusiaan, menemui pemimpin dunia, berdialog, dan menyampaikan pesan kemanusiaan universal.
Selama masa kepausannya, Paus Fransiskus menulis dua ensiklik penting: Laudato Si’ (2015) yang menyerukan kesadaran akan krisis iklim yang mengancam dunia, dan Fratelli Tutti (2020) yang mengajak pada persaudaraan dan solidaritas global untuk menangani masalah dunia saat ini.
Kedua dokumen ini lahir dari permenungan mendalam Paus Fransiskus dan menjadi landasan utama dalam pelayanan dan perjuangannya.
Amaliah Paus Fransiskus mencerminkan nasihat dari Syekh Ibn Atha’illah as-Sakandari, “benamkan dirimu di tanah tidak bertuan”. Laku atau amaliah Paus Fransiskus bukanlah gimik seperti kelakuan para politisi, atau pun tokoh publik yang gemar memamerkan kekayaan, melainkan berangkat dari kedalaman rohani dan disiplin aksetis yang tinggi. Inilah yang membuatnya dihormati oleh berbagai kalangan.
Tidak berlebihan jika Nancy Pelosi, dalam kolomnya di National Catholic Reporter pada 15 Maret 2023 menulis bahwa Paus Fransiskus “truly been a pope for the people”, benar-benar paus untuk umat, benar-benar paus untuk rakyat banyak.
Postingan Pak Lukman sebelumnya di instagram dengan keterangan: “andai setiap pemuka agama dan pemimpin negara berlaku sederhana, umat dan rakyatnya pun akan malu bila bergaya hidup mewah, glamor dan jorjoran”, seolah menegaskan bahwa masyarakat Indonesia tengah haus keteladanan.
Di tengah pertunjukan kemewahan dan gaya hidup para pemuka agama serta pejabat pemerintah, rakyat dipaksa menyaksikan jurang yang semakin lebar antara mereka yang berkelimpahan dan yang terpuruk dalam kemiskinan.
Ironisnya, di tengah ketidakadilan yang menjadi makanan sehari-hari, justru mereka yang seharusnya menjadi contoh malah berlomba-lomba menampilkan kelas sosial dan kemewahannya. Naudzubillah min dzalik!