Saya tak terlalu percaya dengan gagasan mengatasi kasus-kasus intoleransi, seperti pemotongan nisan kayu salib di sebuah kuburan di Yogyakarta, hanya bisa memilih dari dua arah ini. Masyarakat lewat gerakan sosial-kebudayaan atau negara lewat kebijakan dan regulasi. Keduanya seperti dua sisi mata uang.
Bahkan, pendekatan mencari solusi atas gejala dunia harus dipatok dengan prinsip “pendekatan beragam”, tergantung masalah yang dihadapi. Bisa pula mencoba cara-cara baru seperti orang tengah menguji sesuatu di laboratorium. Bisa gagal, bisa berhasil.
Misalnya saja penangkapan pejabat yang tak peduli pada pelanggaran KBB jangan-jangan bisa sedikit terurai dengan tangan KPK. Penangkapan Menteri Agama Suryadarma Ali setidaknya mengurangi diskriminasi atas Ahmadiyah atau kelompok-kelompok minoritas. Atau ditangkapnya kepala-kepala daerah yang hobi membuat aturan keagamaan bisa membuat kasus diskriminasi berkurang. Tapi, penangkapan hanya satu cara. Masalahnya, budaya korupsi masih mewabah dan juga harus diatasi dengan budaya anti korupsi.
Peningkatan intoleransi di Yogya adalah akumulasi dari kompleksitas relasi keduanya. Kasus-kasus intoleransi yang terjadi dalam lima-emam tahun belakangan di kota dengan gelar Kota Toleran ini menunjukan bahwa pemerintah, termasuk tingkat provinsi, tak banyak mengambil langkah serius dan terarah. Sementara kelompok-kelompok intoleran terus bertumbuh di tengah perkembangan kelompok moderat di kota itu.
Apakah kota ini makin intoleran atau sebetulnya fenomena makin beraninya kelompok-kelompok yang sebelumnya memang konservatif dan intoleran, sedang pemerintah membiarkannya?