Sandiwara politik di balik pelengseran Presiden keempat RI, Abdurrahman Wahid, yang selama ini merupakan “desas-desus” yang akhirnya tersibak. Melalui tangan Virdika Rizky Utama, dokumen bercap confidental itu kini telah kehilangan sifat aslinya. Ia tidak lagi serahasia manakala digubah.
Menyadur penuturan Virdi, dokumen itu ia pinang dari seorang petugas kebersihan yang sedianya berencana mengkilokan, jika tidak membuang, dokumen tentang kongsi para elite melakukan impecahment terhadap Presiden Wahid.
“Ambil saja, Mas, ini juga mau di-kiloin,” kata petugas kebersihan, seperti dikenang Virdi.
Kita mungkin bisa berasumsi bahwa mana mungkin dokumen dari petugas kebersihan dapat dipercaya kesahihannya. Akan tetapi, begitulah kenyataannya. Petugas kebersihan ini bukanlah petugas kebersihan biasa. Ia adalah petugas kebersihan Kantor DPP Partai Golkar.
Dan, pertemuan dengan petugas kebersihan itu berlangsung sewaktu Virdi meliput satu tahun perkembangan renovasi kantor Golkar yang dihadiri Setya Novanto untuk Majalah Gatra medio 2017.
Kelak, dokumen itulah yang mendorong Virdi menulis buku Menjerat Gus Dur yang larisnya minta ampun ini. Terbuki, dalam sehari saja, sejak dilapak lewat medsos buku ini ludes dari pasaran. Kiwari, buku itu sedang dijadwalkan cetak ulang. Seperti bisa diduga, pre-order-nya melampaui ekspektasi. Tapi bukan ini poinnya.
Mendapati dokumen itu, Virdi tidak lantas mengamini. Ia tetap skeptis laiknya seorang jurnalis garis lurus dan seorang berlatar belakang disiplin ilmu sejarah. Ia bahkan menempuh langkah yang terbilang berani: verifikasi, langsung ke sumbernya. Langkah ini telah sesuai dengan apa yang disebut oleh Bill Kovach dan Tom Rosentiel dalam The Elements of Journalism. Kedua wartawan Amerika Serikat itu mengatakan bilamana esensi dari kerja-kerja jurnalis adalah disiplin melakukan verifikasi.
Sepanjang 2018, Virdi menjadwalkan wawancara dengan sejumlah nama tokoh yang tertera dalam dokumen itu. Beberapa sudi bertemu, beberapa lainnya tidak. Dokumen itu, dengan demikian, sulit untuk dikatakan daif.
Yang paling menarik adalah pertemuan dengan Amien Rais, salah satu tokoh selain Megawati yang disebut Presiden Wahid sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas pencopotan Presiden yang akrab disapa Gus Dur ini.
Konon, Virdi nyaris kena damprat Amien Rais, oleh sebab enggan menyebutkan darimana muasal ia mendapat dokumen itu.
“Kamu harus beritahu, kalau tidak ya kamu belum tentu bisa keluar dari rumah ini,” tegas Amien.
Selain Amien, Virdi juga bertemu dengan Akbar Tandjung, satu tokoh yang bisa dibilang sebagai aktor intelektual utama di balik penjatuhan Gus Dur. Jawaban Akbar Tanjung, masih menurut Virdi, terbilang normatif dan cenderung seragam dengan Amien berkenaan dengan pencopotan Gus Dur.
“Pernyataan Gus Dur membuat ketidakstabilan. Sebab itu, banyak yang ingin mundur,” ujarnya.
Bedanya, tidak seperti Amien, Akbar sebatas mengaku awam mengenai dokumen yang ditunjukkan Virdi.
“Saya lupa, dokumen ini ada atau tidak. Mungkin saja ada, mungkin tidak. Kalaupun ada, saya tak terlalu fokus terhadap ini,” terang mantan Ketua Umum Partai Golkar dan mantan pejabat HMI periode 1972-1974 ini.
Selanjutnya, Virdi melawat Fuad Bawazier, selaku pembuat dokumen. Menurut Virdi, kendati jawaban atas alasan jatuhnya Gus Dur sama dengan Amien dan Akbar, Fuad memberi keterangan lebih lanjut, bahwa rapat wait and see penjatuhan Gus Dur pada 22 Juli 2001 dilakukan di rumahnya.
Sementara, di hari yang sama di sebuah rumah dengan halaman hijau, luas, dan penuh taman di bilangan Kebagusan, di selatan Jakarta, terdapat sebuah rapat hampir tiga jam. Mengutip catatan Andreas Harsono dalam Kecepatan, Ketepatan, Perdebatan rumah ini milik Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri. Para tamunya adalah ketua berbagai partai politik.
Usai rapat, demikian tulis Harsono, Megawati menemui puluhan wartawan yang telah menunggu di luar rumahnya. Megawati menyatakan bahwa perteemuan ini berlangsung dalam kapastitasnya selaku ketua umum PDI-P.
Selanjutnya, Mega mempersilakan Amien Rais, ketua umum PAN sekaligus ketua MPR, maupun Akbar Tandjung, ketua partai Golkar sekaligus ketua Parlemen, untuk memberitahu wartawan hasil pertemuan tersebut.
Ternyata di tanggal itu juga, masih dalam catatan Harsono, ada satu peristiwa besar lain yang makan perhatian banyak orang. Saat Amien, Megawati, dan politisi lain berunding di Kebagusan, atau rapat wait and see dalam versi Fuad, dua buah gereja mengalami pengeboman. Bom meledak di Gereja Santa Anna dan satunya lagi di Gereja Batak, keduanya di kawasan timur Jakarta.
Tidak jelas apakah tragedi itu berkelindan dengan apa yang disebut Virdi sebagai salah satu rencana militer untuk menjatuhkan Gus Dur—termaktub dalam buku biografi Djaja Suparman. Yang pasti, pada peristiwa sebelumnya telah terjadi pemboman di beberapa tempat seperti di Kedubes Malaysia, Filipina, Bursa Efek Jakarta, dan yang paling besar adalah bom natal 2000. Dan, semua itu ditargetkan agar masyarakat menganggap bahwa Gus Dur tak bisa menjaga keamanan negara.
Ala kulli hal, seperti ditulis Fuad Bawazier di penutup dokumen rahasia yang tidak lagi rahasia itu, billahi al-taufiq wal hidayah, (hlm.360), petunjuk demi petunjuk Tuhan pun telah semakin terang benderang.
Maka, memang akurat sekali prediksi Gus Dur sewaktu bilang, “Besok-besok akan terbukti sendiri oleh bangsa ini” di sebuah talkshow bersama Andy F Noya beberapa tahun silam.
Bukan tidak mungkin nama Virdi akan melambung. Saya secara iseng menuliskan tiga huruf V-I-R di mesin pencarian Google. Hasilnya? Nama Virdika Rizky Utama berada paling atas. Kemudian saya mengetikan nama saya.
“Maaf, volume pencarian dengan kata ini belum cukup banyak,” kata Google kepada saya. Saya jadi tahu bahwa Google hanya akan menyediakan data ketika banyak orang melakukan pencarian yang sama. Nama Virdi, dengan begitu, adalah nama yang paling dicari belakangan ini.
Akhirnya, seperti kata Agus Mulyadi, salah satu reseller yang kebanjiran order buku Menjerat Gus Dur: mari kita doakan Virdi, dan tak lupa juga petugas kebersihan agar supaya selalu diberi kesehatan dan keamanan. Karena bagaimanapun, mereka adalah bagian dari pelaku sejarah yang, dalam kesadaran orang beragama, pertemuan keduanya itu merupakan salah satu tanda “Superioritas Allah” atas sebuah kongsi kekuatan bernama oligarki.