Dalam salah satu hadis dinyatakan bahwa Rasulullah Saw memerintahkan para sahabatnya untuk memanjangkan jenggot dan memotong kumis. Rasulullah Saw bersabda:
خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ، أَحْفُوا الشَّوَارِبَ وَأَوْفُوا اللِّحَى
“Berbedalah dengan orang-orang musyrik. Potong pendeklah kumis kalian dan panjangkanlah jenggot.” (HR. Muslim 54).
Hadis di atas disampaikan Rasulullah dalam kapasitasnya sebagai pemimpin politik (manshab al-imamah) yang sedang melakukan perlawanan terhadap orang-orang musyrik Makkah yang bertindak zalim kepada Rasulullah Saw dan sahabatnya serta mengeksploitasi manusia melalui perbudakan.
Menurut para pakar teori hukum Islam atau ushuliyyun seperti pakar fikih dalam madzhab Maliki, Qadli ‘Iyadl (w. 544 H) dan ulama lain dalam madzhab Hanafi, hadis atau sunnah Rasulullah dapat dijadikan sumber hukum Islam apabila disampaikan dalam kapasitasnya sebagai pemimpin agama atau nabi (manshab an-nubuwwah). Jika hadis disampaikan Rasulullah dalam kapasitasnya sebagai pemimpin politik (manshab al-imamah) atau orang yang menjalankan adat istiadat masyarakat Arab maka harus dipahami secara kontekstual, yakni dapat berubah seiring dengan perubahan faktor-faktor yang melatari. (‘Iyadl, 1327 H: IV, 265, Ibnu Khaldun, 1988: 651, Al-Isnawi, 1981: 509-510).
Kendati demikian, bagi sebagian orang memelihara jenggot bagian dari menjalankan ajaran agama atau sunnah. Hal ini dapat dimaklumi jika dalam membaca hadis di atas tidak berdasarkan pada kajian konteks sosio-historisnya atau asbab al-wurud. Karena itu jika memperhatikan konteksnya maka akan ditemukan pengetahuan bahwa perintah memanjangkan jenggot yang disampaikan Rasulullah bagian dari bentuk perlawanan terhadap orang-orang musyrik yang saat itu memiliki identitas memanjangkan kumis dan memotong jenggot.
Sikap Rasulullah Saw dalam melakukan perlawanan melalui pembedaan “adat” atau “kebiasaan” pernah diteladani oleh ulama Nusantara ketika melawan kezaliman penjajah yang memiliki kebiasaan memakai jas dan dasi. Sebagai bentuk perlawanan, para kiai mengharamkan umat Islam menggunakan dasi dan atribut-atribut lain yang menyerupai penjajah. Ketetapan ini pada masanya diikuti, tapi seiring dengan lenyapnya penjajahan maka hukum pun berubah, karena tujuan sebenarnya bukan menggunakan dasinya, tapi sikap ketidaksetujuan terhadap tindak penjajahan.
‘Ala kulli hal, perintah memanjangkan jenggot pada masa Rasulullah memiliki nilai perlawanan. Hukum ini bertalian dengan konteks tertentu yang berubah seiring dengan berubahnya faktor-faktor yang melatari. Perintah memanjangkan jenggot bersifat lokal dan temporal, tapi ajaran melawan kezaliman bersifat absolut dan universal. Ajaran agama yang absolut dan universal inilah yang semestinya diterapkan sepanjang masa dan di mana pun berada demi kesejahteraan umat manusia atau dalam istilah ushul al-fiqh “li tahqiqi mashalih al-‘ibad”.