Pajak sebagai Zakat: Amanah Pemerintah dan Kontrol Rakyat

Pajak sebagai Zakat: Amanah Pemerintah dan Kontrol Rakyat

Pajak sebagai Zakat: Amanah Pemerintah dan Kontrol Rakyat

Salah satu gagasan brilian KH. Masdar Farid Mas’udi adalah bahwa substansi pajak sejatinya merupakan zakat dalam perspektif Islam. Gagasan ini muncul pada awal 1990-an, di tengah dominasi pemerintahan Orde Baru, dan kini kembali relevan dalam konteks tata kelola negara yang lebih transparan dan akuntabel. Dalam magnum opusnya, Agama Keadilan: Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam, KH. Masdar tidak hanya menyoroti aspek teologis zakat, tetapi juga menekankan urgensi pertanggungjawaban publik dalam pengelolaan pajak oleh negara. Karena sejatinya, pajak adalah zakat dalam baju kontemporer negara bangsa saat ini.

Dalam pemikirannya, pajak bukan sekadar kewajiban administratif, melainkan memiliki nilai spiritual dan moral yang sama dengan zakat. Pajak, yang esensinya adalah zakat, adalah amanah Allah Swt yang harus dikelola dengan penuh tanggung jawab oleh pemerintah sebagai amil. Jika pemerintah gagal menjalankan tugasnya secara jujur, transparan, dan berorientasi pada kemaslahatan rakyat, maka secara moral dan politik ia kehilangan legitimasinya sebagai amil zakat, atau persisnya pengelola pajak.

Dalam Islam, ketidakjujuran dalam pengelolaan harta publik bukan hanya bentuk penyimpangan administratif, tetapi juga pelanggaran etis dan religius yang serius. Oleh karena itu, rakyat sebagai muzakki memiliki hak untuk mengawasi penggunaan pajak dan mengontrol pengelolanya secara cermat, sebagaimana mengontrol penggunaan zakat. Prinsip ini dapat dijelaskan melalui tiga poin utama berikut.

Pertama, pajak harus dipandang sebagai amanah dari Allah yang dititipkan kepada negara untuk dikelola demi kesejahteraan umat.

Dalam Islam, zakat bukan milik amil, melainkan hak masyarakat yang membutuhkan, yang harus disalurkan dengan penuh tanggung jawab dan integritas. Demikian pula dalam sistem pajak modern, pemerintah berperan sebagai amil yang tidak memiliki hak kepemilikan atas pajak yang dikumpulkan, melainkan hanya bertugas mendistribusikannya secara adil dan untuk kepentingan umum.

Ketika pemerintah gagal menjalankan amanah ini—baik melalui korupsi, ketidakadilan dalam distribusi, atau penyalahgunaan anggaran—maka ia kehilangan legitimasi moral maupun hukum. Negara tidak boleh sewenang-wenang menggunakan dana pajak (zakat) untuk kepentingan pribadi, keluarga, atau golongan tertentu.

Penggunaan utama dana pajak (zakat) harus difokuskan untuk kepentingan rakyat miskin, sebagaimana ditegaskan dalam QS. at-Taubah (9:60), sebelum dialokasikan untuk kebutuhan publik lainnya. Prinsip ini harus tercermin dalam kebijakan APBN serta implementasinya di lapangan. Jika terjadi penyimpangan, maka pemerintah sebagai amil pajak (zakat) telah berkhianat, berdosa, dan melakukan tindakan haram. Dalam perspektif Islam, penguasa yang tidak amanah dalam mengelola pajak (zakat) tidak lagi memiliki legitimasi untuk tetap memimpin dan harus diganti dengan amil yang lebih bertanggung jawab.

Kedua, rakyat sebagai muzakki atau pembayar pajak memiliki hak dan kewajiban untuk mengontrol penggunaan pajak agar tetap berada dalam koridor kemaslahatan umum. Dalam Islam, para muzakki sangat ketat dalam mengawasi penggunaan zakat mereka, memastikan bahwa dana yang mereka bayarkan benar-benar sampai kepada yang berhak dan digunakan untuk kepentingan yang diperintahkan syariat.

Demikian pula dalam konteks pajak, rakyat tidak boleh bersikap pasif dan sekadar menyerahkan kewajiban mereka tanpa pengawasan. Mereka berhak dan wajib menuntut transparansi, akuntabilitas, serta efisiensi dalam pengelolaan pajak. Jika pengelolaan pajak diselewengkan atau tidak berpihak pada rakyat, maka kontrol publik harus ditegakkan melalui mekanisme hukum, sosial, dan politik. Mandat yang diemban rakyat, atau muzakki ini, adalah juga datang dari Allah Swt, sebagai kewajiban dari-Nya, di samping hak mereka atas pemerintah, atau ‘amil.

Ketiga, penggunaan pajak yang tidak transparan, tidak akuntabel, dan tidak untuk kepentingan rakyat adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah Allah Swt. Dalam konteks zakat, jika amil menyelewengkan dana zakat, maka ia berdosa dan wajib mempertanggungjawabkannya di hadapan Allah dan masyarakat.

Begitu pula dalam pengelolaan pajak, pemerintah yang menyalahgunakan dana rakyat harus dimintai pertanggungjawaban secara hukum dan moral. Jika pengelolaan pajak terus-menerus melanggengkan ketidakadilan dan ketimpangan sosial, maka rakyat memiliki hak untuk menuntut pertanggung-jawaban dari penguasa yang tidak amanah. Prinsip ini tidak hanya sejalan dengan ajaran Islam, tetapi juga merupakan bagian dari etika demokrasi dan pemerintahan yang baik.

Dengan demikian, gagasan bahwa pajak adalah zakat memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang pentingnya amanah dalam pemerintahan serta kewajiban rakyat dalam mengontrol kebijakan fiskal negara. Pajak, dengan semangat spiritualitas dalam zakat, bukan sekadar kewajiban administratif, tetapi merupakan praktik ibadah yang sakral dan instrumen sosial untuk mewujudkan keadilan serta kesejahteraan.

Oleh karena itu, pajak harus dikelola dengan penuh tanggung jawab, keterbukaan, dan kepedulian terhadap kepentingan rakyat. Jika prinsip-prinsip ini diabaikan, maka pemerintah tidak lagi menjalankan tugasnya sebagai pelayan rakyat, melainkan menyalahgunakan amanah yang telah diberikan. Dalam keadaan seperti ini, rakyat memiliki hak dan kewajiban moral untuk menuntut perubahan menuju kepemimpinan yang lebih amanah, adil, dan bertanggung jawab.