Obituari: Mansyur Al Farisi alias Pacun, Sang Penghubung dari Pinggiran Seperti Kata Malcolm Galdwell

Obituari: Mansyur Al Farisi alias Pacun, Sang Penghubung dari Pinggiran Seperti Kata Malcolm Galdwell

Obituari: Mansyur Al Farisi alias Pacun, Sang Penghubung dari Pinggiran Seperti Kata Malcolm Galdwell

Entah mengapa saya menangis saat tubuhnya terkapar dan dibopong teman-teman menuju sebuah tempat yang saya lupa di mana persisnya. Pokoknya dibopong keluar dari lantai dua sebuah bangunan di sebrang kampus IAIN Ciputat, tempat berlangsungnya pemilihan Ketua Umum PMII Ciputat. Mungkin tahun 1999.

Tubuh gempalnya tak bergerak. Ia juga tak lagi bersuara setelah sebelumnya meringis kesakitan.

Saya berpikir jangan-jangan itu pertemuan terakhir kami. Saya gerak-gerakkan badannya. “Cun, Facun…!” teriak saya.

Ia tak bereaksi. Ia baru tersadar ketika tak lama dibaringkan di tempat tujuan.

Belakangan baru saya tahu itu hanyalah drama yang dibuatnya. Suasana memanas. Tiba-tiba seorang pendukung calon yang bukan calon yang kami dukung menghampiri Facun yang sedang berdebat. Mereka bersautan sebentar lalu pendukung itu menendang Facun. Ia meringis lalu roboh ke tanah. Sidang terhenti.

Dalam perjalanan hidup, ia salah seorang sahabat terdekat saya.

Seperti pandangan orang lain yang pernah berteman atau berinteraksi, saya mengenalnya sebagai manusia yang tulus, menyenangkan, humoris, tapi bisa sangat murka pada hal-hal yang sangat prinsipil.

Saya pernah melihatnya mengajak berkelahi orang yang tingginya melampaui kepalanya. Ia manusia yang sangat peduli pada teman.

Hampir tiga tahun kami hidup bersama sebagai mahasiswa. Pernah tinggal sekamar, makan tepat waktu dan tidak tepat waktu karena alasan tak punya uang atau sibuk, berorganisasi, keluyuran.

Ia tahu keburukan saya, dan saya banyak tahu kebaikannya. Seperti yang pernah saya ceritakan, pernah kami mengamen bersama, pengalaman yang indah untuk kami kenang. Dan ia sering menceritakannya berkali-kali.

Seharusnya kami sebangku saat kuliah. Tapi, ia jadi adik kelas setahun.

“Saya harus jualan dan bekerja,” katanya.

Sebagai anak pertama ia tampak bertanggung jawab untuk menjadi payung bagi tiga adiknya. Saya tahu sebab rumah orang tuanya di Sawangan Depok selalu menjadi tempat yang selalu terbuka untuk saya tinggali.

Ia punya perhatian pada orang-orang yang kurang beruntung. Dan itu tak luntur waktu. Hingga sekarang ia masih mendampingi komunitas-komunitas pinggiran, dari pengamen jalanan, anak punk, hingga minoritas agama atau keyakinan.

Pada 1998, ia memperkenalkan saya dengan anak-anak jalanan.

Kami bolak-balik ke Kebon Nanas Tangerang atau Pasar Minggu, dua lokasi komunitas anak jalanan yang didampingi. Ia tahu kisah anak-anak yang didampinginya. Waktu itu kami pengurus Komisariat PMII Fakultas Dakwah. Pendampingan ini jadi salah satu program organisasi dan terus berjalan hingga sekarang. Itu warisannya.

Seperti perhatiannya, kebaikan dan ketulusannya juga tak lekang. Dibagikannya kepada siapapun yang dia kenal. Bisa dikatakan, ia bukan hanya milik keluarganya. Ia milik banyak orang. Temannya di mana-mana dan sebagiannya sangat menghormatinya, bukan karena jabatannya, tapi karena kebaikannya.

Saya kira, ia jenis manusia “penghubung” yang dimaksud Malcom Gladwell dalam Tipping Point.

Saya tak tahu berapa banyak kader yang mendapat bimbingannya dan orang-orang di atasnya yang dibantunya. Kekuatannya ada pada kemampuan membangun silaturrahmi.

Siang tadi suara saya mulai tercekat ketika bersalaman dengan Emak yang duduk di bangku plastik menghadap Jenazah Facun, putera pertamanya. Karena ia tampak tegar, saya jadi bersedih. Padahal saya tahu betapa besar kekaguman dan kecintaannya pada Facun. Saya ingat Emak saya yang tiba-tiba ambruk di hadapan jenazah kakak saya.

Apa yang ia lakukan selama hidup tergambar dari manusia yang datang di hari kematiannya. Banyak orang yang datang, dari yang usianya jauh lebih muda atau lebih tua. Laki-laki perempuan. Beragam profesi. Kenangan-kenangan baik dibicarakan.

Setelah shalat jenazah, saya melihat lagi wajahnya yang akrab dan hangat. Di atas tangannya yang sudah dibalut kain, tertulis nama: Mansur Alfarisy. Kamis kemarin kami masih bicara saat ia di rumah sakit di Depok.

Vina, istrinya mengubungi telpon genggam Noviyana dan mengajak saya untuk membujuk agar ia mau pasang ring di tubuhnya.

Setelah berbasa-basi, saya bertanya,”Kenapa belum mau pasang ring?” Tanya saya. “Kan untuk sembuh tidak harus pasang ring,” elaknya sambil cengengesan.

Itu percakapan terakhir kami …