Pagar Laut Juga Ada di Madura, Pentingnya Menyemai Gerakan Green Islam di Pulau Garam

Pagar Laut Juga Ada di Madura, Pentingnya Menyemai Gerakan Green Islam di Pulau Garam

Pasca media massa diramaikan oleh berita soal pagar laut di perairan Jakarta dan Tangerang, nyatanya problem tersebut juga sudah lama eksis di Madura.

Pagar Laut Juga Ada di Madura, Pentingnya Menyemai Gerakan Green Islam di Pulau Garam

Masyarakat Madura kini kian akrab dengan bencana alam. Utamanya menyangkut tiga hal: banjir, tanah longsor dan kekeringan. Dari berbagai laporan berita, tahun 2023-2024 agaknya menjadi tahun di mana intensitas bencana alam (yang meliputi banjir dan tanah longsor) terus meningkat dan lebih parah dari tahun-tahun sebelumya (Sumber: Kompas.com). Di awal tahun 2025 pun demikian. Banjir dan tanah longsor masih terus terjadi.

Di sisi lain, proses industrialisasi di Madura, yang tak jarang mengharuskan tindakan eksploitasi alam yang hingga kini kian masif. Dari tambak udang, tambang fosfat, hingga pengeboran sumur minyak mulai eksis di berbagai daerah di Madura. Tetapi nahasnya, kondisi masyarakat Madura masih begitu-begitu saja. Tak ada kemajuan yang berarti. Mayoritas di antara mereka bahkan masih perlu repot-repot merantau untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarga.

Rentetan bencana alam dan pesatnya industrialisasi ini memiliki keterkaitan langsung. Untuk itu, ancaman ekologis ini menjadi pengingat bahwa perlu ada mitigasi serta edukasi terkait isu-isu lingkungan kepada masyarakat. Dan lebih penting lagi, harus ada orientasi dan langkah nyata dari pihak pemerintah daerah dalam merespons hal tersebut.

Sebagai salah satu upaya, tulisan ini ingin mengetengahkan satu perspektif untuk merespons dua hal tersebut. Yaitu melalui upaya optimalisasi Green Islam, suatu gerakan yang fokus merespons problem lingkungan dengan memanfaatkan sumber daya ajaran agama atau nilai-nilai Islam. Hal ini setidaknya relevan jika kita lihat dari fakta bahwa masyarakat Madura adalah mayoritas Muslim (bahkan nyaris semuanya) sehingga sangat dekat dengan narasi-narasi keagamaan, utamanya agama Islam. Gerakan environmentalisme religius seperti Green Islam tentu akan menjadi satu solusi potensial untuk diambil.

Namun bagaimana langkah optimalisasinya? Bagaimana upaya yang bisa dilakukan demi menyemai dan menyebarkan prinsip-prinsip Green Islam ke tengah-tengah masyarakat di Madura? Atau pertanyaan yang lebih mendasar, apakah Madura betul-betul membutuhkan gerakan Green Islam? Sub bab di bawah ini akan mencoba mengelaborasi beberapa pertanyaan tersebut dengan lebih rinci.

Pesatnya Industrialisasi dan Rendahnya Kesadaran Publik

Untuk mengawali pembahasan, saya ingin menunjukkan urgensi dari eksistensi Green Islam di Madura. Melalui beberapa konteks peristiwa yang telah disinggung di bagian pembuka tulisan ini, saya ingin menguraikannya lebih jauh supaya kita mendapat titik pijak yang selaras.

Mari kita melihat lebih dekat tentang praktik industrialisasi yang saat ini banyak berkembang di Madura. Pasca media massa diramaikan oleh berita soal pagar laut di perairan Jakarta dan Tangerang, nyatanya problem tersebut juga sudah lama eksis di Madura.

Daerah pesisir di sekitar Desa Gersik Putih, Kecamatan Gapura, Kabupaten Sumenep, sudah lama terprivatisasi, terbukti dengan ditemukannya dokumen berupa Surat Hak Milik (SHM) yang dimiliki oleh pihak-pihak tidak bertanggungjawab (Sumber: Tempo.co). Fakta inilah yang membuat Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, harus menelusuri lebih jauh terkait fenomena yang dapat mengundang dampak negatif terhadap ekologi dan masyarakat ini (Sumber: Kompas.com).

Satu bab dari karya berupa bunga rampai berjudul ‘Rebutan Lahan di Pesisir Pantai Sumenep’, menunjukkan dengan sangat gamblang betapa telah terjadi perusakan alam yang sangat signifikan di Madura, khususnya Sumenep. Sub bab berjudul “Ekologi Budaya Madura dan Tantangan Transformasinya: Dari Koadaptasi hingga Kontestasi” yang ditulis oleh Mohamad Shohibuddin selaku dosen pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor itu memaparkan terkait gencarnya praktik alih fungsi pantai menjadi tambak udang atau upaya-upaya lain yang tak lebih dari urusan mengais laba. [Mohamad Shohibuddin, “Ekologi Budaya Madura dan Tantangan Transformasinya: Dari Koadaptasi hingga Kontestasi” dalam Rebutan Lahan di Pesisir Pantai Sumenep. Yogyakarta: Cantrik Pustaka, 2021]

Kemudian kita berhadapan pada kenyataan lain bahwa isu lingkungan bagi sebagian besar masyarakat Madura masih menjadi isu yang jauh di awang-awang. Isu environmental menjadi barang yang nampak tak memiliki korelasi langsung dengan kehidupan masyarakat. Jika ditelusuri, problem ini bermula pada gagalnya distribusi narasi untuk menyadarkan bahwa isu environmental adalah nyata dan sangat berdampak bagi setiap aspek kehidupan manusia.

Maka, dengan mengingat beberapa konteks di atas, saya tak ragu untuk menetapkan satu kesimpulan: upaya menyemai dan menyebarkan prinsip yang terkandung dalam gerakan Green Islam di Madura perlu dilakukan dengan segera.

Optimalisasi Narasi dan Peran Ulama

Berangkat pada kenyataan di atas, maka perlu upaya distribusi narasi dalam kerangka gerakan Green Islam. Kita perlu curiga bahwa sangat mungkin masyarakat bukan tidak peduli, tetapi karena keterbatasan akses terhadap pengetahuan atau masuknya informasi yang menyimpang, membuat mereka akhirnya tak acuh terhadap lingkungan.

Padahal, merujuk buku berjudul “Gerakan Green Islam di Indonesia: Aktor, Strategi, dan Jaringan” yang lahir dari penelitian yang dilakukan oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta di tahun 2024 menunjukkan bahwa, aspek narasi ini menjadi elemen penting serta perlu dioptimalisasi. Bukan hanya narasi yang berbasis pada teologi, tetapi juga yang menyangkut perspektif ekonomi, sosial dan budaya. Ini penting dilakukan agar masyarakat merasa dan memahami bahwa problem environmental adalah tanggung jawab bersama. [Tetrisno, Dkk. 2024. Gerakan Green Islam di Indonesia: Aktor, Strategi, dan Jaringan. Tangerang Selatan: UIN Jakarta Press bekerjasama dengan PPIM UIN Jakarta.]

Maka perlu ada semacam distribusi pengetahuan supaya masyarakat mampu memahami secara utuh bahwa kebiasaan buang sampah di sungai juga berpengaruh pada ekosistem makhluk hidup di sungai; berpengaruh pula terhadap merebaknya ragam jenis penyakit akibat tumpukan sampah; pun bagi kualitas air sungai yang mungkin juga masih banyak digunakan oleh masyarakat sekitar untuk mandi, mencuci, atau bahkan dikonsumsi.

Kebiasaan menggunakan zat kimia berlebihan pada sawah atau ladang juga mengakibatkan efek negatif jangka panjang. Praktik menggunakan besek atau jenis plastik lain yang biasanya berfungsi untuk wadah snack atau air minum dalam kemasan tanpa kontrol, juga turut menambah limbah yang sangat susah diurai alam. Masyarakat harus mengerti bahwa semua kebiasaan ini, sedikit banyak juga turut andil dalam meningkatnya intensitas bencana alam serta perubahan iklim di Madura.

Demi mencapai itu semua, dalam perspektif Green Islam, harus ada ‘distributor’ yang paling potensial untuk melakukannya: mereka adalah para ulama atau kyai. Mengingat betapa pentingnya framing narasi ini, maka akan jauh lebih efisien apabila aktor yang mendistribusikannya juga menempati posisi penting di tengah-tengah masyarakat itu sendiri.

Kembali merujuk buku “Gerakan Green Islam di Indonesia”, peran Kyai menempati salah satu elemen sentral. Lebih-lebih jika dikontekstualisasikan dengan kondisi sosial budaya yang ada di Madura. Pertama, perlu dipahami bahwa peran ulama atau yang kerap dipanggil Kyai begitu sentral dalam hirarki sosial budaya masyarakat Madura. Hasil riset berupa jurnal yang dilakukan oleh Mohammad Kosim berjudul “Kyai dan Blater: Elite Lokal dalam Masyarakat Madura” menunjukkan bahwa ulama bahkan lebih memiliki kuasa jika dibandingkan dengan aparatur pemerintah setempat. Identitas ulama sama kuat dengan identitas blater (sekelompok jago yang memiliki kuasa di tengah-tengah masyarakat berkat kekuatan fisik dan relasinya). [Mohammad Kosim, “Kyai dan Blater: Elite Lokal dalam Masyarakat Madura“, Jurnal Karsa, Vol. XII No. 2 Oktober 2007]

Kedua, ulama juga memiliki pengikut yang militan. Relasi ini biasanya tumbuh dari hubungan guru-murid (kyai-santri). Faktanya, rata-rata ulama memiliki pondok pesantren atau lembaga pendidikan sejenis. Para murid yang belajar di lembaga pendidikan tersebut, biasanya akan menjadi basis konstituen dari setiap pimpinan lembaga pendidikan tersebut. Lebih-lebih wujud dari lembaga tersebut berupa pondok pesantren. Keputusan orang tua menyekolahkan anaknya di sebuah pondok pesantren, biasanya diikuti oleh sikap manut kepada para pemimpin pondok pesantren tersebut. Dalam perspektif masyarakat Madura, ini juga menjadi ekspresi penghormatan terhadap guru. Maka tak heran jika ulama memiliki basis konstituen yang kuat.

Dua fakta di atas (yang kerap dimanfaatkan dalam momentum politik tertentu) seharusnya mampu untuk digunakan dalam upaya menyemai dan menyebarkan prinsip-prinsip Green Islam. Walaupun ini juga berarti, langkah pertama sebagai pondasi awal adalah dengan menggandeng para ulama yang memiliki kesadaran terhadap isu lingkungan. Sebagai misal, di Sumenep ada Kyai Faizi yang memang sudah sejak lama concern dengan isu-isu lingkungan.

Mula-mula perlu ada upaya membentuk kesadaran kolektif di antara para ulama bahwa lingkungan masyarakat di Madura saat ini kian rusak. Sebagai suatu ajaran yang tak lekang oleh zaman, sudah semestinya para ulama mampu mengurai nilai-nilai Islam yang berhubungan dengan pentingnya menjaga lingkungan sebagai bentuk ‘revitalisasi’ Islam dalam problem dan isu-isu terkini.

Ketegasan Pemerintah Daerah

Kemudian yang juga tak kalah penting, segenap upaya ini tentu saja harus bermuara pada desakan kepada pemerintah daerah untuk serius dalam merespons isu-isu lingkungan. Melalui gerakan Green Islam yang dibangun dengan keselarasan orientasi terhadap pentingnya menjaga kelestarian lingkungan antara masyarakat dan ulama, diharapkan pemerintah daerah bisa mendengar dan lebih serius menanggapi isu-isu terkini perihal lingkungan.

Ulama bersama masyarakat harus lebih ‘berisik’ dalam menyuarakan isu ini. Sebab dalam skala yang lebih luas, menghimbau agar masyarakat tak membuang sampah ke sungai, agar bijak menggunakan plastik, agar penggunaan bahan kimiawi di ladang-ladang harus dengan kontrol, memang langkah yang baik. Tetapi jelas itu hanya riak kecil dalam secangkir kopi. Praktik yang paling mengganggu bahkan merusak alam sejatinya lahir dari perusahaan-perusahaan yang sangat gencar mengalihfungsikan lahan untuk kepentingan segelintir orang.

Ada reklamasi, ada deforestasi, serta seabrek inisiasi dari banyak perusahaan yang jelas merugikan warga sekitar. Ini yang harus menjadi perhatian bagi pemerintah dan harus disuarakan oleh gerakan Green Islam. Dan ini pula yang menjadi latar belakang mengapa Green Islam di Madura harus lahir dan merebak, menjadi kesadaran kolektif dari seluruh masyarakat di Madura itu sendiri.

Tentu sudah ada yang memulai. Ada Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA) Sumenep serta Barisan Ajaga Tana Ajaga Nak Poto (BATAN) yang aktif dalam menemani masyarakat melawan praktik industrialisasi kebablasan di Madura. Tetapi jelas itu tak cukup. Isu lingkungan adalah isu bersama. Isu seluruh umat manusia. Dan atas dasar itu, problem lingkungan juga hanya bisa selesai dengan upaya bersama-sama. Sekian.

Wallahu a’lam.