Innalillahi wa inna ilaihi roji’uun Mas Ir. H. Bondan Gunawan Sastrosudarmo, atau yang saya kenal dengan nama akrab Mas BONDAN, telah dipanggil menghadap Allah swt pada hari ini, Kamis 23 Mei 2019, jam 13,00 WIB di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta.
Kesedihan tak akan pernah cukup bagi kami, khususnya seluruh anak bangsa pecinta demokrasi, yang ditinggalkan beliau. Sosok yang sangat dekat dan setia dengan almaghfurlah KH. Abdurrahman Wahid ini adalah salah sosok seorang pekerja dan pejuang demokrasi TANPA KOMPROMI yang pernah saya kenal, kagumi, akrabi, dan selalu menjadi salah satu sumber kekuatan untuk terus bersemangat.
Pendiri Forum Demokrasi (Fordem) bersama GD (alm), Rahman Tolleng (alm), Marsillam Simanjuntak, dll ini juga seorang pribadi santun, tegas, dermawan, dan luas pergaulan. Tokoh GMNI dan aluni Universitas Gadjahmada Jogjakarta ini juga dekat dengan rakyat kecil, mahasiswa, politisi, dan para cendekiawan di dalam seluruh kehidupan dan kariernya.
Mas Bondan lahir pada 24 April 1948, sama dengan saya sebagai Taurian, di Jogja. Saya mengenal beliau karena diajak alm GD utk ketemu tokoh Marhaenis ini ketika Fordem sedang aktif memerjuangkan kembalinya demokrasi konstitusional di Indonesia, yang saat itu sedang dibawah rezim otoriter Orba.
Dari mas Bondan lah saya kemudian dikenalkan dengan para aktivis dan mahasiswa yang tergabung dalam GMNI dan belajar tentang visi Marhaenis yang dipahami dan dipraktikkan almarhum secara konsisten dan tanpa kompromi.
Berdiskusi dan bercanda dengan Mas Bondan, bagi saya, adalah bukan hanya mengadu nalar, tetapi juga menimba pengalaman dan “Roso”, sebuah spiritualitas yang beliau ambil dari kebudayaan adiluhing Jawa. Komplentasi dan konvergensi antara nalar dan roso itu, menurut saya, yang membuat mas Bondan tehar, tegas, tetapi realistis dan tak pernah tampak kecewa dalam kondisi apapun. Beliau menikmati hidup yang tersedia tetapi selalu siap jika terjadi perubahan sedrastis apapun.
Kesan paling mendalam dalam bergaul dengan para “sesepuh” Fordem adalah kebhinekaan mereka dan kemampuan merayakannya, Mas Bondan dengan latarbelakang budaya Jawa dan Yogya, dengan sangat enteng dan nyaris tanpa masalah merangkul dan merayakan latar budaya pesantren GD, intelektual sosialis alm Rahman Tolleng dan Pak Sillam, dan sebagainya.
Secara pribadi, Mas Bondan juga selalu bersedia melayani tukar pikiran dengan saya yang menurut beliau kadang-kadang terlalu “Barat” alam pikirannya, terkait masalah demokrasi. Semua bisa bertemu dalam sebuah rajut keindahan berupa tujuan utama: Sebuah Indonesia yang demokratis, adil dan beradab. Karenanya, walaupun beliau tak lagi sering jumpa, namun kehangatan perkawanan kami berdua selalu terjaga,
Saya terakhir bertemu beliau saat sowan di rumahnya, entah bulan apa, tetapi tahun 2018. Saya lihat sosok yang selain sehat jasmani juga tetap kritis terhadap situasi negeri. Beberap waktu lalu, sebelum beliau dirawat di RSPAD, saya sempat kirim foto-foto WA kiprah saya di antara mahasiswa GMNI di Solo.
Beliau beri komentar balik: “Kuwi apik, dik. Teruskan saja.” Saya bilang, pertemuan dengan teman-teman mahasiswa GMNI Solo itu mengingatkan apa yg pernah kita berdua lakukan di Jember tahun 1990an, saat ikut mendirikan Koisariat GMNI di IAIN Jember. Mas Bondan tertawa, sambil bilang: “Dhek jaman semana..”
Mas, selamat jalan ya, salam saya untuk Gus Dur dan Bung Rahman Tolleng. Tetap konsisten bikin diskusi seperti biasa. Insya Allah nanti saya akan wawancara inajiner dengan anda bertiga,
ALFATIHAH..
*Bisa juga dibaca di sini