Masuknya gerakan Islam transnasional di Indonesia menjadi ancaman tersendiri bagi kedaulatan NKRI. Ancaman ini berupa perubahan cara pandang (word view) masyarakat Indonesia terhadap dunia-kehidupan. Misalkan selama ini masyarakat kita sudah bisa mengaplikasikan semangat Pancasila seperti gotong royong, saling membantu, toleransi, dan lain sebagainya berubah menjadi sikap eksklusif terhadap orang/kelompok lain. Meskipun Pancasila tidak diajarkan secara terus menerus kepada setiap generasi namun budaya masyarakat sudah mencerminkan demikian. Sebab Pancasila adalah intisari dari semua kultur masyarakat Indonesia.
Ketika Islam masuk di Indonesia, Islam menyesuaikan nilainya dengan kultur masyarakat, bahkan Islam tidak kesulitan untuk memasukkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya sebab kultur tersebut sudah mencerminkan Islam itu sendiri. Meskipun ada yang tidak sesuai, para ulama dulu tidak akan menyebut ini “salah atau benar”, namun menyebut ini “baik dan ini kurang baik”.
Budaya seperti itu kian tergerus oleh arus globalisasi. Sudah tidak ada batasan lagi antara di sana dan di sini. Estimasi waktu sudah bisa dipangkas oleh alat transportasi jika hendak bepergian ke negara lain. Hal ini memicu orang untuk berbondong-bondong bepergian dengan waktu yang cukup lama ke negara lain. Dengan begitu, maka tidak heran jika orang tersebut akan terpengaruh oleh kultur negara yang disinggahi. Ketika orang itu kembali ke tanah air, mau tidak mau budaya yang selama ini sudah membentuknya akan dibawa ke Indonesia.
Hal ini juga terjadi pada orang-orang yang datang dari Timur Tengah, terutama kalangan pelajar. Mereka yang telah lama tinggal di sana tidak hanya aktif dalam perkuliahan melainkan juga ikut terlibat dalam organisasi. Dengan melihat organisasi-organisasi Islam yang tumbuh seperti cendawan di musim hujan pada masa Reformasi, kita akan tahu bahwa organisasi ini terinspirasi dari semangat kultur Timur Tengah seperti Hizbut Tahrir, Salafi-Wahabi, Ikhwanul Muslimin yang diwakili oleh PKS, dan sebagainya.
Tumbuhnya ormas-ormas tersebut akan mengancam kebhinnekaan kita. Ancaman ini datang tidak secara fisik melainkan ideologi. Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara kita akan digerus oleh ideologi-ideologi bernuansa syariah. Negara akan menjadi negara Islam, perdanya akan dirubah menjadi perda syariah, dan membentuk masyarakat seperti zaman salafus shalih (menurut versi mereka).
Namun keinginan seperti banyak mendapat penolakan, terutama dikalangan ormas Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Hal ini dikarenakan corak budaya Timur Tengah dengan Indonesia memiliki perbedaan yang cukup besar. Misalkan HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) dalam memahami konsep negara. Negara, dalam pandangannya, harus sesuai dengan syariat Islam. Syariat Islam bisa ditegakkan hanya melalui perubahan dari negara Pancasila menjadi negara Islam. Berbeda dengan Indonesia yang memandang hubungan antara agama dan negara saling mengisi dan tidak ada tumpang tindih di dalamnya.
Dari contoh HTI di atas sudah jelas bahwa Islam akan menjadi alat politik. Mereka juga menggunakan dalil-dalil nash al-Qur’an dan hadits nabi untuk melegitimasi keinginannya. Dengan penafsiran yang kaku dan rigid, kelompok ini akan bersikap eksklusif terhadap kelompok lainnya.
Pemahaman agama seperti itu akan mengancam kolektivitas masyarakat karena itu sudah bertentangan dengan kultur yang ada. Masyarakat kita sedari dulu sudah hidup harmonis, toleran, dan terbuka dengan berbagai unsur SARA. Di sisi lain, dalam pandangan Gus Dur, Islam juga tidak mengajarkan orang untuk berpolitik, melainkan mengajarkan nilai-nilai seperti kesetaraan, keadilan, toleransi, dan lain sebagainya.
Dengan alasan itu juga, banyak ulama-ulama dulu dan sekarang tidak setuju jika Islam dijadikan alat politik. Namun disetujuinya negara Pancasila bukan tanpa alasan. Alasan yang digunakan oleh ulama-ulama kita salah satunya berasal dari kaidah fiqih yang berbunyi: dar ul mafasidi aula min jalbi al masholihi (mencegah kemudharatan itu lebih didahulukan daripada mengambil sebuah kemaslahatan). Bahkan ketika dulu Pancasila sudah disetuji, KH. Hasyim As’ary menyatakan bahwa hubbul wathan minal iman (mencintai tanah air adalah sebagian dari iman).
Maka dari itu, kita tidak ingin negara yang sudah damai, harmonis, penuh toleran, akan menjadi medan perang, seperti Suriah, dengan merubah ke negara Islam. Islam tidak bertentangan dengan Pancasila, karena dua hal ini memiliki kesamaan nilai yang terkandung di dalamnya. Dengan pancasila juga sudah terbukti bahwa Indonesia tidak pernah terjadi perang sipil dengan memakan waktu yang lama. Oleh karena itu, mari kita jaga kultur ini dari berbagai ancaman luar agar Islam bisa mewujudkan cita-citanya sebagai agama rahmatan lil alamin. Wallahhua’lam.
Muhammad Mujibuddin. Penulis adalah pegiat di Islami Institute dan Gusdurian Jogja.