Memang dalam Idul Fitri kita sangat dianjurkan mengumandangkan takbir, sebuah bentuk pengkultusan kembali Tuhan yang maha besar. Ada beberapa ulama yang memberikan gambaran lebih mudah dipahami tentang takbir, “kalau ndak bisa membayangkan bagaimana besarnya Allah, balik saja, bahwa kita ini amat sangat kecil”.
Kita mungkin kesulitan menerjemahkan besar itu sebagai apa. Kita terjemahkan besar sebagai ukuran, keilmuan atau kehendak. Sebagai ukuran, kita hanya mampu membayangkan bahwa luasan alam semesat ini sebagai kumpulan galaksi yang bertebaran di angkasa, dan pasti Allah jauh lebih besar dari itu. Sebagai keilmuan, kita pikirkan bahwa Allah sebagai sumber pengetahuan dan mengetahui segala sesuatu.
Jika menilik pada apa yang dipikirkan manusia, pikiran kita tidak banyak bergerak, soal teknologi penerangan saja kita hanya bergerak dari penerangan api ke listri, dan tentu Allah lebih dari itu. Sebagai kehendak, Allah dapat membuat manusia lahir dan mati kapan saja, dapat membuat manusia berlari kencang, masuk ke laut terdalam bahkan menerbangkan manusia menembus angkasa, tapi tentu Allah bisa lebih dari itu. Lawong menghidupkan orang yang sudah mati saja bisa, apalagi hanya menerbangkan manusia ke angkasa.
Tentu bentuk-bentuk tadi hanya sebuah jalan mahluk memaknai dan berkenalan dengan Tuhan, karena bisa saja itu semua tidak tepat. Gus Mus sering mengatakan bahwa banyak ulama’ dulu yang ketika takbir langsung pingsan gara-gara terfikir seberapa besarnya Allah. Tentu pengambaran ini menunjukan bahwa kata Takbir tidaklah sebuah kata yang remeh.
Allah yang maha berkehendak dengan kualtas ciptaan yang sempurna, sungguh amat luar biasa. Baik kita lihat ke atas, melewati bulan, planet, galaksi, sampai bintang paling jauh yang jaraknya bertahun-tahun cahaya, itu semua karya Allah. Kita lihat ke bawah, melewati kulit, bertemu organ, lalu jaringan, terus kita bertemu untaian protein, dari setiap protein tersusun dari atom-atom. Ternyata adalam tubuh mahluk hidup terdiri dari oksigen, karbon, hidrogen, beberapa logam seperti besi dan kalsium. Sungguh detail ciptaan Allah. Allahu Akbar.
Takbir terus bergema sampai salat idul fitri, pikiran kita terus terpusat pada kebesaran Allah. Kita berserah diri pada kehambaan dan pengakuan bahwa diri ini kotor, penuh dosa, lemah, kecil serta serba terbatatas. Seraya kita terus berharap semoga level ketakwaan kita meningkat setelah digembleng puasa selama sebulan penuh, karena itulah gol utama dari kita berpuasa. Dalam puasa kita berlatih mengelola hawa nafsu, amarah, sifat adu domba, tidak terburu-buru dan akhlak-aklak baik yang lain.
Tentu kita semua berharap bahwa masuk ke tanggal satu Syawal tidak lantas membuat apa yang sudah kita latih selama sebulan ini langsung hilang. Semangat kita solat, bersodaqoh, belajar memahami Alquran sampai meneladaninya dalam laku kehidupan. Kita juga sempat belajar tentang puasa berbagai level, puasa yang tidak hanya menahan keinginan makan karena lapar, minum karena haus dan birahi, tetapi sampai level puasa yang menjaga pandangan, telingga, mulut sampai hati.
Kita pun berharap bahwa hal-hal baik ini tidak langsung hilang seperti debu ditiup anggin saat masuk bulan syawal.
Sehingga saat hari idul fitri, hati kita jadi lapang dalam menerima maaf dan menjadi kesatria yang berani mengakui kesalahan dan memintakan maaf atas dosa-dosa kita.
Idul fitri lebih dari sekedar parade minta maaf, di sana banyak unsur lain yang turut hadir, semisal silaturahmi yang terjalin. Idul fitri dapat menjadi momen yang pas untuk mengikatkan kembali tali silaturahmi yang mungkin pernah rengang atau putus.
Hati menjadi lapang ketika bertemu orang yang mungkin kita benci. Kita jadi mau memulai kehidupan baru yang lebih baik dengan siapa pun.
Tentu level ini akan hadir ketika kita benar-benar membuka hati dengan menyediakan maaf pada siapapun, tidak yang hanya berupa parade salaman tanpa ada permintaan maaf yang tulus dari hati.
Karena kadang kala kita juga jadi sering terlupa bahwa permohonan maaf yang dihaturkan harusnya hadir dari hati, bukan hanya aji mumpung karena semua minta maaf, kita ikut-ikutan salaman tanpa benar-benar minta maaf.
Sehingga kita juga dari sekarang perlu sedikit mencurigai apa motif minta maafnya kita. Apakah sungguh-sungguh, selesai di mulut atau malah muncul dari motif yang lain.
Hal yang cukup bisa diperhatikan juga adalah tentang kerendahan hati. Untuk anak muda, meminta maaf pada orang yang lebih tua dengan semangat bahwa anak muda banyak salah. Dan untuk orang yang lebih tua juga menyusupkan semangat rendah hati, karena kesalahan tentu tidak hanya hadir dari anak muda, kerendah hatian yang lebih tua mau mengakui kesalahan adalah hal yang elok.
Bermaaf-maafan saat ini pun tak hanya selesai pada teman yang berwujud.
Kita yang hidup di dunia maya, bahkan mungkin memiliki teman yang hanya berjumpa di dunia maya, rasanya juga perlu dimintai maafnya satu persatu agar plong juga. Apalagi momen kemarin benar-benar membuat kita banyak mencaci mereka yang berseliweran di sosial media. Sehingga kita bisa plong dengan yang berjumpa langsung, dengan yang telah mendahului kita dan dengan siapa saja yang interaksinya hanya dari sosial media.
Kiranya demikian, semoga semangat memberi maaf tetap terpancar dari hari ke hari. Karena sifat kesatria hanya dimiliki oleh mereka yang berani mengakui kesalahannya dan memberi maaf pada musuh terbesarnya. Semoga kita juga tetap dapat mengelola nafsu dengan baik, karena apa gunanya kita baik selama puasa tetapi kembali buruk pada hari-hari selanjutnya. Bukankah Allah lebih suka pada perkara baik yang dilakukan secara istiqomah.
Sekali lagi, Selamat idul fitri…