Jika bangsa Indonesia diibaratkan seorang manusia yang memiliki obsesi berlebih kepada sesuatu barang, maka besar kemungkinan barang itu adalah kursi. Saking berbinarnya obsesi orang pada kursi, para politisi kita bahkan sampai lempar-lemparan kursi. Dengan demikian, rasa ketertarikan bangsa ini kepada kursi rupanya kelewat berlebih ketimbang apapun, sekalipun dibadingkan dengan lawan jenis sekalipun.
Kursi apa?
Kursi apa aja! Dari kursi bakso, kursi bus, kursi pelaminan, kursi kereta, kursi anggota dewan, sampe kursi sofa para pejabat di acara-acara seminar. Bahkan ayat kursi pun menjadi obsesi tersendiri sebagai perlambang senjata atas kuasa supranatural. Puncaknya adalah ketika seorang youtuber Young Lex pernah membuat lirik khusus lagu rap tentang kursi.
‘Ah.. ah.. di sini ada kursi..’
***
Sejak dulu, bangsa ini sudah rela sikut-sikutan bahkan bunuh-bunuhan kalau soal rebutan kursi. Ken Arok membunuh Tunggul Ametung agar menjadi Penguasa di Tumapel. Sudahlah jadi penguasa di Singasari, Ken Arok juga dapat bonus untuk bisa merebut Ken Dedes, mantan istri Tunggul Ametung yang katanya sudah lama ingin pisah dari suaminya. Ulah Ken Arok konon jadi karma bagi para anak cucunya untuk saling bunuh dengan keris legendaris dari Mpu Gandring. Untuk apa? Untuk merebut Kursi Raja!
Sampai sekarang kalau urusan rebutan kursi di pemerintahan, bangsa ini hampir kehilangan citra ramahnya. Ada seorang kawan saya yang mau maju jadi calon kepala daerah. Dalam proses kampanye, entah bagaimana tiba-tiba cuitan yang menjorok-jorok jorok di Twitter bisa tersebar. Padahal cuitan itu dibuat tahun 2006.
Tapi, jangan bandingkan level kedewasaan manusia saat baru lulus SMA adalah sama dengan manusia yang berniat menjadi kepala daerah. Jika Anda bandingkan maka tentu saja kekecewaan yang akan Anda dapatkan, karena kita semua paham bahwa manusia itu berproses. Tapi, jika Anda sudah punya keinginan untuk mengambil kursi, jangankan proses, mungkin anda sendiri pun lupa bahwa anda juga pernah norak.
Selidik punya selidik, yang menyebarkan adalah salah satu dari tim pemenang di kubu kompetitornya. Akhirnya lawan politik dari kawan saya-lah yang bisa menggapai mimpinya menggapai kursi kepala daerah, bersenjatakan sebuah cuitan lawas. Pengalaman kawan saya mungkin adalah salah satu contoh yang masih dikatakan lumayan baik, karena di belahan daerah lain ada juga yang diteror, dihalang-halangi bahkan dilukai supaya tidak bisa mengikuti kontestasi perebutan kursi.
Kursi juga menjadi pembeda antara orang yang berkasta tinggi dengan kasta rakyat jelata apalagi mahasiswa. Di seminar-seminar, entah mengapa kursi bagian depan dihuni oleh pejabat teras yang diberikan sofa empuk lengkap dengan buah-buahan dan snack di meja. Di belakang mahasiswa lapar tidak mendapatkan snack apalagi buah-buahan, duduk di kursi besi kaku bermerk chitose, itupun kalua cukup. Jika acara membludak mereka menciptakan kursinya sendiri dari jaket almamater sampai Tas mereka sendiri. Untunglah status mahasiswa yang terpandang terpelajar tidak sampai membuat mereka berebut kursi dan tetap menghadiri acara sampai selesai. Semuanya adalah demi menuntut ilmu nasib mereka yang dipegang oleh orang-orang di sofa depan.
Diam-diam saya-pun tidak pernah paham dengan sebuah konsep sofa empuk di baris depan di setiap acara lokakarya, sarasehan, bahkan pentas seni sekalipun. Mungkin saja supaya para pejabat teras itu bisa berpikir dengan nyaman mengenai kata sambutan yang akan disampaikan?
Atau biar konsentrasi saat pukul gong?
Dan atas izin dari atas kursi sofa, acara-pun dimulai…
***
Oke lupakan soal pejabat teras, mari kita sejenak mengandaikan kalau anda pengguna setia KRL Commuter Line Jabodetabek apalagi dari daerah Bogor atau Depok yang mangkal tiap hari sekitar jam enam pagi, anda pasti merasakan bagaimana ganasnya orang-orang saat menyerbu ‘kereta balik’ (sebuah istilah yang dipahami oleh anak kereta) yaitu habis trayek ke selatan lalu siap berangkat kembali ke arah kembali ke utara. Kursi-kursi kosong menjadi santapan empuk bagi para an-ker (anak kereta).
Di saat itu anda melihat bagaimana potensi kecepatan dan kekuatan para kaum rebahan dalam mengambil kursi yang kosong. Mereka bisa menggunakan sikut, tas, mulut, kaki, pantat, bahkan kepala sekalipun. Kadang-kadang orang yang cukup pintar berakting suka menjadi orang yang kelihatan lemah agar bisa mendapat simpati dari para pengambil kursi. Sayangnya para pengambil kursi cukup lelah dalam manuvernya, sehingga dalam hitungan sepersekian detik mereka tertidur di atas kursi dan tidak mau menengok sedikit pun.
Lalu orang yang tidak dapat kursi biasanya menjalankan strategi kedua: Lapor ke keamanan gerbong supaya dicarikan kursi.
Jika tidak bisa juga, pakailah strategi ketiga: bersumpah di atas kitab suci bahwa kita betul-betul membutuhkan kursi tersebut karena alasan kesehatan.
Beberapa kali pun saya sering terlibat konflik untuk memperebutkan kursi saat saya sedang ingin makan bakso. Biar bagaimanapun, menguasai kursi lebih banyak merupakan sebuah kenikmatan yang hakiki. Anda bisa menaruh kaki anda yang pegal, menaruh tas yang mungkin lebih mahal dari Honda Beat, atau sekedar supaya anda tidak ingin duduk sebelahan dengan orang tidak dikenal.
Kalau sudah begini, kawan Anda dijadikan alasan:
“Sudah ada yang mau duduk sini mas, lagi otw beliau. maaf ya mas!”
… Dan sampai berita ini diturunkan orang yang otw tidak kunjung datang
KUSIR-pun
teRUSIK
karena
KURSI
(GY, 2015)