Setelah heboh diharamkannya menonton Drama Korea, dan berlanjut dengan perlunya umat muslim untuk menjauhi beberapa permainan seperti catur dan kartu domino, minggu lalu tersiar video bahwa mengenakan jersey Manchester United alias setan merah juga bisa berdampak negatif terhadap keimanan dan ketakwaan. Perumpamaannya sederhana sekali, umat Islam kan hampir setiap hari melafalkan taawuz yang bertujuan untuk melindungi diri kita dari setan yang terkutuk. Lah, kok ada yang malah mengagung-agungkan tim yang berjulukan red devils dan justru bangga mengenakan baju berlambang setan. “Wah, ini jelas-jelas salah!” terang pemateri.
Mendengar apa yang disampaikan, kok saya jadi geli sendiri. Setelah menonton video singkat tersebut, saya langsung membagikannya ke beberapa orang, termasuk kawan saya yang merupakan fans Liverpool, sambil saya candai bahwa ia adalah golongan yang lebih sedikit beruntung karena kaos timnya belum diharamkan, sebab mungkin bila ada ustadz lain yang lebih jeli dan mengartikan lambang obor sebagai simbol api neraka, mungkin nasibnya tidak akan jauh berbeda dan tinggal menunggu giliran saja, haha…
“Api itu simbol kalau setiap manusia memiliki sifat negatif masing-masing,” ujarnya tenang sambil mengelak bahwa Liverpool akan bernasib sama. Selain musim sekarang performance-nya sedang moncer, the Reds digawangi oleh Mohammed Salah dan Sadio Mane, yang disimbolkan sebagai muslim taat di dalam maupun luar lapangan. Mana mungkin dibandingkan dengan setan merah yang lagi bapuk-bapuknya (ups!).
Jawaban singkat kawan saya tadi, kemudian membuat saya mengaitkannya dengan hakikat jati diri manusia. Sebagai makhluk Allah, kita memang tidak diciptakan untuk menjadi sempurna. Dalam diri kita melekat perangai positif sekaligus negatif. Walaupun esensinya satu: kita tetap diperintahkan untuk selalu beriman dan bertakwa, meski di saat yang sama, Islam juga tidak menganjurkan untuk terus menerus beribadah dan melalaikan hak tubuh, sosial kita. Sehingga ibadah ritual harus diimbangi dengan bercengkrama dengan keluarga, berolahraga, atau kegiatan lainnya asalkan sesuai dengan koridor agama.
Bahkan dalam satu riwayat hadis, Salman memberikan nasihat pada Abu Darda’ dan wejangan ini diiyakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam supaya Abu Darda’ tidak hanya sibuk ibadah, sampai lupa istirahat dan melupakan keluarganya. Dari situ, kita diperlihatkan bahwa sebenarnya sah-sah saja seseorang menonton sepakbola, berkarier di bidang olahraga, asalkan hal tersebut tidak melalaikan kita pada Allah SWT.
Sayangnya, sebagian besar umat islam kini cenderung mengkotakkan ibadah dan dakwah hanya di lingkaran masjid dan pesantren belaka. Padahal dalam suatu penelitian yang diadakan oleh tim dari Stanford University menemukan bahwa kehadiran pesepakbola Mohammaed Salah di Liverpool mampu membawa angin segar bagi tim dan juga menurunkan angka rasisme di kalangan suporter terhadap muslim disana. Bahkan, seorang Liverpudian memutuskan untuk memeluk islam karena terinspirasi oleh karakter dan kepribadian “the Egyptian King”. Dalam wawancaranya dengan media Inggris, muallaf bernama Ben Bird tersebut mengakui bahwa ia dulu melihat islam sebagai agama yang terbelakang, namun kini setelah mengenal dan mendalaminya, ia tahu bahwa persepsi terdahulunya bertolak belakang dengan makna islam sesungguhnya. Dan, dengan memeluk agama islam, ia dapat mengurangi kebiasaan buruknya berjudi dan meminum alkohol.
Merujuk pada kejadian yang diceritakan Ben, saya semakin yakin bahwa ruang lingkup dakwah itu luas, dan menjadi muslim berprestasi di berbagai bidang adalah salah satu jalannya. Banyak orang di dunia ini yang tidak pernah membaca Al Quran, tidak pernah pergi ke masjid, dan mereka hanya tahu islam dari media massa, yang sayangnya justru mencitrakan islam dengan aksi teror dan kemarahan. Tentu tugas kita kemudian tidak hanya sibuk protes dan gembar-gembor boikot media asing, tapi bagaimana kita menyadari bahwa tiap muslim sebenarnya mengemban tugas public relation untuk mengenalkan hakikat islam yang dipersepsi keliru oleh masyarakat.
Sehingga ketika penggunaan kaos bola, bermain catur, atau domino dilarang, saya justru malah khawatir tidak akan menyelesaikan masalah umat sebenarnya, namun hanya menjadi kedok ketertutupan pikiran kita terhadap dinamika dan tantangan dakwah di era sekarang.