Laki-laki gendut itu, sangat gendut, dengan berjalan menyeret menghampiri Minke. Pun, dengan sigap, Minke memberi penghormatan dan mengucap salam dalam Bahasa Belanda yang sangat sopan.
Tak diduga, laki-laki itu membalas dengan hardikan:
“Siapa kasih kowe datang kemari, monyet..!, Kowe kira, kalo sudah pake pakaian Eropa, bersama orang Eropa, bisa sedikit bahasa Belanda, lantas jadi Eropa? Tetap monyet”
Sontak, secepat kilat, seorang perempuan paruh baya bangkit dari duduknya. Dengan nada tegas meninggi ia membentak :
“Tutup mulutmu.! Ia tamuku. Eropa gila sama dengan pribumi gila. Tak ada hak apa-apa kau di rumah’ ini. Kau tahu mana kamarmu sendiri”
Perempuan itu menunjuk ke arah sebuah kamar.
Sepenggal dialog di atas saya kutip dari novel Bumi Manusia, karya Pramoedya Ananta Toer. Dialog antara Nyai Ontosoroh dengan Herman Mellena, laki-laki Belanda berhidung mancung yang “membelinya” untuk menjadi gundik.
Pram, menggambarkan Nyai Ontosoroh secara unik. Perempuan bernama asli Sanikem itu dijual bapaknya kepada Tuan Mellena sebagai barter agar bisa naik jabatan. Di usia yang masih muda, 15 tahun, kembang desa itu, yang banyak ditaksir laki-laki harus menyerahkan keperawanannya pada Tuan Belanda, menjadi gundik Herman Mellena.
Namun, Ontosoroh bukan gundik sembarang gundik, bukan Nyai sembarang Nyai. Sebelum Tuan Mellena menjadi “gila”, ia mengajari Nyai Ontosoroh banyak hal. Bahasa Belanda, etika, cara berpakaian, cara bersolek, sampai cara mengelola sebuah perusahaan. Tuan Mellena membanjiri Nyai Ontosoroh dengan buku-buku dan majalah bermutu. Lambat laun, Nyai Ontosoroh tumbuh menjadi perempuan pribumi dengan pengetahuan setara perempuan Eropa, bahkan lebih. Nyai Ontosoroh, bahkan, mampu secara mandiri mengelola perusahaan besar.
Namun, dengan kapasitas pengetahuan dan kemandirian seperti itu, sejatinya Nyai Ontosoroh adalah perempuan yang gelisah. Magda Pieters, guru Minke menyebutnya dengan istilah “perempuan berhati majemuk”.
Adalah benar Nyai Ontosoroh perempuan berkarakter kuat, berpengetahuan luas, dan mandiri, namun ia pendendam. “Ia perempuan yang belum sanggup berdamai dengan keadaan,” ujar Magda Pieters pada Minke.
Nyai Ontosoroh mendendam pada bapaknya, pada ibunya, pada keluarganya; yang membiarkan dia sendirian bertarung menjadi gundik. Dan, kemudian, Nyai Ontosoroh juga dendam pada Tuan Mellena yang tiba-tiba berubah menjadi kasar dan dingin, semenjak kedatangan anaknya yang sah dari istri yang sah.
Pendek kata, di balik karakter dan kapasitasnya sebagai perempuan modern, Nyai Ontosoroh menyimpan dendam kesumat pada masa lalunya, pada bapaknya, pada Tuan Mellena.
Ada begitu banyak kemarahan, dendam, dan kegelisahan di hati Nyai Ontosoroh. Ia belum selesai dengan dirinya sendiri. Ia tampak kuat namun sejatinya rapuh.
Nyai Ontosoroh adalah cermin dari perempuan yang ditindas kuasa patriarki yang melawan kuasa itu dengan dendam dan kemarahan terpendam. Di titik ini, Pram menyadarkan pada kita bahwa jangan sekali-kali menjamah hati perempuan dengan kekerasan, caci-maki, atau cara-cara kasar. Perempuan akan menyimpannya dengan begitu banyak kemarahan terpendam. Dan, ketika perempuan sudah marah, apalagi kemarahan yang terpendam, dunia menjadi layu.
Memperlakukan perempuan dengan cara kasar sama saja menghancurkan dunia dan semesta. Oscar Wilde benar bahwa yang dirindukan perempuan dari laki-laki adalah pengertian, perempuan rindu untuk dimengerti, tidak lebih dari itu. Sebuah kerinduan yang sederhana tapi kebanyakan laki-laki tidak mengerti.
Nyai Ontosoroh menjadi perempuan berhati majemuk karena tidak ada laki-laki yang mau mengerti dia. Ia menjadi perempuan yang keras pada dunia. Ia menjadi perempuan pendendam yang gagal menafsir makna-makna.