Salah satu ilmuwan terbesar dunia di bidang fisika menghembuskan nafas terakhirnya, ia bernama Stephen Hawking dan terkenal dengan teori kuantumnya, wafat di usia 76 tahun. Berita duka bersahut-sahutan di lini masa media sosial. Banyak teman saya di media sosial yang memberi ucapan kehilangan sekaligus mengulas beberapa kutipan menarik yang pernah diucapkannya.
Salah satu ucapan Hawking yang paling kontroversial adalah ketika ia mengomentari agama dan sains. Ia yang terang-terangan menyebut dirinya sebagai ateis mengatakan bahwa sains lebih menjanjikan daripada agama. Pernyataan itu ia tulis dalam karya fenomenalnya berjudul A Brief History of Time.
Pada tahun 2010, di media ABC News, profesor matematika itu memberikan pendapatnya sebagai berikut: “There is a fundamental difference between religion, which is based on authority, (and) science, which is based on observation and reason. Science will win, because it works.”
Hal fundamental yang membedakan antara agama dan sains adalah pada pembuktiannya. Kebenaran agama kebanyakan didasarkan pada doktrin dan pembacaan terhadap teks, sementara kebenaran sains diuji melalui observasi dan argumentasi yang bisa diuji validitasnya. Hawking menyebut sains lebih unggul karena lebih berguna.
Pernyataan ini dianggap sebagai sebuah penghinaan terhadap otoritas agama oleh kebanyakan orang. Namun bagi saya pernyataan Hawking ini justru menjadi otokritik terhadap cara beragama masyarakat pada umumnya. Orang mudah tersulut jika ada provokasi menggunakan dalih agama. Atas nama kebenaran agama, seseorang dengan bangga merusak rumah ibadah agama lain. Dalam konteks ini ucapan Hawking agaknya bisa dibenarkan.
Lalu bagaimana agar agama lebih unggul daripada sains? Pertanyaan ini sebenarnya tidak muncul apabila kita memahami bahwa agama dan sains sebagai hal yang tak terpisahkan.
Jika membaca literatur sejarah, kisah kemajuan umat beragama khususnya Islam terjadi karena sains dan agama berjalan beriringan. Era kejayaan umat Islam dilihat dari banyaknya penemuan dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan.
Dalam bidang kedokteran, misalnya, di saat Eropa masih diselimuti era kegelapan, umat Islam di Isfahan memiliki seorang ahli bedah bernama Ibnu Sina (Avicena). Dengan ilmu pengetahuan, kerajaan Isfahan menjadi mercusuar bagi dunia di masa itu. Agama menjadi sumber inspirasi para ilmuwan untuk menemukan berbagai penemuan yang bisa berguna bagi masyarakat.
Namun agama dianggap sebagai penghambat peradaban manakala agama digunakan semata-mata untuk tujuan kekuasaan. Banyak sekali kisah di masa lalu yang melibatkan persekongkolan agama dengan politik sebagai sumber kehancuran suatu pemerintahan. Agama tidak lagi menginspirasi perkembangan dan kemajuan zaman, namun menjadi sumber kejumudan dengan dalih pemurnian.
Saya setuju dengan kutipan Stephen Hawking di atas apabila yang dimaksud adalah praktik agama yang hanya mengurusi problem individu penganutnya. Misalnya saja agama yang hanya mengomentari perihal cara berpakaian. Apabila mengenakan gaya berpakaian tertentu maka dialah yang lebih berhak atas surga. Sementara tantangan-tantangan zaman terkait astronomi, teknologi, dan lain sebagainya diabaikan.
Yang lebih mengenaskan adalah ketika di suatu daerah ada guru agama yang mengatakan bahwa ilmu agama lebih penting daripada sains atau matematika. Baginya, matematika dan sains bukanlah ilmu agama yang wajib dipelajari. Mungkin mereka tidak mengetahui bahwa algoritma, aljabar, dan banyak teori di matematika ditemukan oleh seorang muslim.
Atau yang dipelajari oleh orang yang memisahkan agama dan sains itu baru sebatas kisah tentang penyerangan raja Abrahah ke kota Makkah dan dihujami bebatuan oleh kawanan burung ababil? Jika iya, maklum saja kalau agama dianggap tidak lebih berguna dari pada sains.