Obituari: Bondan Gunawan dan Jejak Fordem Melawan Soeharto

Obituari: Bondan Gunawan dan Jejak Fordem Melawan Soeharto

Bondan Gunawan adalah tokoh yang melawan Soeharto dan kini berpulang

Obituari: Bondan Gunawan dan Jejak Fordem Melawan Soeharto

“Selamat siang pak Bondan. Saya Virdi, mahasiswa jurusan sejarah UNJ. Saya mau wawancara pak Bondan, untuk skripsi saya yang membahas Forum Demokrasi,” jelas saya.

“Bisa. Bagaimana kalau nanti malam jam 19.00 WIB, di rumah saya di Cempaka Putih. Dekat bukan dengan UNJ?”
***

Percakapan singkat tersebut terjadi pada 26 April 2015 melalui messanger facebook. Suah pasti, hal tersebut akan terus saya kenang dalam hidup saya. Bagaimana tidak, sebagai mahasiswa semester delapan yang sedang menyusun skripsi, saya merasa kebingungan harus menghubungi siapa. Tema penelitian sudah ditetapkan, tapi tak banyak dokumen yang tersedia. Pelaku sejarah masih hidup, tapi saya saat itu tidak punya jejaring ke mereka yang merupakan tokoh-tokoh besar di Indonesia. Salah satunya tentu Pak Bondan Gunawan.

Pak Bondan merupakan tokoh pertama Forum Demokrasi yang saya temui dan bersedia untuk diwawancara. Saya “menemukan” secara acak di facebook. Saya pun coba memulai untuk chat pak Bondan, meski ada keraguan. Pertama, tak akan dibalas. Kedua, akun Pak Bondan merupakan akun palsu atau sudah tak aktif.
Tapi, keraguan saya tak terbukti. Hanya kurang dari satu jam saya memulai percakapan.

Pak Bondan langsung membalas untuk mengajak bertemu malam harinya. Akan tetapi, ajakan pertama itu saya tak bisa penuhi dan meminta Pak Bondan untuk bisa menjadwalkan ulang.
Sikap saya tentu bisa dikatakan sebagai tindakan kurang ajar. Sebab, sudah meminta untuk wawancara, begitu Pak Bondan bersedia, tapi saya malah yang tak bisa menemui pak Bondan. Bukan tanpa sebab saya tak bisa memenuhi ajakan Pak Bondan hari itu, sebab saya baru saja tiba dari Yogyakarta untuk mewawancarai mas Tri Agus Susanto untuk keperluan yang sama.
Beruntung bagi saya, Pak Bondan sangat baik dan bersedia untuk menjadwalkan ulang pertemuan kami.

Pak Bondan meminta saya untuk hadir di kediamannya pada Minggu, 3 Mei 2015 pukul 19.00 WIB. Kali ini, saya tak akan melewatkan kesempatan tersebut. Semua kebutuhan wawancara baik data kliping koran maupun daftar pertanyaan saya susun sebaik mungkin.

3 Mei, kondisi hujan deras sejak sore hari. Saya tak ingin membatalkan dan tak mau pula membuat Pak Bondan kecewa. Oleh sebab itu, saya hanya berharap jika hujan bisa reda sebelum puku 19.00. Harapan saya tak terkabul, tapi saya tetap ke rumah pak Bondan dengan kondisi hujan.

Begitu sampai di rumah Pak Bondan, saya langsung disambut pak Bondan. “Wah, kalau kehujanan tadi mestinya kamu bilang. Nanti kita jadwalkan ulang lagi saja,” kata Pak Bondan mengenakan polo shirt warna putih sambil mengajak saya ke meja makan. “Yasudah makan dulu ya. Biar kamu gak masuk angin, kamu kan kurus,” ledeknya.

Saat itu hanya bisa menjawab dengan senyum tanpa bisa menjawab iya. Saya hanya bisa berbicara dalam hati, “Pak Bondan ternyata humoris juga ya.” Saya masih ingat, lauk yang disediakan itu sayur asam, tahu, tempe, dan ikan goreng, tapi hanya ikan yang tak saya sentuh karena tak doyan.

Saya didesak Pak Bondan untuk makan ikan, “Kamu makan semua, ini sudah disediakan buat kamu. Habiskan ya!”

Setelah makan malam, saya diajak ke ruang tengah. Di sana banyak deretan buku dan sampul besar Majalah Gatra ukuran besar dengan foto Pak Bondan Gunawan.

Saat memulai wawncara saya grogi dan berbicara terbata-bata karena ini kali pertama saya bertemu dengan tokoh besar nasional — seorang mantan menteri di pemerintahan Gus Dur. Lagi-lagi, Pak Bondan dapat dengan mudah mencairkan suasana dan menghilangkan rasa grogi saya.

“Kalau kamu gugup begitu, lebih baik kita bahas pacar kamu saja dulu. Itu pun kalau kamu punya ya,” seloroh Pak Bondan. Kami tertawa lepas. Setelahnya, saya merasa lebih santai. Tak hanya itu, saya merasa dimanusiakan oleh pak Bondan. Padahal, kami baru pertama bertemu.

Saat wawancara, hal yang paling saya ingat dari Pak Bondan tentang Fordem adalah pernyataannya bahwa Fordem hadir karena adanya demokrasi seolah-olah yang dijalankan oleh Soeharto. Hegemoninya begitu besar disegala sector.Oleh sebab itu, intelektual melawan ide dan gagasan Soeharto. Dengan dasar itulah, Fordem hadir dan terus berjalan.

Mengakhiri wawancara, Pak Bondan meminta saya untuk menulis Fordem sebaik mungkin. Sebab, saya dianggap sebagai orang pertama yang meneliti Fordem.

Satu lagi, Pak Bondan berpesan untuk jangan pernah grogi bertemu siapapun. “Kalau kamu grogi, bagaimana nanti bertemu Marsillam. Bisa habis kamu!” katanya sambal tertawa.

Setahun kemudian pada Juli 2016, skripsi saya rampung. Saya membuat janji untuk memberikan skripsi saya kepada Pak Bondan. “Ya datang saja langsung ke rumah,” tulisnya di whatsapp. Begitu saya serahkan skripsi saya, Pak Bondan membaca sebentar.

“Skripsi kamu lumayan tebal juga. Tapi narasinya terlalu Rahman Tolleng dan Marsillam, terlalu Partai Sosialis Indonesia (PSI),” tuturnya. “Tapi ya tidak masalah, karena peran dua orang itu cukup besar di Fordem. Satu hal yang paling penting, kamu sudah menuliskan sejarah Fordem,” sambungnya.

***
Dua tahun kemudian, di awal Mei 2018, saya menyerahkan skripsi Fordem yang sudah saya ubah menjadi sebuah buku. Seperti biasa, saya menghubungi Pak Bondan melalui whatsapp. Saat kami janji untuk bertemu, pak Bondan sedang menyiram tanaman di depan rumahnya.
Namun, kali ini saya melihat perubahan fisik yang cukup signifikan dari Pak Bondan. Jalan pak Bondan terlihat agak bungkuk dan jalannya cukup lambat. Saya pikir hal itu hanya faktor usia dan saya juga tak pernah menanyakan kesehatan Pak Bondan Gunawan. Begitu diajak kembali ke ruang tengah, Pak Bondan terlihat sumringah saat saya memberikan buku untuknya.

“Wah jadi buku ya ini. Kamu orang yang serius juga ya ternyata,” ucapnya. “Terima kasih ya sudah menuliskan ini. Banyak teman-teman saya juga menanyakan buku ini,” lanjut pak Bondan.

Pak Bondan tak memberikan kritik atau masukan sama sekali untuk buku saya. Saya jadi berpikir dua hal. Buku saya dianggap bagus atau buku saya buruk. Sebab, bagus dan buruk perebedaannya hanya tipis, hehe. Setelah itu, kami membahas perjuangan dan pengalaman saya menerbitkan buku. Dari banyak pembicaraan, saya paling ingat satu hal.

“Ya bagus, anak muda harus punya semangat dan tentu juga harus berjuang,” tutur mantan Menteri Sekretaris Negara (Menseneg) ini.

Saya pun menjelaskan kepadanya tentang rencana saya untuk menulis kembali tentang Gus Dur dan ingin kembali mewawancarai Pak Bondan. Sayangnya itu tak terlaksana, saat saya pada tahap akan mewawancarai pelaku sejarah. Saya mendapat kabar pada 29 Maret bahwa Pak Bondan dirawat di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD), Jakarta. Pada saat yang sama, saya pun sedang menjaga Ayah saya yang dirawat dengan Pak Bondan, di rumah sakit yang sama dan ddengan penyakit yang sama yakni stroke.

30 Maret 2019, saya dua kali berkunjung ke ruang Pak Bondan. Saat itu, saya merasa kehilangan rasa semangat dan humor yang biasa Pak Bondan sering lontarkan kepada saya. Hingga akhirnya, pada 23 Mei 2019 saya mendapat kabar bahwa Pak Bondan meninggal dunia. Ini sungguh momen emosional, sebab saya tak bisa menyelawat ke rumah pak Bondan.
Kendati Pak Bondan sudah berpulang, saya tak akan pernah melupakan kebaikannya. Saya belajar tentang kesederahanaan, selalu bersemangat, dan rendah hati pada siapapun.

Sekali lagi, terima kasih banyak Pak Bondan. Mungkin batu nisan pisahkan dunia kita, tapi kebaikan dan semangatmu kan ku jaga selalu membara.