Tiket masuk Borobudur dibanderol 750 ribu. Hah, kok bisa semahal itu? Saya pun terkejut. Pemerintah Jokowi lewat opung Luhut Binsar Pandjaitan mengabarkan keputusan kenaikan tarif tersebut. “Demi menjaga kelestarian kekayaan sejarah dan budaya Nusantara” adalah alasan yang disodorkan oleh opung. Pernyataan tersebut diunggah di akun Instagram milik pribadi opung.
Selain pelestarian, Borobudur pun disebut akan dijadikan situs wisata super prioritas. Dalam maklumat tersebut kesan eksklusif sepertinya dijadikan untuk mendukung tarif mahal yang ditetapkan pemerintah. Berbagai fasilitas pelayanan terintegrasi akan dibuat untuk mendukung kunjungan ke situs rumah ibadah umat tersebut.
Fakta bahwa pariwisata adalah bidang paling digenjot oleh Pemerintahan Jokowi pasca Pandemi tidak dapat dibantah. Lihat saja, aktivitas pak Sandiaga Uno yang sering dibagikan lewat akun Instagram. Dia berkeliling Indonesia untuk memastikan pariwisata dapat menjadi sektor andalan untuk menggerakkan ekonomi pasca Pandemi melanda seluruh dunia.
Apakah kenaikan tarif tersebut terkait atau tidak dengan melecut perekonomian bangsa kita? Saya tidak bisa menjawabnya. Namun, dari perkara ongkos candi Borobudur ini saya melihat terdapat persoalan yang selama ini terkubur dalam terkait rumah ibadah dan situs wisata.
Persoalan kenaikan tarif sebenarnya hanya satu dari kompleksitas ketika rumah ibadah dijadikan tempat wisata. Beberapa situs sejarah (baca:wisata) di Nusantara memang lekat dengan wacana keagamaan, baik sebagai wadah pelaksanaan ritual atau rumah ibadah. Bahkan, wisata religi disebutkan menjadi andalan Indonesia dalam menggerakkan sektor perekonomian pasca Pandemi.
Ada anggapan bahwa situs-situs ritual peribadatan atau tempat ibadah yang dijadikan tujuan wisata dapat menghilangkan sakralitas tempat tersebut. Memang masih perlu penelitian mendalam untuk menguji klaim tersebut, sebab sebagian tradisi yang dilakukan di situs tersebut tetap dipertahankan untuk menjaga “keunikan” dan “nilai” (baca: nilai jual) di dalamnya.
Sebagian ritual malah dijadikan even-even di sebuah daerah sebagai nilai tawar pada wisatawan yang “menjanjikan” devisa. Pertimbangan uang memang sedikit banyak berpengaruh untuk “menjaga”, “melestarikan”, hingga “membangun”. Bagaimana tidak, tempat-tempat tersebut menjadi lebih indah dengan berbagai penataan, penambahan taman dan fasilitas umum, pengaturan transportasi, hingga pemeliharaan.
Apakah semua itu cukup? Jelas tidak. Sebab, kita tidak boleh lupa bahwa Borobudur adalah tempat ibadah umat Buddha, yang selama ini “dikuasai” oleh Negara sebagai situs wisata. Terlebih pasca penetapannya sebagai situs warisan dunia, Negara seakan memiliki legitimasi untuk mengelola penuh candi Borobudur tersebut.
Fungsi Borobudur sebagai tempat ibadah lebih banyak “diabaikan” demi janji manis devisa. Tentu ini juga harus menjadi pertimbangan kita dalam merespon isu kenaikan tarif ini. Jangan sampai keputusan tersebut malah berdampak negatif pada tempat ibadah tersebut. Biasanya pemerintah berpendapat bahwa mereka telah melakukan yang terbaik dengan memberikan peluang kerja dan ekonomi bagi masyarakat sekitar, sekaligus menjaga kelestarian situs tersebut.
Adapun hal yang terlewat dari”janji” pemerintah tersebut adalah memberikan hak Borobudur sebagai tempat ibadah. Ritual ibadah yang dapat dilaksanakan dengan segala aturan dan nilai-nilai di dalamnya, tanpa harus diganggu dengan alasan “tontonan”. Memang, di masyarakat modern, spiritualitas sering kali ditampilkan di ruang publik, dan dibiarkan terjebak dalam “kebanalan” atau kering dari sisi ruhani.
Umat Islam memiliki wisata religi terbesar, yakni Haji. Ongkos visa Haji atau Umrah memang digratiskan oleh Pemerintah Arab Saudi. Namun, kita tidak pernah tahu secara tepat berapa keuntungan ekonomi atau perputaran uang dalam satu musim haji, dari bulan Syawwal hingga Dzulhijjah. Pastinya angka tersebut besar sekali. Bahkan, masa Pandemi yang melarang perjalanan ibadah Haji atau Umrah jelas memukul Arab Saudi dengan keras. Oleh sebab itu, ketika pelonggaran atas berbagai pembatasan, mereka langsung menggenjot perjalanan Umrah yang tetap dilaksanakan di akhir bulan Syawwal ini.
Tarikan ekonomi yang begitu kuat dalam situs wisata religi ini memang jelas rentan “membajak” unsur spiritualitas di dalamnya. Sebab, ritual-ritual tersebut dibiarkan “mengambang” atau terombang-ambing dalam simbol-simbol dan nilai-nilai yang tak jelas.
Ada suara-suara di kalangan warganet yang mengusulkan untuk mengembalikan candi Borobudur pada umat Buddha. Saya melihat sikap ini dapat menjadi pertimbangan bagi para pengambil keputusan di pemerintah. Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa beberapa situs wisata kita sangat terkait dengan ritual keagamaan atau tempat ibadah, jika menilik dari alasan ini tentu pengembalian pada umat Buddha tentu menjadi sangat logis.
Namun, persoalan Borobudur tidak selesai hanya pada penyerahan saja. Ekonomi, identitas kebangsaan, sejarah, kekuasaan, dan nilai spiritual saling berkompetisi dalam situs wisata. Memang, pemerintah lebih “diuntungkan” karena diamanati dalam berbagai peraturan dan sejarah, jadi Borobudur sepertinya sulit untuk kembali ke “pangkuan” umat Buddha.
Walaupun begitu, isu kenaikan tarif tentu saja sulit untuk diterima. Tidak hanya soal mahal, kita juga dihadapkan pada beragam persoalan yang selama ini dikubur dalam-dalam terkait candi yang disebut sebagai terbesar di dunia ini. Tarif mahal juga akan sangat membatasi ruang-ruang yang dapat diakses oleh masyarakat lebih luas, ketimbang hanya kelompok tertentu saja.
Pemerintah seharusnya lebih bijak dalam menilai persoalan Borobudur dan situs wisata religi lainnya. Sebab, mereka seharusnya dapat menengahi berbagai tarikan yang disebutkan di atas, untuk bisa menghadirkan kebaikan bersama. Bukankah itu memang tugas pemerintah? Bukan hanya menarik tiket masuk yang mahal untuk wisata religi.
Fatahallahu alaina futuh al-arifin