Masihkah kita para orang tua percaya tentang nilai-nilai sopan santun? Masihkah kita berharap anak-anak kita berprilaku santun pada orang tua, teman sebaya dan anak yang lebih muda? Masihkah kita berpikir bahwa kita sebagai orang tua perlu berprilaku santun ?
Dunia dewasa kekinian didominasi oleh dunia sumpah serapah. Seiring berjalannya perkembangan teknologi dan kebebasan berekspresi, orang-orang dewasa merasa memiliki kebebasan untuk berkata-kata dan berprilaku semau-maunya atas nama kebebasan berekspresi. Dengarkan bagaimana mereka bicara, lihat status-status mereka di media sosial. Semua penuh makian dan cacian.
Pernahkah mereka berpikir bahwa kata-kata itu didengar anak-anak, bahwa status-status itu dibaca anak-anak. Anak-anak menjadikannya contoh, menjadikannya referensi dan dengan otomatis mereproduksi apa yang dilakukan para orang dewasa.
Cobalah iseng-iseng duduk dan mendengarkan anak-anak usia sekolah yang sedang bermain atau sedang berbincang. Sudah tidak asing lagi kata-kata sumpah serapah, benda-benda WC dan kebun binatang keluar dari mulut mungil mereka. Sejatinya dunia anak telah dicemari oleh kelakuan orang dewasa dan yang menyedihkan seringkali orang dewasa tersebut adalah orang tua mereka sendiri, guru, orang tua pengganti (pengasuh, saudara serumah), dan orang-orang dewasa lain di lingkungan tumbuh kembang anak. Sadarkah kita sebagai orang dewasa banyak sekali merebut hak-hak anak dalam kehidupan mereka?
Jika kita yang mengaku sebagai orang muslim menelaah ajaran Qur’an, maka sesungguhnya apa yang diajarkan Qur’an adalah akhlak. Contoh nyata dari pengejawantahan kalam-kalam Qur’an tentu saja adalah pribadi Nabi Muhammad SAW yang tak terbantahkan. Namun realitasnya saat ini, nilai-nilai sopan santun dan tata krama tidak lagi menjadi kepedulian mendasar di banyak kalangan orang tua. Penanaman nilai-nilai positif dan pendidikan tata krama kalah oleh target-target pencapaian akademik di sekolah.
Orang tua tidak menjadi risau manakala anak-anaknya berbicara dengan kata-kata kotor atau berprilaku kasar. Sebaliknya orang tua panik luar biasa ketika nilai-nilai akademik anak-anaknya tidak sesuai dengan target yang diharapkan, les ini itu menjadi jalan keluar agar mendapat nilai yang tinggi. Perilaku negatif anak, tetap terabaikan.
Kerusakan-kerusakan kecil yang muncul dari keluarga telah bergabung menjadi sebuah kerusakan masif. Ujung-ujungnya anak-anak yang absen mendapatkan pendidikan tentang nilai-nilai positif dan akhlak mulia, kelak akan menjadi psikopat baru dalam masyarakat yang beranggapan apapun bisa diraih dengan menghalalkan segala cara. Apakah memang manusia-manusia “unggul” seperti ini yang diinginkan dalam ajaran Islam? Inshaa Allah jawabannya tidak.
Oleh karena itulah pendidikan moral, penanaman nilai-nilai positif dan akhlak mulia tetap harus menjadi landasan utama pendidikan bagi anak-anak.
Apa saja nilai-nilai positif yang perlu ditanamkan pada anak menurut Islam? Bagaimana caranya? Tips-tips berikut ini dapat memandu orang tua dan orang dewasa lain yang hidup bersama anak-anak agar dapat menanamkan nilai-nilai positif pada anak sejak dini.
Ajarkan anak bersabar
Bersabar artinya menunda keinginan untuk dipenuhi saat itu juga. Bersabar mengajarkan anak untuk melampaui proses ketika ia ingin mendapatkan sesuatu. Anak yang mampu bersabar untuk mendapatkan keinginannya dan mau melampaui proses memiliki kecenderungan untuk lebih berhasil baik dalam pencapaian akademik maupun pencapaian lain dalam kehidupan.
Kesalahan terbanyak yang sering dilakukan orang tua adalah memberikan keinginan atau permintaan anak pada saat anak marah atau menangis dengan tujuan meredakan kemarahan atau menghentikan tangisan anak.
Anak yang berulang kali mendapatkan keinginannya dengan cara memperlihatkan kemarahan atau tangisan akan belajar bahwa cara marah dan menangis adalah cara instan untuk memenuhi keinginannya.
Akibatnya bisa ditebak, dimanapun dan kapanpun anak akan marah dan menangis jika menginginkan sesuatu. Untuk menghindari perilaku tersebut latih anak untuk berbagi, antri, menabung, mengerjakan dahulu kewajibannya (seperti shalat, mengaji, belajar) baru ia bisa mendapatkan hal wajar yang diinginkan.
Perlihatkan bahwa jika anak memperlihatkan perilaku yang baik maka ia akan memperoleh keinginannya, sebaliknya jika perilakunya negatif maka ia tidak bisa mendapatkan apa yang diinginkannya. [Bersambung]