Sedikit-sedikit lapor polisi. Satu pihak melapor dan pihak satunya lagi bergantian melaporkan juga. Tidak ada habisnya. Rasa-rasanya kita dibuat bosan dan muak oleh aktivitas kebiasaan saling melapor ini. Baru-baru ini yang dilaporkan ke pihak kepolisian adalah Gus Muwafiq, kiai muda NU yang digemari oleh banyak warga Nahdliyin.
Sumber segala kegaduhan budaya saling lapor ini adalah perihal Pasal 156 huruf a di KUHP. Pasal tersebut bersumber dari Pasal 4 UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan dan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Mulanya pasal ini bertujuan supaya mengatur hubungan antar umat beragama supaya tidak berkonflik. Namun, dalam kenyataan yang terjadi sebaliknya. Pasal ini menjadi sumber kegaduhan.
Kenyataan yang jauh dari harapan tersebut bersumber dari tidak jelasnya bunyi dari pasal tersebut. Coba kita simak:
“Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalah-gunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.”
Dalam pasal tersebut penjelasannya tidak detil dan cenderung multi tafsir. Misalnya pada penjelasan “melakukan perbuatan yang pokoknya bersifat bermusuhan, penyalah-gunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia”. Definisi tersebut sangatlah longgar dan ambigu.
Terkait dengan sifat permusuhan atau ketersinggungan itu sangat relatif. Sebuah ucapan yang mana di satu kelompok dianggap sesuatu yang tidak menyakiti, namun di kelompok lain dapat dianggap menyakiti perasaan. Definisi yang ambigu inilah pasal tersebut rawan digunakan oleh berbagai pihak untuk memidanakan warga negara yang tidak mereka sukai.
Terlebih lagi, pasal tersebut terkait dengan agama-agama. Dalam realitasnya, setiap agama memiliki perkembangan yang berujung pada banyaknya aliran. Dari masing-masing aliran memiliki pemahaman yang seringkali bertentangan dengan pemahaman aliran lain. Seringkali aliran yang satu menganggap sesat aliran yang lainnya.
Dengan demikian, pasal tersebut berpotensi dimanfaatkan untuk memenjarakan orang yang sebenarnya barangkali tidak bersalah, namun hanya berbeda pemahaman saja. Ambiguitas pasal ini lebih rumit lagi di saat situasi politik kita penuh dengan sentimen identitas dan tirani mayoritarianisme. Pasal ini rawan digunakan oleh kelompok mayoritas untuk merusak kubu minoritas.
Sudah banyak korban yang berjatuhan karena dirusak hidupnya oleh pasal karet penodaan agama tersebut. Contoh yang paling populer adalah Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Ia sempat mendekam beberapa tahun dibui karena dipenjarakan oleh pasal karet ini. Kasus yang lebih jadul adalah Alm Arswendo Atmowiloto (Pimred Majalah Monitor) pernah dibuikan dengan pasal yang serupa.
Solusi terbaik adalah dengan menghapus pasal tersebut. Terkait dengan hubungan antar agama tersebut tidak perlu diatur dalam undang-undang pidana. Seharusnya, jika pun ingin dibuat regulasi, harus berangkat dari filosofi hukum yang mendorong pluralisme dan multikuluralisme hubungan antar agama. Dan tentu saja dengan definisi dan penjelasan yang gamblang, tidak sumir.
Jika tidak dihapuskan, pasal karet ini akan terus menelan korban dan akan terus memproduksi budaya kebencian yang akan memidanakan warga negara yang sebetulnya belum jelas apakah benar-benar bersalah. Padahal, seharusnya polemik keagamaan harus didorong kepada bentuk peradilan akademis atau intelektual. Bukan peradilan pidana.
Misalnya dalam kasus Gus Muwafiq terkait statementnya bahwa Nabi Muhammad Saw semasa kecil rembesan dan kurang terurus. Jika yang terbangun dalam publik kita adalah kultur akademis. Seharusnya klaim data sejarah yang disampaikan oleh Gus Muwafiq tersebut dapat dibantah dengan argumentasi dan bukti kesejarahan. Bukan pidana.
Silakan saja bahwa pihak yang tidak setuju dengan argumentasi Gus Muwafiq dapat memberikan sanggahannya melalui kanal-kanal media sosial masing-masing atau medium publik lainnya. Dari sana akan muncul perdebatan dan komentar dari berbagai pihak yang tertarik dengan seputar perdebatan tersebut.
Maka kemudian dengan sendirinya, publik akan menilai dengan segenap logika dan rasionalitasnya, argumentasi dan pengetahuan mana yang lebih mendekati sebuah kebenaran sejarah. Jika yang terjadi dalam kasus Gus Muwafiq adalah sidang akademis publik. Suasana ruang publik kita akan lebih ayem tentrem.
Kita bosan dengan suasana kegaduhan yang dibumbui oleh unsur saling membenci. Padahal seharusnya yang ingin digapai dari proses peradilan dan pidana adalah mencari keadilan. Namun dalam kasus ini yang terjadi adalah parade kebencian yang sunyi dari nilai-nilai perjuangan keadilan.
M. Fakhru Riza, penulis adalah pegiat di Islami Institute Jogja.