“Terlalu awal bagi awal bagiku dia pergi. Hasrat dia, dia na road tour sampailah ke Indonesia. Dia mengajak menantu dia bawa ke Road Tour. Ia bercakap dalam keadaan sakit kepada menantunya Izah. Jika uncle sehat nih kita akan buat Road Tour ke Indonesia. Sebab peminat dia banyak di Indonesia”.
Kalimat itu diucapkan oleh Julia Bacok, isterinya, mengenang kata terakhir sang suami sebelum malaikat maut menjemputnya. Sebelum meninggal, Saleem mengalami kecelakaan saat mengendarai motor bebek pada 20 September 2018. Motor yang dikendarainya ditabrak oleh mobil yang hendak belok kiri. Akibat kecelakaan itu, 12 tulang rusuknya patah dan ia sempat dirawat intensif di Rumah Sakit selama kurang lebih 24 hari. Impian untuk tampil bertemu dengan para penggemarnya di Indonesia sirna seiring dengan kepergiannya yang begitu mendadak.
Padahal, jauh sebelumnya, Saleem sedang menyiapkan diri untuk bangkit kembali dari sejumlah keterpurukan yang ia alami, baik itu karena persoalan perceraian keluarga, kecanduan obat-obatan, hingga persoalan indisipliner dirinya yang membuatnya kemudian harus keluar dari grup band Iklim pada tahun 1996, di mana ia turut membesarkannya. Akibat peristiwa obat-obatan itu juga, ia sempat di penjara dua kali dan membuat namanya redup dari kancah dunia musik.
Meskipun namanya sempat redup, ia tetaplah legenda yang turut membesarkan industri Musik Malaysia di Indonesia bersama musisi lain sebelum munculnya Siti Nurhaliza dan Sheila Majid kurun waktu 1990-an. Dinamika individu dan karir musiknya, tidak meredupkan distribusi lantunan lagu-lagunya seiring dengan kemunculan industri digital, baik berbayar ataupun gratis, seperti Youtube dan Spotify.
Sampai saat ini, jika kita pergi ke warung-warung makan ataupun tukang cukur modern, dikenal sekarang dengan Barbershop, lagu-lagu Saleem Iklim masih terus menjadi favorit di Indonesia. Di antara judul lagu-lagu yang terkenal itu, misalnya, “Suci Dalam Debu”, ‘Seribu Kali Sayang”, “Hakikat Sebuah Cinta”, dan “Selamat Tinggal Penderitaan”. Karena itu, kabar ini tidak hanya mengagetkan, melainkan juga membuat para penggemarnya di Indonesia dan Malaysia, termasuk saya berduka. Ini karena, setiap lagu yang dinyanyikkan, tidak hanya memberikan sensasi terlibat, melainkan adanya keterlibatan emosi, yang membuat kita terasa hadir di dalamnya.
Tidak banyak musisi yang bisa menggambarkan mengenai suasana hati, baik itu kehilangan ataupun rasanya jatuh cinta. Untuk konteks Asia Tenggara, lebih khusus berbahasa Lingua Franca, Saleem adalah sedikit dari penyanyi yang bisa melantunkan itu. Dengan tarikan suara yang bisa sampai 4 oktaf dengan karakter suara yang serak-basah, ia bisa membangun dramatisasi luka, baik karena kehilangan ditinggalkan kekasih ataupun kehilangan luka akibat pertemuan dengan orang yang pernah disayangi. Ia juga juga bisa menarasikan mengenai keagungan cinta sekaligus mengenai kemarahan atas pengkhinatan.
Saleem bisa berposisi menjadi pujangga ketika bernyanyi mengenai orang yang begitu dicintai seperti dalam lagu “Puteri di Pintu Mahligai” sekaligus menjadi durjana yang dilaknat oleh cinta itu sendiri. Dengan karakter suaranya yang khas dan bisa mengartikulasikan pesan sebuah lagu dengan mantab dan tajam, saya setuju atas apa yang diucapkan oleh Meor Yusof Aziddin (2015), Musisi sekaligus Pencipta Lagu di Malaysia, “Kelebihan Saleem, berilah apa lagu pun, semuanya kena dengan suaranya yang mantap itu”.
Ya, dengan konteks yang berbeda, Saleem ini seperti Adele dan lagu-lagunya, bisa memainkan dan bernyanyi tentang luka dan kehilangan atas orang-orang yang dikasihinya serta bagaimana orang bisa sembuh dari hal tersebut.
Lagu-lagunya Saleem juga yang menemani keseharian saya tumbuh sebagai ABG (Anak Baru Gede) era Orde Baru yang mengenal cinta monyet kepada kakak kelas sewaktu Sekolah Dasar. Kehadiran lagu-lagunya juga yang selalu saya tunggu di Aneka Ria Safari pada hari Minggu jam 10.00 pagi. Jika Aneka Ria Safari hadir, apapun aktivitas akan saya tinggalkan, mulai dari bermain adu ikan cupang, bermain layang-layang, hingga sepeda dengan teman. Tanda acara Aneka Ria Safari telah datang itu sangat mudah untuk diingat, ini karena, semua orang di area tempat saya tinggal, pada tahun 1990-an di Jakarta memiliki televisi.
Dengan pasti, saya ingin mengatakan hampir semua dari mereka pasti menontonnya di tengah ketiadaan program televisi lain selain TVRI. Dengan demikian, ucapan Saleem ingin menyapa penggemarnya di Indonesia bukanlah sekedar membangun kenangan, melainkan juga menumbuhkan identitas masa lalu yang membentuk kenangan itu sendiri bagi banyak orang Indonesia. Meskipun harapan Saleem itu tinggallah menjadi harapan.
Terima kasih Saleem atas sejumlah lagu-lagumu yang mengisi ruang kehidupan saya, dari kecil hingga sekarang tumbuh menjadi lelaki dewasa yang kerap dianggap membosankan, khususnya selera musik yang saya pilih oleh banyak orang.
Selamat jalan Saleem. Seperti lagu terakhirmu, tetaplah menjadi Janggawari, lautan luas yang menghibur semesta Melayu, meskipun engkau harus mengalami “Rasa Kesepian, bagaikan Madah Tak Berperkataan”. Sungguh, dari lagu-lagu yang kamu nyanyikan akan menjadi berkah dan kebaikan sebagai pembuka pintu surga di akhirat kelak.