Musim gugur lalu, ketika sedang melakukan perjalanan selama liburan sekolah anak-anak, kami sekalian mampir berziarah ke kedua lokasi nisan muslim kuno Jerman. Walau tidak berdekatan, keduanya kami lewati selama perjalanan.
Baca juga: Islam di Jerman: Masalah yang Menghambat Integrasi Muslim di Jerman
Berabad lamanya, antara abad 8 – 10 masehi, kaum muslimin melakukan berbagai kampanye militer di berbagai tempat di Eropa. Utamanya di Mediterania. Di Pulau Sisilia, Korsika, Sardinia, Riviera Perancis, Italia, dari lembah Rhone menerobos hingga Swiss. Serangan hebat muslim terakhir datang dari arah timur. Konstantinopel (Istanbul) jatuh ke tangan Turki Usmani tahun 1453. Sementara itu, wilayah Jerman moderen hampir tak bersentuhan langsung dengan orang Islam. Kecuali saat Kaisar Frederick I Barbarossa menerima utusan Sultan Saladin berbulan lamanya antara tahun 1173-1174.
Salah satu waktu penting pertemuan orang Jerman dengan muslim saat itu adalah dalam peristiwa peperangan. Mereka berperang ke arah barat berhadapan dengan muslim Spanyol, hingga reconquista, momen tentara Spanyol dan Portugis merebut kembali Semenanjung Iberia sepenuhnya tahun 1492. Berabad Perang Salib terjadi, tidak sedikit ksatria Jerman berbondong-bondong menuju Yerusalem. Kaisar Frederick I Barbarossa wafat tahun 1190 di Sungai Saleph, Turki dalam perjalanan menuju Yerusalem, kota suci yang tengah dalam genggaman Sultan Saladin.
Setelah menguasai Konstantinopel, Turki Usmani melanjutkan operasi militer ke barat. Menguasai Semenanjung Balkan, dan menggedor keras pertahanan Eropa Barat melalui Kerajaan Habsburg Austria. Antara abad 16 – 18, peperangan sering terjadi di antara keduanya. Austria mendapatkan bala bantuan dari kerajaan tetangga. Termasuk dari Jerman. Dari peperangan tersebut, sejumlah tawanan perang muslim dari tentara Turki Usmani sampai ke tanah Jerman.
Nasib para tawanan perang muslim berbeda-beda. Ada yang bisa memerdekakan diri atau dimerdekakan pemiliknya, lalu kembali ke wilayah Turki Usmani. Ada yang menjadi pelayan kaum ningrat Jerman, dibaptis. Ada yang menjadi pelayan dan diperbolehkan tetap memeluk Islam. Ada yang bebas, memeluk agama Kristen, bahkan meningkat status sosialnya, meraih gelar kebangsawanan. Dari yang meninggal dalam keadaan muslim ini, masih bisa kita temukan jejaknya, dalam bentuk nisan-nisan kuno. Terdapat setidaknya dua kota dimana kita bisa menemukan nisan muslim kuno: Lemgo dan Hannover.
Batu Nisan Mustafa
Selama peperangan antara Austria dan Turki Usmani, tidak hanya prajurit lelaki dewasa menjadi tawanan, wanita dan anak-anak juga. Zaman itu, peperangan bisa berlangsung berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun lamanya. Para prajurit ke medan perang diikuti oleh keluarganya.
Seorang anak muslim Turki Usmani ikut tertawan, dibawa oleh para serdadu ke Jerman. Mustafa namanya. Batu nisannya berada di desa Brake, kota Lemgo, negara bagian Nordrhein-Westfalen.
Lemgo sebuah kota kecil berpenduduk sekitar 41 ribu jiwa. Kota tuanya tidak hancur selama perang dunia. Sehingga kita bisa menyaksikan bangunan-bangunan antik berhias kayu bercat warna-warni. Wilayah khusus pedestrian berada di antara bangunan kuno. Jalannya lebar dan relatif sepi.
Desa Brake berjarak sekitar 2,5 km dari pusat Lemgo. Nisan Mustafa berada di pelataran Gereja Prostestan Brake. Jalan ke arah gereja tidak terlalu lebar. Kami sempat salah membelokkan kendaraan, sehingga harus memutar di pertigaan berikutnya. Untung di seberang gereja kami bisa memarkir kendaraan.
Suasana gereja dan sekitarnya siang itu, di suatu hari Sabtu, sedang sepi. Hanya kami pengunjungnya. Gereja desa itu lumayan besar, sekelilingnya berpagar metal tidak terlalu tinggi. gerbang pagarnya sedang terbuka. Kami masuk ke halaman. Fasad luar gereja didominasi warna putih, atapnya hitam. Halamannya ditanami beberapa pohon. Banyak batu nisan kuno tersebar di berbagai tempat di halaman gereja yang didesain mirip taman.
Mustafa adalah seorang anak kecil, meninggal tahun 1689. Ceritanya, di tahun 1686, ia terpisah dari ibunya di Budapest. Sebagai tawanan, Mustafa hidup berpindah-pindah dari satu keluarga ke keluarga lainnya di Jerman. Bermula hidup di Munich, Kassel, Paderborn, hingga tinggal bersama sebuah keluarga berada di Brake, Lemgo. Mustafa kecil disukai oleh anak-anak dan warga Brake. Yang ia ingat tentang keluarganya adalah bahwa bapaknya bernama Hussein. Mustafa sakit keras, meninggal di usia 6 tahun. Keluarga angkatnya yang berpunya memahatkan sebuah nisan batu untuknya.
Baca juga: Jerman dalam Surat Al Baqarah Ayat 249
Keberadaan makam asli Mustafa tidak diketahui pasti. Sebagai non-Kristen, ia dimakamkan di luar kompleks pemakaman gereja. Batu nisannya baru ditemukan lagi ketika sebuah renovasi dilakukan di gereja tahun 1971. Dipasang di tempatnya sekarang. Batu nisan Mustafa menjadi benda cagar budaya setempat. Terletak di dekat salah satu tembok gereja. Tepat di seberang gereja kami melihat sebuah masjid kecil. Sayangnya sedang tutup. Mungkin sebab pandemi.
Nisan Prajurit Usmani di Hannover
Dua nisan yang tingginya nyaris sama berdiri berjejer di sebuah kuburan tua Neustaedter Friedhof di pinggiran Hannover. Berbeda dengan nisan kuno lainnya, antara keduanya dipasang plakat peringatan, ditulis dalam bahasa Jerman dan Turki. Menandakan keduanya bukan batu nisan kebanyakan.
Kami berziarah mengunjungi kedua nisa tersebut setelah setengah harian berjalan kaki di jantung Hannover. Ibukota negara bagian Niedersachsen di Jerman. Di kota ini, salah satu ningrat zaman dahulu dari Dinasti Hannover, Ernst August menjadi salah satu pemilih kaisar Alter Reich, Kerajaan Jerman Kuno. Seorang keturunan Dinasti Hannover, Georg Ludwig, pernah dinobatkan sebagai Raja Inggris, bergelar Georg I. Dinasti Hannover masih bersambung hingga kini. Dipimpin oleh Ernst August von Hannover, suami Putri Caroline dari Monaco.
Kota Hannover menyenangkan untuk dikunjungi. Ia masih memiliki deretan rumah tua dan gedung klasik. Salah satu yang menurut saya menawan adalah Balai Kota barunya. Konstruksi yang diinaugurasi tahun 1913 ini lebih mirip sebuah istana dibanding gedung perkantoran. Bagian belakangnya malah kolam luas dikelilingi pohon rindang. Bagus sebagai latar swafoto.
Kompleks Pemakaman Neustaedter Friedhof bersebelahan dengan apartemen penduduk lokal. Ia tidak membangun makam baru lagi. Bentuknya mirip sebuah taman rindang. Terhampar jalan setapak di tamannya, banyak pejalan kaki lewat sini. Sekitarnya tidak berpagar. Nisan-nisan tua tersebar di beberapa bagian lahan berselimut rumput. Terbuat dari lempengan batuan alam yang tingginya bisa mencapai 2 meteran.
Untung tidak susah menemukan kedua nisan yang kami tuju. Oleh penduduk lokal kedua nisan muslim setinggi kira-kira 1,5 meter ini dikenal sebagai Batu Nisan Hammet dan Hasan. Hammet tertawan tahun 1683 di Berkan, utara Budapest. Dalam peristiwa Pengepungan Wina kedua, dimana Dinasti Hannover ikut mengirimkan pasukan. Bersama tawanan lainnya, ia dibawa ke Hannover. Dipekerjakan sebagai lakai (pembantu) di Kediaman Ratu Sophie. Lakai tawanan perang asal Turki Usmani merupakan simbol status sosial keluarga bangsawan Jerman di masa itu. Kabarnya 10-20 lakai tawanan perang hidup bersama keluarga ningrat Hannover di tahun-tahun tersebut.
Berbeda dengan banyak tawanan lainnya, Hammet tetap menjadi seorang muslim hingga meninggal dunia tahun 1691. Batu nisannya berukir kalimat dalam bahasa Jerman lama. Dari dokumen foto kuno bertahun 1930, diketahui bahwa nisan Hammet memiliki dua bagian, kaki dan kepala. Sudut kanan makam menghadap ke arah Mekkah. Nisan bagian kepala yang hilang, berukir tulisan Arab. Nisan satu lagi, diketahui milik seorang bernama Hasan. Tidak ada keterangan lebih lanjut mengenai Hasan, sebab nisannya polosan.
Keberadaan nisan-nisan muslim kuno ini menurut saya patut disyukuri. Bahwa di masa itu, ada bangsawan menunjukkan sifat toleransi. Syukur juga benda-benda cagar budaya ini selamat dari dua perang dunia, bahkan dilindungi keberadaannya oleh pemerintah setempat. Bisa jadi jumlahnya lebih banyak dari itu, namun sebagian rusak, hilang, atau hancur, atau belum ditemukan. Setidaknya, kita bisa mengambil pelajaran dari yang tersisa. (AN)