Kita bisa meminjam Noam Chomsky untuk melihat fenomena keumatan yang terjadi. Apalagi, sekarang ini, media sosial dianggap sebagai salah satu arus utama informasi dan berhadapan dengan media mainstream seperti koran, televisi, dan lain-lain yang harus bisa bertransformasi untuk bersaing memberikan informasi yang akurat dan akuntabel. Lalu, muncul persoalan keberpihakan media, terutama televisi, menjadi mencuat akhir-akhir ini. Apa pasal? Minimnya media televisi yang meliput Reuni aksi 212 kemarin. Bahkan, salah satu kandidat presiden “memarahi” awak media yang sedang menanyainya di tengah agenda politiknya, karena sedikitnya media yang turun di acara tersebut untuk meliput.
Berbagai komentar pun meluncur deras di media sosial yang memperbincangkan persoalan minimnya liputan ini, baik dari kubu yang mendukung aksi tersebut bahkan yang tidak mendukung pun turut berkomentar.
Saya tidak akan masuk dalam persoalan ini, karena rentan terjebak dalam persoalan politik praktis, yang saat ini cenderung untuk membuat pergaulan menjadi terpolarisasi. Oleh karena itu, tulisan ini akan lebih fokus melihat bagaimana kelindan antara Islam, media, persoalan keumatan.
Media, dalam kajian politik modern, dianggap sebagai salah satu tiang dari demokrasi. Oleh sebab itu, keterlibatannya dalam dunia politik sudah seharusnya memberikan peran yang membangun dunia yang lebih baik. Namun, peran media hingga sekarang terus menerus dipertanyakan atas kehadirannya di tengah pemodal dan kekuasaan.
Noam Chomsky, filsuf asal Amerika Serikat, pernah menuliskan wacana soal media. Dalam pengalamannya di Amerika Serikat, Chomsky melihat media, tak peduli apakah mereka “liberal” atau “konservatif”, sudah dikuasai oleh korporasi raksasa yang dimiliki oleh dan berjejaring dengan para konglomerat yang bahkan lebih besar lagi. Sehingga, Chomsky menambahkan bahwa tugas media adalah menjual produk pada pasar.
Yang berperan sebagai pasar dalam media adalah para pengiklan, sedangkan produknya adalah audiens. Sehingga, tidaklah sesuatu yang mengherankan bila dunia yang ditampilkan adalah refleksi dari kepentingan yang sempit dan bias, serta mengakomodasi nilai-nilai yang dipegang oleh para penjual, pembeli dan produk itu sendiri.
Dari fondasi inilah, Chomsky melihat media sebagai mesin dari sistem doktrinal yang lebih besar. Dari sistem inilah yang menghasilkan apa yang kita sebut dengan “propaganda”, yang akan menyasar pada dua target sekaligus secara bersamaan. Pertama, “Kelas Politis”, sekitar 20% dari populasi yang relative terdidik dan memainkan peran dalam pengambilan keputusan. Peran mereka terhadap doktrin sangat krusial lantaran mereka berada dalam posisi untuk merancang dan mengimplementasikan kebijakan.
Kedua, ada 80% sisa adalah mereka yang disebut sebagai “penonton aksi” atau “kawanan yang terpesona”. Mereka inilah yang akan mengikuti tatanan dan doktrin yang dibuat oleh media. Sistem doktrinal kemudian menanamkan nilai sosial dasar pada dua kelas ini, yaitu kepasifan, ketertundukan pada otoritas, kurangnya perhatian atau empati kepada orang lain, ketakutan pada musuh yang nyata maupun yang tidak nyata, dan lain-lain.
Tujuan dari sistem ini jelas, yakni untuk menjaga agar kawanan yang terpesona itu tetap terpesona. Keterpesonaan yang dibuat oleh media dalam sistem doktrinal ini, dibikin dari cerminan dunia atau “hasil rangkaian realitas”. Produk dari media, bukan “jendela dunia” yang langsung, melainkan representasi yang terseleksi dan terkonstruksi yang menjadi bagian dan turut membentuk “realitas.
Di sinilah peran “kekuasaan” dalam mengkonstruksi pengetahuan dari realitas yang dikonsumsi oleh masyarakat, yang disebut sebagai “kawanan yang terpesona” tersebut.
Kekuasaan yang dipahami dalam masalah ini, bukanlah seperti kebanyakan orang yang memandang bahwa kekuasaan adalah pemerintah atau pemilik modal saja, sebagaimana dijelaskan oleh Chomsky di atas.
Tapi, kekuasaan di sini adalah sebagaimana dijelaskan oleh Michel Foucault yaitu kekuasaan yang selalu terartikulasi lewat pengetahuan, dan pengetahuan selalu punya efek kuasa. Setiap kekuasaan, bagi Foucault, adalah sesuatu yang disusun, dimapankan, dan diwujudkan dan wacana tertentu. Efek dari bentu kekuasaan seperti ini adalah kebenaran tidak lagi dipahami sebagai sesuatu yang datang dari langit, bukan juga konsep yang abstrak. Akan tetapi, ia diproduksi atau dikonstruksi. Sehingga, melalui konstruksi kebenaran inilah khalayak terus digiring untuk mengikuti kebenaran tersebut, inilah sejalan dengan apa yang disebut oleh Chomsky sebagai keterpesonaan.
Persoalan kebenaran inilah yang seharusnya dipahami oleh umat Islam sekarang ini, umat Islam sudah seharusnya menjadi pengkonsumsi aktif pada informasi yang disajikan media. Sebab, dalam kajian Hermeneutika, antara teks dan pembaca adalah hubungan yang interaktif, di mana pembaca selalu mendekati teks dengan harapan dan antisipasi-antisipasi tertentu yang mengalami modifikasi dalam perjalanan membaca dan akan digantikan oleh “proyeksi-proyeksi” baru.
Di sinilah proses menjadi penikmat aktif atau konsumen aktif dalam akses informasi yang berlimpah harus dimulai, karena konsumen informasi tersebut bukanlah massa homogen yang merupakan kumpulan individu yang saling terisolasi.
Umat Islam seharusnya bisa menjadi pencipta makna yang aktif dalam hubungannya dengan arus informasi, bukan menerima informasi dengan fasif begitu saja. Informasi adalah pembawa beragam makna, cuma sebagian yang diterima oleh umat.
Jadi umat harus memiliki dua kemampuan agar tidak terjebak pada posisi “umat terpesona” yang semakin terpesona. Yaitu, kemampuan untuk membedakan antara fiksi dan realitas, dan memahami proses konstruksi makna dan tempat di mana informasi tersebut tumbuh. Agar bisa memahami mengapa informasi tersebut bisa berbeda-beda dan bijak melihat perbedaan tersebut.
Di sinilah peran umat dalam mengkonstruksi informasinya sendiri untuk bisa menghindarkannya menjadi umat yang terpesona saat disodori banyak informasi, bahkan melimpah. Sehingga, umat tidak akan mudah terjebak pada informasi yang disodori oleh mereka yang mengkonstruksi informasi untuk kepentingan mereka sendiri, karena itu umat harus memahami bahwa yang sadar akan nilai-nilai kemanusiaanlah yang akan berhasil menghindari keterpesonaan dari media yang tidak independen.
Di tengah kesemerawutan inilah, nilai-nilai kemanusiaan harus menjadi panglima. Sebab, sebagaimana Gus Dur pernah berpesan “tidak ada yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan”
Fatahallahu alaihi futuh al-arifin
#HBDNoamchomsky #BulanGusDur #HaulGusDur9