Sosok kelahiran Pare Pare Sulawesi Selatan pada 25 Juni 1936 yang berjuluk Mr. Crack itu, akhirnya dipanggil Sang Pencipta, Sang Pemilik cinta, untuk berjumpa lagi dengan cinta sejatinya, Ainun. Bangsa Indonesia, bahkan mancanegara, khususnya Jerman pasti sedih kehilangannya. Tetapi kita harus tetap yakin bahwa beliau sekarang sangat bahagia. Terbang tinggi bersama Bu Ainun menuju cahaya sang Khalik, Allah.
Mulai sore tadi pukul 18.05 WIB sampai sekarang berbagai media massa dipenuhi kabar duka dan bela sungkawa terkait kepergian terakhir Presiden ke-3 RI, Baharuddin Jusuf Habibie. Beliau meninggal di usianya yang sudah menginjak angka 83 tahun setelah sempat dirawat secara intensif di RSPAD Gatot Subroto sejak 1 September 2019. Beliau dinyatakan wafat dikarenakan gagal jantung dan juga karena usianya yang sudah tua.
Bila kita mengikuti sekilas perjalanan hidupnya, pasti akan tahu bahwa beliau sudah cukup sering keluar-masuk rumah sakit, baik di Tanah Air dan di Jerman. Karena itu, ketika dikabarkan bahwa beliau sedang dirawat intensif beberapa hari yang lalu, rakyat Indonesia bersama-sama mendoakan agar beliau segera fit kembali. Namun, takdir berkata lain.
Sebagian dari teman-teman pengagum Habibi pun mengetahui bahwa beliau mempunyai cerita yang agak mengiris hati karena pernah sakit tak berdaya sewaktu masih menimba ilmu di Jerman. Ya, Habibi sempat diserang penyakit TBC saat menginjak usia yang ke-21. Menurut penuturan beliau dalam beberapa wawancara, hal ini karena beliau jarang makan disebabkan uang yang pas-pasan.
Sepertinya beliau ingin mengajarkan generasi milenial sekarang tentang arti kata survive atau cara untuk bertahan hidup. Karena, bila dilihat secara intelektual, beliau bisa saja mendapatkan beasiswa untuk menjamin kelangsungan hidupnya dan pendidikannya di Jerman, akan tetapi Habibi—begitu juga Ibunya—tidak menginginkan itu.
Sosok yang Sangat Islami
Habibi juga dikenal sebagai sosok yang sangat Islami. Beliau pernah menceritakan bahwa sewaktu masih kuliah di Jerman ia tinggal dalam lingkungan Katolik. Dalam lingkungan seperti itu, beliau menceritakan ketika lagi down, entah karena uang kiriman belum datang, kangen dengan keluarga atau karena persaingan dan ketatnya pendidikan di Jerman, beliau sering mengunjungi Gereja untuk mengadu kepada Allah.
Di sini kita belajar tentang konsep keyakinan atau nilai Tauhid, bahwa meski secara dhohir Habibi memasuki gereja, ada banyak patung dan sesembahan yang dalam keyakinan umat Islam itu bertentangan dengan keyakinan kita, akan tetapi dalam konteks Habibi yang kala itu kedinginan dalam musim dingin (Winter) di Jerman, ia tetap berdoa bahkan Sholat khusyu’ di Gereja.
https://www.instagram.com/p/B2RU5S4ngFv/
Habibi juga dikenal sebagai sosok yang tidak pernah meninggalkan puasa Senin dan Kamis. Puasa sunnah yang sangat dianjurkan oleh Nabi. Di samping itu, beliau juga sering menziarahi dan mendoakan cinta sejatinya, Ainun. Habibi pernah menuturkan bahwa bila ia diminta untuk belajar selain ilmu penerbangan, maka ia akan mendalami ilmu Agama.
Panutan Lintas Generasi
Nama BJ. Habibi begitu terngiang pertama kali ketika ia diminta pulang oleh Presiden kedua Indonesia, Soeharto. Habibi ketika itu pulang dari Jerman dengan gagasan dan mimpi besarnya untuk membuat pesawat terbang di Indonesia. Sebuah mimpi yang bisa hanya menjadi mimpi bagi kebanyakan anak negeri waktu itu. Tujuan Habibi sangat mulia, yakni agar kesejahteraan rakyat Indonesia merata.
Dengan segudang keilmuan dan penemuan penting yang beliau miliki, khususnya tentang teorinya “Crack Progression”—teori yang mampu meminimalkan terjadinya kecelakaan pada pesawat—habibi telah siap menggebrak Indonesia yang sedang berkembang. Terlebih kala itu Soeharto sedang sangat gandrung dengan gagasan “pembangunan”.
Karena itulah, bila kita flashback sedikit, betapa banyak generasi 90-an, baik enak kecil, remaja dan muda mudi ketika ditanya apa cita-citanya, maka di antara jawaban populernya adalah satu, menjadi Insinyur atau menjadi seperti BJ Habibi. Singkat cerita, akhirnya pesawat bikinannya, N-250 Gatotkaca bisa mengudara di atas awan Indonesia pada 10 Agustus 1995. Sayangnya, proyek pengembangan pesawat ini “dipaksa” berhenti karena krisis hebat yang melanda Indonesia.
Meskipun demikian, bukanlah Habibi kalau menyerah dengan rintangan. Setelah sebelumnya ia menjadi politikus, begitu juga menjadi presiden dadakan sebagai anak kesayangan Soeharto, ia akhirnya kembali pada naluriahnya sebagai ilmuan, untuk kemudian melanjutkan mimpinya yang sempat tertunda.
Begitulah Habibi, ia tak hanya seorang ilmuan dan politikus, akan tetapi ia menjadi panutan generasi Indonesia. Beliau mengajarkan pada kita akan arti perjuangan dan pengorbanan. Di sisi lain, dengan kecerdasan yang luar biasa, beliau tetap pada tabiatnya sebagai manusia biasa yang memiliki kelemahan dan kekuarangan. Hal ini membuatnya tidak terlena dengan puja puji dan juga tidak membuatnya terlihat kuat ketika ditinggal pergi sang pujaan hati, saat-saat berat yang membuatnya hampir berhenti untuk bermimpi.
Satu hal yang membuat saya cukup menyayangkan adalah, beliau tidak sempat melihat pesawar R-80—sebagai pesawat generasi lanjutan dari N-250—mengudara di atas tanah kelahirannya, Indonesia. Namun demikian, beliau tetap akan melihat R-80 bersama bu Ainun di atas sana. Mr. Crack, ragamu boleh pergi meninggalkan kami, akan tetapi semangat dan teladanmu tidak akan hilang dari lubuk hati generasi kami. Selamat jalan Pak Habibi.