Pakaian Mbah Muchith

Pakaian Mbah Muchith

Pakaian Mbah Muchith

Mbah Muchith itu orang ‘alim yang khudlu’, bahkan cenderung khumul sangking bersahajanya. Beliaulah konseptor sejati pidato monumental Kyai Achmad Shiddiq tentang status syar’iy NKRI pada Muktamar NU di Sitobondo, 1984 —”NKRI adalah bentuk final perjuangan umat Islam Indonesia tentang Negara!”

Tapi takkan bisa engkau mengeceknya kepada Mbah Muchith sendiri. Beliau selalu bilang,

“Saya cuma tukang ketik…”

Semua orang mengakui ke’alimannya. Tapi Mbah Muchith sendiri ingin meghadirkan dirinya sebagai ”santri selama-lamanya”. Dengan penuh disiplin, “penampilan ala kyai” sengaja dihindarinya. Saya kira Mbah Muchith tak punya jubah. Kain sorban saja mungkin tidak. Tak pernah saya melihatnya selain dengan peci hitamnya —saya taksir tidak mahal harganya. Peci putih ala kyai haji seolah sirikan baginya.

Suatu ketika, tak sengaja Gus Mus bertemu Mbah Muchith Muzadi di Surabaya.

“Ada acara apa?” Mbah Muchith bertanya.

“Pengajian”.

“Sudah bawa jas sama sorban?”

Gus Mus mengernyitkan dahi,

“Memangnya kenapa?”

“Disini kalau nggak pakai jas dan sorban nggak laku…”

Mbah Muchith pun kemudian menceritakan pengalamannya menghadiri undangan ceramah dari sebuah pesantren.

Dengan haaliyyah sehari-harinya yang penuh kesederhanaan, Mbah Muchith datang. Baju lengan panjang yang bersahaja, celana panjang dan kopyah hitam.

“Mari… Mari… silahkan duduk, Pak”, panitia mempersilahkan, “Bapak dari mana? Kok sepertinya belum kenal?”

“Dari Jember”, Mbah Muchith menjawab seperlunya.

“Wah? Jauh sekali!”

“Iya…” “Kok tahu kalau disini ada pengajian?”

“Iya…”

“Mari… Mari… silahkan…”

Panitia menempatkan Mbah Muchith di deretan kursi bagian belakang, bersama-sama dengan “orang-orang awam”. Mbah Muchith pun menurut saja.

Hingga agak larut, acara tak juga dimulai. Makin lama, panitia makin kelihatan panik: mondar-mandir antara kediaman kyai pesantrennya dengan jalanan. Jelas-jelas mereka menunggu-nunggu sesuatu atau seseorang yang “tak kunjung datang”. Sampai akhirnya kyai pesantrennya sendiri yang keluar menuju jalanan.

Melewati deretan kursi bagian belakang, Pak Kyai pun mengenali Mbah Muchith,

“Lha ini apa! Kyai Muchith sudah disini!” tergopoh-gopoh Pak Kyai menghampiri Mbah Muchith, “sudah ditunggu-tunggu dari tadi, Yai!” katanya, dengan nada menyesali.

“Saya juga sudah datang dari tadi…”

Sumber: http://teronggosong.com/2011/03/pakaian-mbah-muchith/