Muslim terbaik ialah orang yang mampu membawa perubahan. Dalam al-Qur’an, istilah perubahan ini identik dengan kata, al-amru bil ma’ruf wa nahy ‘anil munkar (menyuruh pada kebaikan dan mencegah kemungkaran). Pada surat Ali Imran ayat 110 misalnya, disebutkan bahwa umat terbaik adalah orang yang mengajak pada kebaikan dan mencegah kemungkaran. Setiap muslim diharuskan untuk melakukan hal ini, membawa perubahan di masyarakat sesuai dengan kemampuannya.
Dalam rangka mengajak kebaikan dan merubah kebiasaan buruk individu maupun masyarakat, tentu harus punya cara dan metode tertentu agar orang yang diajak terbuka hatinya dan merubah kelakuan buruknya. Ibarat penyakit, penanganan dan pengobatannya harus bagus dan sesuai agar tidak bertambah parah dan segera pulih. Ulama sering menegaskan, jangan sampai mencegah kemungkaran dengan membuat kemungkaran yang baru.
KH. Achmad Siddiq dalam tulisannya berjudul “Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar sebagai langkah Pembinaan Khoiro Ummah dalam Masyarakat Pancasila” menjelaskan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan Amar Ma’ruf-Nahi Munkar (berikutnya disingkat AM-NH). Hal ini beliau tulis agar gerakan AM-NH produktif dan tidak menimbulkan masalah baru.
Pelaksanaan AM-NU terdiri dari empat unsur: muhtasib (pelaksana), muhtasab a’laih (objek/orang yang diajak), muhtasab fih (permasalahan), dan ihtisab (bentuk penanganan). Keempat unsur ini saling berkaitan dan apabila berubah salah satunya, maka pola penangananya pun akan berbeda. Misalnya, apabila kita ingin mengajak seorang anak untuk berbuat baik dan rajin beribah, tentu metodenya berbeda dengan orang dewasa. Menerapkan metode orang dewasa terhadap anak kecil akan menimbulkan masalah baru dan kemungkinan besar anak yang diajak tidak akan berubah.
KH. Achmad menjelaskan, masing-masing unsur tersebut memiliki beberapa persyaratan dan skala prioritas. Dalam konteks ini, beliau mengutip pendapat Imam al-Ghazali bahwa muhtasib (pelaksana) haruslah ‘alim dan wara’. Orang yang akan melakukan AM-NH mestinya ialah orang yang berpengatahuan luas dan memahami betul persoalan yang sedang dihadapinya. Dia pun harus berhati-hati, bijak mengambil sikap, ikhlas, dan tidak mudah terpancing hawa nafsu. Apabila AM-NU dilakukan oleh organisasi atau kelompok, pimpinan organisasi dan ketua kelompoknya harus memiliki dua persyaratan ini: ‘alim dan wara’, setelah itu baru persyaratan ini dipenuhi oleh masing-masing anggotanya.
Pada saat berhadap dengan banyak masalah (muhtasab fih), seharusnya ada skala prioritas dalam menyelesaikannya. Tidak mungkin seluruh persoalan dapat diselesaikan dalam waktu bersamaan. Menurut KH. Achmad, persoalan keimanan mestinya mendapatkan perhatian utama. Sebagaimana diketahui, iman terdiri dari tiga unsur: tasdiq bi qalbi (meyakini dalam hati), al-nutqu bi lisan (melafalkan dua kalimat syahadat), dan amal bi jawarih (melakukan amal shaleh).Peningkatan keimanan seseorang perlu dilakukan dengan cara yang bijak dan baik. Jangan sampai peningkatan kualitas keimanan tersebut dilakukan dengan cara yang salah, tidak profesional dan bijaksana, seperti kekerasan, mudah mengkafirkan, dan memusyrikan.
Terkait sasaran ajakan atau orang yang diajak (muhtasab ‘alaih), sejak deklarasi kembali ke Khittab 26, NU lebih fokus pada persoalan keumatan dan kemasyarakatan. NU berusaha agar kualitas iman dan Islam masyarakat Indonesia selalu meningkat dari tahun ke tahun. Peningkatan kualitas beragama tersebut dilakukan dengan cara yang halus dan tidak menyakitkan.
Dilihat dari sejarah perjuangan Rasulullah, pada tahap awal beliau lebih fokus pada pemantapan iman masing-masing individu, setelah itu baru memikirkan bagaimana membangun masyarakat Islam (islamic society building), dan pada saat tatanan sosial sudah terbangun, baru urusan pemerintah dan politik diatur agar masyarakat tetap sejahtera dan tercapainya misi kerahmatan Islam. Sebab itu, metode dan pendekatan dakwah yang digunakan Nabi pada saat berada di Mekah berbeda dengan Madinah.