Pada abad kedua dan ketiga Masehi yang terletak di tengah-tengah gurun Syria, ada sebuah kota metropolitan yang terkenal dengan sebutan Palmyra. Kota kuno itu sering dikenal dengan nama Tadmor. Banyak juga mencatat nama resmi kota itu adalah Tadmor. Asal mula Palmyra diduga karena wilayah tersebut terdapat banyak pohon palem.
Letak Palmyra secara geografis di persimpangan strategis yang menghubungan ibukota Suriah, Damaskus dengan wilayah Timur yang diperebutkan, yaitu kota Deir Al-Zour.
Menurut Nourouzzaman Shiddiqie dalam bukunya “Sejarah Muslim”, 1981, menyebutkan letak geografisnya berada di antara dua negara besar, Byzantium dan Persia, yang saling bermusuhan. Sedangkan lokasi Palmyra berada pada zona netral. Keberadaan kedua negara besar itu bukan berarti mengganggu wadi, tetapi melindunginya dan berkepentingan demi keamanan bersama.
Tidak ada catatan yang menyebut sejak kapan orang-orang Arab menduduki kota ini. Hanya disebutkan oleh Mark Anthony pada tahun 42-41 sebelum Masehi pernah mendiami dan diceritakan mengalami kegagalan usaha-usahanya. Di tahun 9 sebelum Masehi, Palmyra menduduki pusat perdagangan penting antara Romawi dan Persia.
Sejak awal abad pertama hingga ketiga Masehi, kota ini tumbuh di bawah pemerintahan Romawi, sampai kemudian membentuk kekaisaran sendiri yang terbentang dari Turki hingga Mesir. Palmyra dibangun berbeda dengan gaya kota kekaisaran Romawi lainnya.
Palmyra dahulu disebut sebagai tempat persinggahan kafilah untuk mendapatkan suplai air dalam perjalanan berikutnya. Palmyra juga menjadi tempat pertemuan kafilah-kafilah yang datang dari Timur, Barat, Selatan dan Utara. Sejak itu lah kota ini menjadi kota transit dagang dan memberi keuntungan yang besar bagi masyarakat disekitarnya. Hal ini yang menjadi keunggulan Palmyra.
Dalam kurun waktu 117 M- 272 M, Palmyra dikuasai beberapa penguasa dan seringkali terjadi pergantian pemimpin. Salah satunya di abad ke 17, kota ini dikuasai Roma, terlihat dari dekrit cukai di abad itu. Pada abad 193-211 M Palmyra dikuasai Hadrian. Tahun 130 M Hadrian berkunjung ke kota Palmyra hingga kota ini mendapat nama Hadrian Palmyra.
Selanjutnya kota ini ditranformasikan menjadi kota provinsi Roma oleh Septimius Severus 193-211 M. Pada awal abad ketiga, Palmyra mendapat status sebagai sebuah kolom dari kedaulatan Roma. Sejak itu, orang-orang Palmyra menambah nama-nama mereka dengan nama-nama Roma.
Odaynats atau dikenal Udlainah adalah kepala pemerintahan Palmyra yang menggerakkan rakyatnya untuk berperang. Tidak heran di masa itu banyak terjadi peperangan, dari mulai perang antara Roma dan Sasanian tahun 226 M, hingga perang kejatuhan Palmyra.
Masa Kejayaan Palmyra 130-270 M
Pada masa kejayaannya, perdagangan terus berkembang pesat, bahkan mendunia, dari Timur sampai Cina. Kekayaan yang dimiliki kota ini digunakan untuk membangun gedung-gedung megah. Sisa-sisa peninggalan tertulis atau monumen dapat menjadi bukti kebesaran masa dulu.
Palmyra juga melahirkan peradaban indah, perpaduan unsur-unsur peradaban Yunani, Syiria dan Parthia (Iran). Bahasa percakapan mereka adalah dialek dari Aramiya Barat seperti yang dipergunakan orang Nabatiya dan Mesir.
Mereka memiliki kepercayaan pada penyembahan matahari yang menjadi karakter kepercayaan orang-orang Arab Utara. Dewa-dewa yang dipuja orang-orang Palmyra setidaknya ada 20 jenis mulai Bel hingga Baal Syamin (penguasa langit)
Palmyra dikuasai ISIS, Warisan Peradapan Kuno Terancam Punah
Pada 21 Mei 2015, kelompok radikal yang menamakan diri Negara Islam atau ISIS di Suriah, menguasai kota kuno Palmyra dan beberapa lokasi reruntuhan zaman Romawi yang termansyur. Hal ini mengancam kota 2000 tahun yang ditetapkan sebagai Warisan Budaya Dunia UNESCO itu. Mereka merebut Palmyra karena di kota Tadmur terdapat ladang gas dan minyak.
ISIS merebut kembali Palmyra bulan Desember setelah lepas ke tangan pemerintah pada bulan Maret. Terdengar gempuran dan baku tembak di kota bersejarah itu. Dalam pertempuran tersebut diduga banyak bangunan monumen yang hancur dan hanya menyisakan bangunan kubah dan menara penguburan.
Setelah diselidiki oleh Kepala Situs Purbakala Suriah, Maamoun Abdulkarim ternyata banyak bagian masih utuh. Aksi tersebut disusul pembunuhan terhadap seorang arkeolog yang sudah menjaga situs itu selama 40 tahun. Perjuangan militer Suriah mempertahankan Palmyra pun berhasil.
Hanya sebagian kecil situs kota ini yang telah digali. Sebagian besar peninggalan arkeologi Palmyra masih tertimbun di bawah tanah dan terlalu rapuh untuk digali. Kota ini terus digempur dan dihancurkan oleh ISIS. Sejarah dan peradaban masa lampau akan hilang oleh konflik yang tragis. (AN)