Bagaimana menjelaskan fenomena keagamaan, lengkap dengan pelbagai ragam pandang dan cara orang orang menggunakannya? Sebelum ke sana, kita tentu saja harus sepakat bahwa agama merupakan salah satu hal yang tidak dapat terlepas dari kehidupan manusia. Sejak dini, manusia dikenalkan dengan agama. Kemudian, agama menjadi salah satu identitas yang melekat pada setiap diri manusia dan diwujudkan dalam berbagai bentuk ritual peribadatan dan doa. Meskipun agama berasal dari Tuhan dan diyakini kesempurnaannya, agama tetap tidak dapat terlepas dari masalah. Masalah ini muncul akibat dari agama diyakini dan dipraktikkan oleh manusia, dan manusia memiliki kapasitas yang berbeda-beda dalam menjalankan agama. Oleh karena itu, muncul banyak pendapat dalam satu permasalahan dalam agama.
Banyaknya penafsiran akan permasalahan agama ini kemudian memunculkan perdebatan. Terlebih ketika jaman sudah semakin menjauhi jaman Nabi, namun permasalahan keagamaan yang muncul semakin kompleks. Di era teknologi saat ini, perdebatan tidak dapat dielakkan. Dengan semakin mudahnya akses informasi menggunakan teknologi, tema-tema agama yang menjadi bahan perbincangan tersebut semakin mudah didapatkan, terlebih oleh anak-anak.
Ketika anak-anak mendapatkan informasi perdebatan tentang permasalahan agama namun tidak mendapatkan respons yang semestinya dari pihak orang dewasa, maka dikhawatirkan akan diserap secara kurang tepat. Penyerapan informasi yang kurang tepat tanpa adanya filter dan penjelasan, maka mengakibatkan kerentanan terhadap pembentukan sikap dan perilaku yang kurang bijak. Terlebih ketika mengingat salah satu karakteristik anak adalah mudah mengingat dan cenderung menganggap apapun yang masuk ke otaknya pertama kali sebagai bekal dan pedoman bertindak. Menurut Walter Houston Clark (1958) dalam bukunya yang berjudul The Psychology of Religion: An Introduction to Religious Experience and Behavior menjelaskan bahwa salah satu ciri sikap keagamaan anak adalah imitatif.
Artinya, anak suka meniru sikap keagamaan yang dilihatnya di kehidupan sehari-hari. Maka dari itu, dibutuhkan pendampingan dan keterampilan dari pihak dewasa untuk dapat menjelaskan kepada anak. Untuk dapat menjelaskan, maka pihak dewasa hendaknya memahami karakteristik jiwa keagamaan pada anak terlebih dahulu.
Menurut Ernest Harms (1944) dalam artikel jurnal yang berjudul The Development of Religious Experience in Children bahwa perkembangan pengalaman beragama pada anak melalui tiga tahapan. Pertama, The Fairy-Tale Stage. Tahapan ini dimulai ketika anak berusia 3 tahun dan berakhir ketika anak berusia 6 tahun. Pada tahapan ini, konsep mengenai Tuhan dan agama lebih banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi anak, sehingga anak membayangkan Tuhan dan agama layaknya dunia fisik. Kedua, The Realistic Stage. Tahapan ini dimulai ketika anak berkisar usia 7 tahun sampai usia remaja. Pada tahapan realistic, seorang anak sudah mengkonsepsikan Tuhan dan agama berdasarkan kenyataan akibat dari bimbingan orang di sekitarnya (misalkan orang tua dan keluarga) dan juga pengaruh lembaga-lembaga keagamaan. Ketiga, The Individual Stage. Pada tahapan ini, seorang anak memiliki kepekaan emosi yang paling optimal dibandingkan masa sebelumnya dan sesuai dengan perkembangan usia kronologisnya.
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka salah satu cara menjelaskan fenomena keagamaan pada anak adalah dengan menyesuaikan penjelasan fenomena keagamaan berdasarkan kapasitas dan kriteria perkembangan kognitif anak. Penyesuaian ini bisa dilakukan dengan cara menyederhanakan penjelasan tanpa mereduksi agama. Selain itu, menurut Jean Piaget (1954) dalam bukunya yang berjudul The Construction Of Reality In The Child dijelaskan bahwa perkembangan kognitif anak bersifat praoperasional (yang bersifat simbolik) dan operasional konkret (pemahaman yang berasal dari contoh atau hal konkret). Oleh karena itu, menjelaskan fenomena keagamaan bisa menggunakan cara pemisalan, atau mencontohkan peristiwa lain yang lebih sederhana namun memiliki unsur atau karakteristik yang sama.
Contoh, menjelaskan fenomena pembakaran bendera bertuliskan kalimat tahlil yang menjadi simbol bagi organisasi terlarang Hizbut Tahrir Indonesia (yang diyakini sebagai rayah dan liwa’ oleh sebagian kelompok). Pihak dewasa hendaknya mencari unsur-unsur penting terlebih dahulu dari peristiwa tersebut. Misalkan, unsur pemakaian benda yang bukan miliknya untuk tujuan sendiri untuk menggambarkan ketidakpantasan sebagian kelompok yang menggunakan bendera tersebut untuk kepentingan kelompok. Unsur yang lain adalah memakai sesuatu bukan pada tempatnya untuk menggambarkan pemakaian bendera yang dianggap rayah dan liwa’ pada situasi damai (padahal penggunaan rayah dan liwa’ adalah dalam situasi perang). Setelah unsur-unsur tersebut ditemukan, maka pihak dewasa mencari perumpamaan peristiwa yang melibatkan kehidupan anak.
Contohnya, “bagaimana jika adik menggunakan pistol pak Polisi untuk merebut mainan teman adik?” (sebagai perumpamaan kelompok yang memakai bendera yang diyakini rayah dan liwa’ untuk tujuan mendirikan khilafah di dalam negara Indonesia), “bagaimana jika adik menggunakan mainan pedang ketika teman-teman adik sedang tidak bermain perang-perangan?” (sebagai perumpamaan penggunaan rayah dan liwa’ bukan dalam situasi perang), “jika ada tulisan orang yang berbeda dengan tulisan ayah/ ibu dan mengatakan itu tulisan ayah/ ibu, apakah adik percaya?” (untuk menggambarkan bahwa rayah dan liwa’ masa sekarang jelas berbeda dengan masa Nabi karena masa Nabi tipografi tulisan Arab belum seperti sekarang), “lebih mulia mana, membakar lembaran kalimat Allah sehingga hilang wujudnya, daripada menyimpannya tetapi tidak di tempat yang baik?” (untuk menggambarkan kebolehkan membakar kalimat Allah selama ada alasan yang maslahat).
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka pihak dewasa sudah saatnya untuk meningkatkan keterampilan komunikasi dan menyampaikan penjelasan kepada anak. Jika anak menerima informasi yang kurang tepat dan tidak ada penjelasan dari pihak lain, maka dikhawatirkan akan menjadi pola sikap. Sehingga, potensial membentuk sikap radikal, mudah menyalahkan, dan kurang bijak. Di sisi lain, pihak dewasa juga hendaknya membatasi akses anak pada teknologi atau sosial media untuk meminimalisir hal tersebut. Jika anak mendapatkan akses tanpa sepengetahuan dan mengakibatkan persepsi yang kurang tepat, maka pihak dewasa bertanggungjawab untuk menjelaskannya. Wallâhu a’lam bishshawâb.